بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Sulitnya Menggusur Warga Bantaran Waduk Pluit
Go Green

Clock Link

Tuesday, May 14, 2013

Sulitnya Menggusur Warga Bantaran Waduk Pluit



VIVAnews - Spanduk menolak penggusuran terbentang di pintu masuk utara Waduk Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, Selasa 14 Mei 2013. Spanduk yang dulu dipakai untuk kampanye Pilkada DKI oleh Jokowi-Ahok pun kini habis dicoret-coret.

Di bantaran Waduk Pluit itu, berjejer rumah penduduk. Hampir semua bangunan semi permanen yang terbuat dari kayu dan triplek itu berbatasan langsung dengan jalan, tidak memiliki halaman. Sebagian besar masih beralaskan papan, dan sisanya sudah dipasangi ubin.

Pemukiman di RT 19 RW 17 Kelurahan Pluit ini juga dipenuhi berbagai jenis usaha. Mulai warung kelontong, jasa las, rongsokan besi hingga cuci motor. Warga bersikukuh tidak mau digusur, karena mereka merasa tanah yang didiami puluhan tahun itu adalah miliknya.

Salah satu warga, Daeng Baso (53), mengaku kaget ketika mendengar rencana Pemprov DKI untuk menormalisasi Waduk Pluit. Menurut dia, tidak ada pemberitahuan terkait rencana penggusuran itu. "Saya sudah tinggal di sini lebih dari 20 tahun. Menurut aturan, kalau menempati tanah warga lebih dari 20 tahun, harusnya sudah mendapat sertifikat tanah," kata Daeng. Dia menyebut kebanyakan warga di situ sudah tinggal lebih dari 20 tahun.

Daeng menceritakan, awalnya dia pindah ke tanah milik negara itu karena terkena gusur dari tempat tinggalnya yang dulu di daerah Muarabaru, Jakarta Utara. Dia pindahkan ke Pluit oleh pihak kecamatan bersama 65 kepala keluarga lainnya pada 1986 silam. Para warga kemudian membangun rumah semi permanen. "Dulu di sini masih hutan, banyak pohon tebunya."

Pria yang sehari-hari bekerja sebagai petugas keamanan di sebuah sekolah itu mengungkapkan bahwa sebenarnya tidak keberatan direlokasi ke rumah susun yang dijanjikan Pemprov DKI asal ada uang pengganti yang akan dibayarkan.

Tapi Daeng sendiri sudah mengambil ancang-ancang untuk memboyong keluarganya mencari tempat tinggal baru di Tangerang. Daeng menilai harga sewa di rusun yang ditawarkan terlalu besar. "Itu di sana (rusun) hanya gratis sewa dua bulan saja, seterusnya bayar," ujarnya. Daeng mengaku akan bertahan hingga terjadi kesepakatan.

Senada dengan Daeng, Gunawan, warga RT 19 RW 17 juga keberatan dengan rencana penggusuran. Gunawan ragu pindah ke rusun, karena dia menggantungkan hidupnya dari usaha warung kelontong. "Kalau di rusun pasti tinggalnya di atas, saya kan punya warung, nanti bagaimana usaha saya, harus dimulai dari nol lagi dong," ucapnya. "Kalau dipindah, anak saya sekolahnya jauh."

Pria 42 tahun itu juga pesimistis dengan transportasi yang disediakan oleh pemprov. Gunawan khawatir pelayanan gratis itu hanya berlaku sesaat. Sedangkan naik angkutan umum ongkosnya mahal. Naik motor juga sama susahnya. Dia enggan terjebak macet karena untuk ke rusun Muarabaru harus melewati Tanjung Priok.

Gunawan paham lahan yang ia tempati adalah milik pemerintah. Dia hanya berharap pemerintah mengadakan dialog dengan warga. "Intinya agar ada kejelasan bagi kami jika digusur harus pindah kemana."

Akan disikat?

Meski ditolak oleh warga, Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, mengatakan akan tetap mengerjakan pengerukan Waduk Pluit, Jakarta Utara. Menurut dia, normalisasi Waduk Pluit harus dikerjakan dengan cepat agar penanganan banjir di Ibu Kota tidak terhambat.

Kendala yang dihadapi Pemprov DKI dalam menggusur warga sekitar waduk adalah banyaknya kelompok-kelompok yang muncul di tengah masyarakat. Mantan Wali Kota Solo ini menduga ada motif bisnis di balik terhambatnya proses relokasi.

Ia mengatakan bahwa Pemprov DKI telah memberikan solusi kepada warga, yakni dengan memindahkannya ke Rusun Marunda dan Rusun Muarabaru.

Selain itu, Jokowi bingung karena setiap melakukan dialog, selalu ada permintaan yang berbeda dari warga. Jadi, kata dia, setiap ada pertemuan atau dialog dengan warga, yang datang dari kelompok yang berbeda-beda. Permintaannya pun berbeda-beda pula.

Sebagian warga sudah ada yang setuju pindah ke rumah susun Marunda dan rumah susun Muara Baru, Jakarta Utara. Tetapi ada beberapa golongan lain yang tidak setuju. Bahkan ada yang meminta ganti rugi lahan, padahal itu merupakan lahan milik Pemprov DKI.

