بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Hukum Musik dalam Agama Islam
Go Green

Clock Link

Wednesday, July 2, 2014

Hukum Musik dalam Agama Islam


Hukum Musik dalam Agama Islam

Tanya:
Assalamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,
Bagaimana sebenarnya kedudukan musik di dalam Islam? Saya pernah mendengar bahwa soal hukum mendengar musik ada yang berpendapat bahwa itu haram, ada yang bilang makruh, sampai yang ‘boleh-boleh saja’ (kalau tidak salah Imam Al-Ghazali yang berpendapat, mohon koreksi kalau salah). Seandainya memang haram, bagaimana soal puji-pujian terhadap nabi, serta bacaan azan/Alquran yang dilantunkan dengan nada-nada yang indah?
Prameswari
Jawab:
Assalamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,
Para ulama sepanjang sejarah nyaris tak pernah mencapai kata sepakat dalam memandang hukum musik dan lagu. Selalu ada ulama yang memandang keduanya haram, namun juga ada yang memandangnya halal. Dan di tengah-tengahnya ada yang mengharamkannya sebagian dan menghalalkannya sebagian.
1. Sahabat
Perbedaan pendapat tentang haramnya nyanyian dan musik bukan perbedaan yang baru terjadi hari ini. Perbedaan itu sudah terjadi di masa lalu, bahkan sejak masa sahabat. Ada sebagian sahabat yang menghalalkannya dan ada juga yang tegas mengharamkannya.

a. Yang menghalalkan
Di kalangan sahabat Nabi Muhammad SAW ada beberapa di antara mereka yang menghalalkan musik, di antaranya Abdullah ibn Az-Zubair. Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak wanita dan alat musik berupa gitar. Dan Ibnu Umar pernah ke rumahnya ternyata di sampingnya ada gitar: Ibnu Umar berkata, "Apa ini wahai sahabat Rasulullah SAW?" Kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata, "Ini mizan Syami (alat musik) dari Syam?" Berkata Ibnu Zubair, "Dengan ini akal seseorang bisa seimbang."

b. Yang mengharamkan
Sementara itu setidaknya ada dua orang sahabat Rasul yang tercatat dengan tegas mengharamkan nyanyian dan musik, yaitu Abdullah bin Mas'ud dan Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahuanhuma. Abdullah bin Ma'sud radhiyallahuanhu termasuk di antara sahabat yang mengharamkan nyanyian. Beliau berfatwa :

الغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفاَقَ فيِ الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الماَءُ الزَّرْعَ
Nyanyian itu menumbuhkan sifat munafik di dalam hati, sebagaimana air menyebabkan tumbuhnya tanaman. (HR.Abu Daud)

Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahuanhu mengharamkan nyanyian dan musik, dengan dasar penafsiran beliau atas istilah lahwa hadis (لهو الحديث) sebagaimana tercantum dalam ayat Al-Quran berikut:

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ   
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)

2. Ulama
Di kalangan ulama berikutnya, kita masih menyaksikan bagaimana mereka berbeda pendapat tentang hukum halal dan haram dari nyanyian dan musik. Berikut ini sebagian kecil dari apa yang mereka perselisihkan.

a. Yang menghalalkan
Adapun ulama yang menghalalkan musik sebagaimana di antaranya diungkapkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam kitabnya, "Nailul Authar", di antaranya  para ulama Madinah dan lainnya, seperti ulama Dzahiri dan jemaah ahlu Sufi memberikan kemudahan pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola.

