بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Lima Perbandingan Film RoboCop Baru dan Lama
Go Green

Clock Link

Monday, February 17, 2014

Lima Perbandingan Film RoboCop Baru dan Lama

Mereka yang sudah berulang kali menonton “RoboCop” (1987) karya Paul Verhoeven dan telah menyaksikan remake-nya dari José Padilha tentu dapat dengan mudah menilai bahwa film barunya tidak dapat menyamai film lamanya yang begitu ikonis. Tapi, mereka yang cukup paham dengan politik di belakang studio film besar tentu dapat memaklumi kenapa “RoboCop” versi Padilha yang wajib berada di ambang batas rating PG-13 harus menghadapi begitu banyak kompromi yang cukup kentara.

Meski demikian, bukan berarti “RoboCop” versi baru ini sama sekali tidak meninggalkan jejak berarti. Ada beberapa isu yang membuat film ini tak hanya menjadi film daur ulang yang dangkal. Bagaimana kalau film ini disandingkan dengan pendahulunya? Berikut adalah lima perbandingan film “RoboCop” yang masing-masing dibintangi Peter Weller dan Joel Kinnaman:

PERHATIAN: Pembahasan di bawah ini mengangkat informasi dari film “RoboCop” tahun 1987 dan 2014 yang bersifat spoiler. Hindari bila Anda tidak ingin mendapat bocoran ceritanya.


RoboCop (2014)


1. Versi lawas film “RoboCop” menampilkan segmen yang berisi potongan berita dan iklan yang disebut sebagai Media Break. Tentu saja, tak ada gunanya untuk membuat ulang segmen Media Break dari film aslinya. Walaupun gaya dan isi dari segmen ini masih terasa relevan sampai sekarang, rasanya mereplikasi Media Break hanya akan membuat film barunya terasa repetitif. Sebagai gantinya, kita mendapatkan segmen The Novak Element yang dibawakan oleh Samuel L. Jackson sebagai Pat Novak. Berbeda dengan Media Break yang menyajikan humor dalam bentuk satir, The Novak Element justru sangat serius.

Awalan ini juga memberi sinyal bahwa film “RoboCop” yang baru punya warna yang sama sekali berbeda dari film lamanya. Dengan cara yang lebih steril dan dingin, Padilha menunjukkan bagaimana media saat ini mempengaruhi persepsi penontonnya dengan menampilkan fakta selektif, dan sudah tidak ragu-ragu lagi untuk menunjukkan kecondongannya pada kubu tertentu. “RoboCop” memang sebuah film fiksi ilmiah, tetapi Padilha dan sang penulis naskah, Joshua Zetumer, nampaknya lebih ingin untuk bermain dengan realita.


RoboCop (1987)


2. Pada saat muncul di tahun 1987, “RoboCop” merupakan film yang sangat menarik karena komentarnya yang begitu tajam mengenai masyarakat Amerika Serikat dilontarkan dari belakang layar oleh Paul Verhoeven yang merupakan sutradara asal Belanda. “RoboCop” yang baru juga punya cara unik untuk menghadapkan cermin pada masyarakat Amerika untuk berkaca, karena Padilha adalah sutradara asal Brazil.

Bedanya, bila kritik yang dilontarkan oleh Verhoeven hanya terisolasi pada keadaan internal Amerika Serikat, kritik yang ditampilkan Padilha lebih banyak muncul dari pembesaran konteks kehadiran OmniCorp yang terasa lebih global. Bagaimana OmniCorp menjalankan strategi bisnisnya di dalam dan di luar negeri merupakan refleksi dari kegiatan perusahaan Amerika Serikat yang ada sekarang ini. Kehadiran OmniCorp sebagai penyedia persenjataan militer jugalah yang memberi pintu masuk bagi film ini untuk melihat dualisme kebijakan yang diambil oleh pemerintah Amerika Serikat di dalam dan luar negeri.