Meski demikian, Jokowi akan mempertimbangkan permintaan warga sekitar Waduk Pluit yang meminta rumah susun gratis. Saat ini warga yang akan menempati rumah susun harus membayar sekitar Rp300 ribu per bulan.

Menurut Jokowi, masalah bebas biaya bukan hal yang mudah, karena ia harus bertindak sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Ketegasan juga disampaikan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama. Ahok memastikan tidak akan ada uang kerohiman atau uang ganti rugi untuk warga sekitar Waduk Pluit yang akan direlokasi. Sebab, kata dia, tanah yang ditempati adalah milik pemerintah. Menurut Ahok, warga Waduk Pluit yang menolak untuk digusur, mau tidak mau harus cepat pindah ke tempat-tempat yang sudah disediakan yaitu di rumah susun.

"Tidak mau pindah kami sikat habis saja sudah. Pokoknya selama kamu pakai tanah negara, tidak ada uang kerohiman. Ini sudah tegas," ujar Ahok di Balai Kota, Jakarta.

Dia menambahkan, saat ini Pemprov DKI sudah terlalu baik untuk warga sekitar Waduk Pluit. Selain rusun, semua fasilitas pendidikan, kesehatan, lahan untuk usaha dan bekerja sudah diberikan. Kata dia, yang mau minta uang ganti rugi hanya orang-orang yang punya kepentingan sendiri.

"Anda tidak bisa sekolah kami beri KJP [Kartu Jakarta Pintar], sakit kami beri KJS [Kartu Jakarta Sehat]. Ada orang jompo kami kasih panti wreda. Jadi maunya apa. Kami tidak mengerti lagi. Kami sekarang lihat di Waduk Pluit, semua isinya kerangka baja ringan yang punya rumah, itu yang mau diganti?"

Ahok membandingkan warga sekitar Waduk Pluit dengan orang-orang dari kampung halamannya di Belitung Timur, Provinsi Bangka Belitung. Kata dia, orang-orang di kampungnya rela berangkat ke Papua demi mencari kehidupan yang lebih baik.

"Di tempat saya banyak orang tinggal di Papua enam bulan tidak pulang demi hidupi anak istri. Anda masih di Jakarta. Saya bukannya pindahkan Anda ke Papua, Marunda masih di Jakarta. Kami sudah siapkan bus dan tiket murah tapi Anda tidak mau juga. Anda maunya apa! Maunya dapat rusunawa dan rusunami, terus dijual," ujar Ahok.

Ahok menduga ada sekelompok orang yang sengaja menghalangi warga bantaran Waduk Pluit untuk dipindahkan ke rumah susun Marunda dan Muarabaru.

Menurut dia, orang-orang seperti itu pula yang memprovokasi bahwa penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI melanggar HAM. Ahok menilai mereka hanya ingin memperjualbelikan lahan milik pemerintah.

"Kalau jujur dan baik kami kasih modal dan Anda bisa berubah nasib, asal mau berusaha. Tapi kalau hidup Anda mau jual beli lahan milik pemerintah maka Anda bajingan. Pelanggaran itu jelas bagi saya," ujarnya.

Jakarta tenggelam

Pengerukan Waduk Pluit guna mengatasi banjir yang selalu melanda Ibu Kota sudah tidak dapat ditunda lagi. Area Waduk Pluit awalnya memiliki luas 88 hektare kini menyusut tersisa 60 hektare akibat banyaknya warga yang mendirikan bangunan secara ilegal. Kedalaman waduk juga terkena imbas, saat ini hanya sekitar dua meter dari kedalaman ideal di atas lima meter.

Ahok meyakini tanpa adanya Waduk Pluit, 40,6 persen wilayah Jakarta akan tenggelam. Sebab, kata dia, wilayah ini menjadi jalur lintasan air dan posisi muka tanah yang berada di bawah permukaan laut.

Mantan Bupati Belitung Timur ini, menjelaskan Waduk Pluit telah ada sejak zaman Belanda. Waduk itu dirancang Belanda untuk menangani banjir sampai Monas, termasuk Istana Negara. "Jadi memang objek vitalnya negara ya Waduk Pluit itu. Tapi sayang sudah dijarah orang sampai 20 hektare. Itu persoalannya," kata Ahok.

Lokasi ini menjadi salah satu titik ideal untuk bermukim. Wilayah itu dekat dengan Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Potensi banjir di sana relatif dapat dikendalikan asal waduk itu bisa dikelola dengan baik.

Ahok menuturkan, pengerukan Waduk Pluit juga harus dibarengi normalisasi waduk lain. Selain Waduk Pluit, Pemprov DKI akan melakukan perbaikan beberapa waduk pintu air lainnya, yaitu Waduk Marina, Ancol dan pintu air Pasar Ikan.

Sementara kondisi Waduk Pluit diperparah oleh banyaknya pemukiman liar di sana. Makin hari, lokasi itu kian sesak. Ada sekitar 17 ribu kepala keluarga yang kini berdiam di pinggir waduk itu. Pada musim hujan, waduk penuh sampah dan tertutup tanaman enceng gondok. Permukaannya juga penuh busa.(np)

No comments:

Post a Comment