Termasuk juga di antara mereka yang menghalalkan adalah Abu Bakar Al-Khallal, Abu Bakar Abdul Aziz, Al-Gazali dan lainnya.
Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi’i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja’far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul Mukminin Ali radhiyallahuanhu.
Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al Musayyib, Atha bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya’bi. Dan diriwayatkan dari Ar-Rawayani dari Al-Qafal bahwa mazhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat musik.
Di antara ulama yang menghalalkan musik adalah Ibnu Hazm, mewakili kalangan ahli Dzhahir. Di dalam kitabnya Al-Muhalla, Ibnu Hazm memberikan banyak hujjah atas tidak haramnya musik selama tidak melanggar ketentuan.
b. Yang mengharamkan
Para ulama mazhab seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Asy-Syafi’i dan Al-Hanabilah termasuk kalangan yang menolak kehalalan musik secara umum, kecuali bila memenuhi ketentuan tertentu. Abu Hanifah berkata bahwa bernyanyi dan main musik itu termasuk perbuatan dosa. Al-Malikiyah berkata bahwa yang menyanyikan lagu dan memainkan musik di antara kami adalah orang-orang fasik. As-Syafi'iyah menyebutkan bahwa nyanyian itu perbuatan sia-sia yang dibenci dan menyerupai batil. Orang yang kebanyakan bernyanyi dan bermusik adalah orang bodoh yang tertolak kesaksiannya. Pendapat ini merupakan pendapat para ulama dari mazhab ini, seperti At-Thabari, An-Nawawi, Abu Ishaq dan lainnya.
Menurut Maliki bahwa mendengar nyanyian merusak muru’ah. Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan karena mengandung lahwu. Dan Ahmad mengomentari dengan ungkapannya:, "Saya tidak menyukai nyanyian karena melahirkan kemunafikan dalam hati."
Fudhail bin Iyadh berfatwa :

الغِناَءُ هُوَ رُقِيَّةُ الزِّناَ
Nyanyian itu merupakan mantera-mantera zina.

Adh-Dhahhak berfatwa :

الغِنَاءُ مُفْسِدَةٌ لِلْقَلْبِ مُسْخِطَةٌ لِلرَّبِّ
Nyanyian itu merusak hati dan membuat Tuhan marah.

Diriwayatkan bahwa Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada guru dari anaknya berisi pesan yang melarang nyanyian dan musik.

لِيَكُنْ أَوَّلُ مَا تَفْعَلُ مَعَ ابَنِي أَنْ تُبَغِّضَه المـَلاَهِي فَإِنَّ صَوْتَ المـَعَازِفِ وَ اسْتِمَاعِ الأَغَانِي وَاللهِ بِمَا يُنْبِتُ النِّفَاقَ فيِ القَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ العُشْبُ عَلىَ الماَءِ هُوَ حَرَاٌم
Hendaklah yang pertama kali kamu kerjakan kepada anakku untuk menjauhkannya dari hal yang sia-sia. Karena sesungguhnya suara musik dan mendengarkan nyanyian, demi Allah, akan menumbuhkan sifat nifakdi dalam hati, sebagaimana tumbuhnya rumput di air, dia haram hukumnya.

Demikianlah pendapat ulama tentang mendengarkan alat musik. Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulamamuta’akhirin yang mengharamkan alat musik karena mereka mengambil sikap wara’ (hati-hati). 
Mereka melihat kerusakan yang timbul di masanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dantabi’in menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari Al-Quran maupun hadis yang jelas mengharamkannya. Sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.

Dalil yang mengharamkan musik dan lagu
Di dalam syariat Islam, kita menemukan cukup banyak dalil baik di dalam Al-Quran maupun di dalam As-Sunnah, yang terkait dengan masalah musik dan lagu. Baik dalil itu bersifat sharih (tegas) atau pun bersifat merupakan penafsiran para ulama.

1. Alquran
Tidak ada satu pun ayat Al-Quran yang secara tegas menyebut kata musik, alat musik atau lagu dan nyanyian. Sehingga dalil-dalil terkait dengan musik dan lagu di dalam Al-Quran umumnya bersifat penafsiran atas istilah-istilah yang punya makna banyak.

Di antara istilah-istilah yang sering ditafsirkan para ulama sebagai musik dan lagu adalah: 

a. Surat Luqman: lahwal hadis
Di antara dalil haramnya nyanyian dan musik di dalam Al-Quran adalah ayat yang menyebutkan tentang menyesatkan manusia dengan cara membeli apa yang disebut dengan lahwal-hadis (لهو الحديث). Ayat ini terdapat di dalam surat Luqman, yang oleh beberapa ulama disimpulkan sebagai ayat yang mengharamkan nyanyian dan lagu.