Joel Kinnaman (kiri) dan Gary Oldmandi RoboCop (2014). (AP Photo/Columbia Pictures - Sony, Kerry Hayes)


3. Bagian penting dari sebuah film ulang buat adalah bagaimana membuat ceritanya tak hanya sekadar jadi kopian dari film terdahulunya. Zetumer jelas bekerja keras untuk menampilkan kisah yang jauh berbeda dengan naskah yang dituliskan oleh Edward Neumeier dan Michael Miner. Tapi, hal yang paling berbeda dari dua film ini adalah bagaimana RoboCop memandang eksistensinya. Dalam “RoboCop” versi Verhoeven, sang polisi robot baru mulai memiliki kesadaran setelah dirinya dalam kondisi operasional. Krisis yang mulai dialaminya bermula ketika ia menyadari siapa dirinya dan bagaimana Murphy (Peter Weller) akhirnya menemukan jiwa dan sisi manusianya sedikit demi sedikit.

Sementara itu, “RoboCop” versi Padilha hadir dengan Murphy (Joel Kinnaman) yang seratus persen sadar siapa dirinya dan apa yang terjadi padanya. Bedanya adalah – seperti yang diilustrasikan di awal film melalui kata-kata Dr. Dennett Norton (Gary Oldman) – bagaimana Murphy dapat menemukan sisi manusianya meski ia tahu bahwa sebagian besar tubuhnya telah digantikan oleh rangka mekanis.



4. Salah satu tema utama yang muncul dalam “RoboCop” adalah penggunaan drone sebagai alat untuk menegakkan hukum di daerah dengan tingkat konflik tinggi. Dengan menggunakan adegan penembakan di Teheran, Padilha menunjukkan bahwa filmnya memang punya niatan untuk tak hanya bicara mengenai penggunaan robot untuk perang dalam tataran etika, tapi juga politis.

Dalam naskah awalnya, penciptaan RoboCop lebih didasarkan pada kebutuhan OmniCorp untuk menciptakan sosok robot dengan sisi manusiawi yang dapat menyediakan lubang bagi perusahaan tersebut untuk lolos dari tuntutan hukum apabila salah satu produk mereka menghabisi target yang tidak seharusnya. Tetapi, dalam perkembangannya, RoboCop dalam film pun berubah menjadi sosok yang dirancang untuk menekan persepsi negatif publik mengenai penggunaan robot untuk keperluan pertahanan dan keamanan domestik – sebuah kampanye humas yang sangat mahal.

“RoboCop” versi Verhoeven sendiri tidak dibebani oleh muatan politis seberat ini. Justru, dengan fokus yang lebih jelas pada sosok Murphy dan dilemanya sebagai sosok setengah manusia dan setengah mesin, Verhoeven mampu untuk mengungkapkan lebih banyak hal meski tak banyak mengumbarnya secara visual.


Gary Oldman (kiri) dan Michael Keaton di' Robocop - 2014


5. Walaupun punya sosok penjahat yang tidak terlupakan dalam wujud Clarence Boddicker (Kurtwood Smith), musuh utama dalam film “RoboCop” lawas adalah korporasi Amerika yang korup. Dalam film barunya, korporasi Amerika masih menjadi musuh besar. Tetapi dengan subteks politiknya, “RoboCop” versi 2014 memperlihatkan pada penonton bahwa ada jaringan besar yang menunjukkan kalau OmniCorp tidak bisa hanya korup sendirian. Elemen-elemen seperti pemerintah dan kepolisian juga memainkan peranan penting dalam menyokong sebuah sistem yang korup agar tidak tersentuh oleh hukum.

Kekurangannya adalah, film “RoboCop” yang baru tak punya kehadiran karakter penjahat yang layak semacam Boddicker. Raymond Sellars (Michael Keaton) yang dalam hal ini setara dengan posisi Dick Jones (Ronny Cox) sendiri tak punya dampak sebesar pendahulunya. Bila Dick setidaknya masih punya kesan mengancam, Raymond sendiri lebih sering tampil sebagai sosok yang licin dan menjengkelkan. Karena itu, ketika RoboCop berhadapan dengan Raymond, efeknya tidak sama memuaskannya seperti ketika ia mengkonfrontasi Dick (dan menembaknya sampai terlempar ke luar jendela).

No comments:

Post a Comment