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ   
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)

Para ulama yang menyebutkan bahwa makna nya lahwal-hadis (لهو الحديث) di antaranya adalah Abudullah bin Mas’ud, Abdullah bin Al-Abbas, Jabir bin Abdillah, ridwanullahi ‘alaihim ajma’in. Demikian juga dengan pendapat Mujahid dan Ikrimah, mereka menafsirkan lahwal-hadis sebagai lagu atau nyanyian. Al-Hasan Al-Bashri mengatakan bahwa ayat ini turun terkait dengan lagu dan nyanyian. 

b. Surat Al-Anfal: siulan dan tepukan

وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ   
Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (QS. Al-Anfal : 35)

Menurut pendukung haramnya nyanyian dan musik, Allah SWT telah mengharamkan nyanyian dan musik lewat ayat ini.  Logika yang digunakan adalah bahwa kalau sekadar bersiul dan bertepuk tangan saja sudah haram, apalagi bernyanyi dan bermusik. Tentu hukumnya jauh lebih haram lagi.

c. Surat Al-Isra’: suara

وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ
Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu (QS. Al-Isra’ : 64)

Yang menjadi titik perhatian dalam ayat ini adalah kata bi shautika (بصوتك).  Dalam pendapat mereka, ayat ini termasuk ayat yang mengharamkan nyanyian dan musik; lewat tafsir dan pendapat dari Mujahid. Beliau memaknainya dengan bi-llahwi wal ghina (باللهو والغناء). Al-Lahwi sering diartikan dengan hal-hal yang sia-sia, sedangkan al-ghina’ adalah nyanyian dan lagu.

d. Surat Al-Furqan: Az-auur

وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً   
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS. Al-Furqan : 72)

Menurut mereka, kata yasyhaduna az-zuur (يشهدون الزور), sebagaimana yang dikatakan oleh Mujahid, bahwa kata la yasyhaduna az-zuur itu maknanya adalah 'tidak mendengarkan nyanyian atau lagu'. Muhammad bin Al-Hanafiyah mengatakan hal yang sama. Maka mendengarkan nyanyian dan lagu hukumnya haram menurut penafsiran ayat ini.

e. Surat Al-Qashash: laghwi
Sebagian ulama mengharamkan musik karena dianggap sebagai bentuk laghwi atau kesia-siaan, dan menurut mereka hal itu dilarang di dalam Alquran Al-Kariem.

وَ إِذَا سَمِعوُاُ اللَغُوَ أَعُرَضواُ عَنُه وَقَالواُ لَنا أَعُمَالنَا وَلَكمُ أَعُمَالَكمُ سَلَم عَلَيُكمُ لَا نَبُتَغِي الُجَاهِلِيُنَ
Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil". (QS. Al-Qashash : 55)

f. Surat An-Najm: Samidun

أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَ وَأَنتُمْ سَامِدُونَ
Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?  Dan kamu menertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkan(nya)? (QS. An-Najm : 59-61)

Yang menjadi titik utama dari ayat ini adalah kata samidun (سامدون), yang di sana Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahu mengatakan bahwa yang dimaksud dengan samidun di ayat ini adalah al-mughannun (المغنون), yaitu orang-orang yang bernyanyi atau mendendangkan lagu. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah. 

2. Hadis 
Sedangkan penyebutan alat-alat musik dan nyanyian akan lebih jelas ketika kita membuka hadis-hadis nabawi. Ada begitu banyak hadits yang terkait dengan musik dan nyanyian, di antaranya adalah:

a. Musik penyebab turunnya bencana

إِذَا فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً حَلَّ بِهَا الْبَلاَءُ وَعَدَّ r مِنْهَا : وَاتَّخَذَتِ الْقَيْنَاتِ وَالْمَعَازِفَ 
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Apabila umatku telah mengerjakan lima belas perkara, maka telah halal bagi mereka bala’. Dan beliau SAW menghitung salah satu di antaranya adalah budak wanita penyanyi dan alat-alat musik”. (HR. Tirmizy)

Hadis ini memasukkan musik sebagai salah satu dari lima belas penyebab turunnya bencana dari Allah SWT. Maka menurut yang mengharamkan musik, hukum bermusik itu haram karena akan menurunkan bencana dari Allah SWT.

b. Tugas nabi menghancurkan alat musik

إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي أَنْ أَمْحَقَ الْمَزَامِيرَ وَالْكِنَّارَاتِ
Diriwayatkan dari Abi Umamah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengutusku menjadi rahmat dan petunjuk bagi alam semesta. Allah SWT telah memerintahkan aku untuk menghancurkan seruling dan alat-alat musik”. (HR. Ahmad)

Menurut pendapat yang mengharamkan musik, salah satu sebab kenapa musik itu diharamkan adalah karena salah satu tugas Rasulullah SAW adalah untuk menghancurkan alat-alat musik.

c. Akan ada yang menghalalkan musik

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ  وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ 
Akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamar dan alat musik. (HR. Bukhari)

Hadits ini boleh jadi termasuk hadis yang paling selamat dari kelemahan isnad, karena hadis ini terdapat di dalam kitab Sahih Bukhari. Sehingga kalau ada yang masih meragukan kekuatan isnadnya, tentu yang meragukan itulah yang bermasalah.

Mengingat Ibnu Shalah menyebutkan bahwa seluruh umat Islam telah mencapai ijma’ bahwa kitab tersahih kedua setelah Alquran Al-Karim adalah kitab Sahih Bukhari. Dan dari segi istidlal, hadis ini juga tegas menyebutkan bahwa ada orang yang akan menghalalkan alat benda-benda yang haram, dana salah satunya adalah al-ma’azif, yaitu alat musik. 

d. Musik adalah suara yang dilaknat
Haramnya suara musik juga didasarkan pada hadis berikut ini yang secara jelas-jelas menyebutkan bahwa suara seruling itu merupakan hal yang terlaknat di dunia dan akhirat.

صَوْتَانِ مَلْعُوْنَانِ فيِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ : مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ وَ رَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ
Dua jenis suara yang dilaknat di dunia dan di akhirat, yaitu suara seruling ketika ada kenikmatan dan suara tangisan ketika musibah. (HR. Al-Bazzar)

e. Allah mengharamkan musik

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ  إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ 
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu bahwa Nabi SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan khamar, judi, kubah dan ghubaira’ (HR. Ahmad dan Abu Daud)

إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى أُمَّتِي الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْمِزْرَ وَالْكُوبَةَ وَالْقِنِّينَ 
Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan atas umatku dari khamar, judi, mizar, kubah dan qinnin.(HR. Ahmad)

f. Rasullullah menutup telinga
Mereka yang mengharamkan alat musik berdalil bahwa ketika mendengar suara seruling gembala, Rasulullah SAW menutup telinganya. Hal itu menandakan bahwa musik itu hukumnya haram.

عَنْ نَافَعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَمِعَ صَوْتَ زِمَارَةِ رَاٍع فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ فيِ أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيْقِ وَهُوَ يَقُولُ : يَا نَافِع أَتَسْمَعُ ؟ فَأَقُولُ : نَعَمْ فَيَمْضِي حَتىَّ قُلْتُ : لاَ فَرَفَعَ يَدَهُ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ إِلىَ الطَّرِيْقِ وَقَالَ : رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ r سَمِعَ زِمَارَةَ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا
‘Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:’Wahai Nafi’ apakah engkau dengar?’. Saya menjawab:’Ya’. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata :’Tidak’. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya, dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah SAW mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini’ (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

g. Batilnya semua yang sia-sia
Selain itu mereka yang mengharamkan musik berdalil dengan hadis di bawah ini, yaitu hadis yang mengharamkan semua yang sia-sia.

كُلُّ مَا يَلْهُو بِهِ الرَّجُلُ المُسْلِمُ بَاطِلٌ إِلاَّ رَمْيُهُ بِقَوْسِهِ وَتَأْدِيْبُهُ فَرَسُهُ وَمُلاَعَبَتُهُ أَهْلُهُ فَإِنَّهُنَّ مِنَ الحَقِّ
Semua perbuatan sia-sia yang dikerjakan seorang laki-laki muslim adalah batil, kecuali: melempar panah, melatihkan kuda dan mencumbui istrinya. Semua itu termasuk hak. (HR. At-Tirmizy)

h. Haramnya lonceng
Haramnya musik juga dikaitkan dengan haramnya keberadaan lonceng di dalam rumah. Dan memang ada beberapa hadis yang secara tegas mengharamkan lonceng, di antaranya:

الجَرَسُ مَزَامِيْرِ الشَّيْطَانِ
Lonceng itu adalah serulingnya setan (HR. Muslim)

لاَ تَدْخُلُ المَلآئِكَةُ بَيْتًا فِيْهِ جُلْجُلْ وَلاَ جَرَسٌ لاَ تَصْحَبُ المَلآئِكَةُ رُفْقَةً فِيْهَا كَلْبٌ أَوْ جَرَسٌ
Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang di dalamnya terdapat jul-jul dan lonceng. Dan malaikat tidak akan menemani orang-orang yang di rumah mereka ada anjing dan lonceng. (HR. Muslim)

أَنَّ رَسُولَ اللهِ r أَمَرَ باِلأَجْرَاسِ أَنْ تُقْطَعَ مِنْ أَعْنَاقِ الإِبِلِ يَوْمَ بَدْرٍ
Bahwa Rasulullah SAW memerintahkan agar untuk memotong lonceng dari leher unta pada hari Badar. (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

Dalil yang menghalalkan musik dan lagu
Para ulama yang tidak mengharamkan nyanyian dan musik juga punya hujjah yang tidak bisa dianggap enteng. Hujjah mereka justru dengan cara mengkritisi dalil-dalil yang digunakan oleh pihak yang mengharamkan. Dimana pada intinya mereka menyatakan bahwa semua dalil yang dipakai, meski jumlahnya banyak, tapi tak satu pun yang tepat sasaran. 

1. Jawaban atas dalil Quran
Lima ayat yang digunakan oleh mereka yang mengharamkan nyanyian dan musik adalah ayat yang sama sekali tidak menyinggung sedikit pun tentang nyanyian dan musik itu sendiri. Kalau pun dipaksakan untuk ditafsirkan menjadi nyanyian dan lagu, sifatnya semata-mata hanya penafsiran yang subjektif dan dilakukan oleh hanya beberapa gelintir ulama ahli tafsir saja. Sama sekali tidak bisa dikatakan bahwa tafsiran itu mewakili pendapat seluruh mufassirin. Jadi paling jauh, kita hanya bisa mengatakan bahwa sebagian ulama memang mengharamkan nyanyian dan lagu lewat ayat-ayat tersebut, namun sifatnya tidak mutlak, lebih merupakan pendapat subjektif dari beberapa orang di antara ulama.

a. Surat Luqman : lahwal hadis

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُواً أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ   
Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. (QS. Luqman : 6)

Istilah lahwal-hadis (لهو الحديث) di dalam surat Luqman, memang cukup sering ditafsirkan oleh beberapa ulama sebagai nyanyian dan lagu. Namun para ulama yang tidak berpendapat seperti itu jumlahnya jauh lebih banyak lagi. Misalnya Adh-Dhahhak, beliau menafsirkannya istilah ini sebagai syirik, dan bukan nyanyian dan musik. Sedangkan Al-Hasan mengatakan bahwa maknanya adalah syirik dan kufur.

Ibnu Hazm menolak pengharaman musik bila menggunakan ayat ini, dengan beberapa alasan, antara lain; penafsiran versi Mujahid tak bisa diterima, karena yang berhak menjelaskan Alquran hanyalah Rasulullah SAW. Dan beliau SAW tidak menjelaskan seperti yang ditafsirkan oleh Mujahid; kedua, penafsiran Mujahid ini sifatnya sepihak saja, tidak mewakili penafsiran kebanyakan ulama. Sementara ada begitu banyak sahabat dan tabi’in yang menghalalkan musik; ketiga, kalau ditafsirkan bahwa yang dimaksud lahwa-hadis itu hanya terbatas alat musik, maka penafsiran ini batil. Sebab bisa saja orang membeli benda yang lain lalu digunakan untuk menyesatkan orang dijadikan permainan. Katakanlah misalnya ada orang membeli mushaf Alquran, lalu dijadikan alat untuk menyesatkan orang dan permainan. Lantas apakah haram hukumnya membeli mushaf Alquran hanya karena ada orang tertentu yang menjadikannya sebagai penyesat dan permainan? Jawabnya tentu tidak. Kalau mau mengharamkan, seharusnya yang diharamkan adalah ketika menjadikan suatu benda sebagai alat untuk menyesatkan manusia dan permainan, bukan mengharamkan benda tersebut. 
b. Surat Al-Anfal: siulan dan tepukan
Ketika berhujjah dengan ayat tentang tentang orang-orang kafir di zaman jahiliyah beribadah dengan cara bertepuk dan bersiul, sehingga hasil kesimpulannya bahwa nyanyian dan musik itu menjadi haram, maka metode pengambilan kesimpulan hukumnya terlihat lemah sekali.
 
وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ   
Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (QS. Al-Anfal : 35)

Ayat ini tidak secara langsung menyebutkan tentang musik dan lagu. Ayat ini hanya bercerita tentang bagaimana orang-orang di masa jahiliyah melakukan ibadah dengan cara bersiul-siul dan bertepuk-tepuk tangan. Kemudian oleh kalangan yang ingin mengharamkan lagu dan musik, perbuatan orang-orang jahiliyah di masa lalu yang diceritakan di ayat ini kemudian dikaitkan dengan keharaman bernyanyi dan bermusik. Padahal yang diharamkan adalah menyembah Allah dengan cara bersiul dan bertepuk tangan, yang mana hal itu merupaan perbuatan orang-orang kafir di masa jahiliyah. 

Adapun bersiul dan bertepuk tangan di luar konteks ibadah kepada Allah, sama sekali tidak terkait dengan hukum halal dan haram. Artinya, tidak ada keharaman dari bertepuk dan bersiul, asalkan tidak ada berkaitan dengan ibadah. Misalnya adat dan budaya serta gestur yang ada di suatu masyarakat dalam berkomunikasi dengan sesama, tentu tidak bisa diharamkan begitu saja.

Di suatu peradaban tertentu, rasa kagum atas suatu hal biasa diungkapkan dengan cara bersiul. Atau rasa hormat dan bahagia biasa diungkapkan dengan bahasa tubuh yaitu bertepuk tangan spontan. Bahasa tubuh seperti itu tidak bisa begitu saja dikaitkan dengan sebuah peribadatan di peradaban yang lain.

Kalau bersiul dan bertepuk tidak selalu menjadi haram, apalagi bernyanyi dan bermusik, yang sama sekali tidak ada hubungannya. Maka kita tidak tepat rasanya mengharamkan nyanyian dan musik dengan menggunakan ayat ini.

c. Surat Al-Isra’: suara
Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik juga menggunakan ayat berikut sebagai dasar untuk mengharamkannya.

وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ
Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu (QS. Al-Isra’ : 64)

Mereka mengatakan bahwa salah seorang ahli tafsir, yaitu Mujahid telah memaknainya kalimat bi shautika(بصوتك) sebagai al-ghina (الغناء), yaitu nyanyian dan lagu. Sehingga ayat ini dianggap ayat yang mengharamkannya. Padahal pendapat itu hanya pendapat satu orang saja, yaitu Mujahid. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada beliau, kita pun tidak harus selalu terpaku kepada pendapatnya. Sebab masih banyak ulama ahli tafsir yang tidak berpendapat demikian. Misalnya dengan penafsiran Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa maknanya adalah segala ajakan yang mengajak ke arah maksiat kepada Allah.

Nampaknya Departemen Agama RI lebih menggunakan Tafsir Ibnu Abbas dari pada pendapat Mujahid. Sebab kalau kita baca terjemahan ayat ini dalam versi Departemen Agama RI, kata itu diterjemahkan menjadi 'dengan ajakanmu’, sama sekali tidak terkait dengan urusan nyanyian dan musik. 

d. Surat Al-Furqan: Az-zuur
Mereka yang mengharamkan nyanyian dan musik juga seringkali menggunakan ayat berikut ini sebagai dasar pengharaman. 

وَالَّذِينَ لاَ يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً   
Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS. Al-Furqan : 72)

Mereka berlindung di balik pendapat Mujahid, bahwa kata la yasyhaduna az-zuur itu maknanya adalah 'tidak mendengarkan nyanyian atau lagu'. Muhammad bin Al-Hanafiyah mengatakan hal yang sama. 
Padahal nyaris kebanyakan pendapat para ulama ahli tafsir tidak sampai ke arah haramnya nyanyian dan lagu, karena terlalu jauh penyimpangan maknanya.

Ayat ini menceritakan tentang ciri-ciri orang yang disebut sebagai ibadurrahman atau hamba-hamba Allah yang beriman, di mana salah satu cirinya adalah orang yang tidak memberikan kesaksian palsu. 
Kalau pun ada ulama yang menafsirkan maknanya, tidak selalu berupa haramnya nyanyian dan musik. Misalnya penafsrian Ibnu Katsir yang mengatakan bahwa la yasyhaduna az-zuur adalah tidak melakukan syirik atau menyembah berhala.

Titik pangkalnya adalah pada kata yasyhaduna az-zuur (يشهدون الزور), yang di dalam terjemahan versi Departemen Agama RI diartikan dengan 'memberi kesaksian palsu', sebagaimana zhahirnya lafaz ayat ini.

e. Surat Al-Qashash: laghwi
Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik berdalih bahwa keduanya merupakan perbuatan sia-sia atau laghwi, sehingga hukumnya haram. Namun kalangan yang menghalalkannya menjawab bahwa tidak semua perbuatan laghwi dilarang di dalam syariat Islam. Bahkan Alquran sendiri menyebutkan ada jenis laghwi yang tidak mendatangkan dosa.

Salah satunya adalah orang yang berlaghwi ketika mengucapkan sumpah, yang tidak dipermasalahkan-Nya, sebagaimana tersebut pada ayat berikut :

لاَ يُؤَخِذُكُمُ اللَهُ بِالَلغُو ِفِي أَيُمَانَكمُ
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud, tetapi Allah menghukum kamu disebabkan yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah maha pengampun lagi maha penyantun. (QS. Al-Baqarah : 225)

f. Surat An-Najm: samidun
Ayat lainnya yang juga sering ditafsirkan sebagai musik atau lagu adalah potongan ayat di dalam surat An-Najm.

أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلاَ تَبْكُونَ وَأَنتُمْ سَامِدُونَ
Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?  Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu melengahkan(nya)? (QS. An-Najm : 59-61)

Yang menjadi titik perhatian adalah kata samidun (سامدون). Dalam terjemahan yang kita baca dalam versi Departemen Agama, kata itu berarti orang yang lengah. Namun beberapa ahli tafsir mengaitkannya dengan lagu dan nyanyian. Misalnya Abdullah bin Al-Abbas radhiyallahu mengatakan bahwa yang dimaksud dengan samidun di ayat ini adalah al-mughannun (المغنون), yaitu orang-orang yang bernyanyi atau mendendangkan lagu. Hal yang sama dikatakan oleh Ikrimah.

Sedangkan Adh-Dhahhak menafsirkan as-samud (السمود)  sebagai al-lahwu wa al-la’bu (اللهو و اللعب), yang artinya pekerjaan yang sia-sia dan permainan. Maka ayat ini menurut mereka menyebutkan sifat-sifat buruk yang dilakukan, yaitu ketika dibaca ayat-ayat Alquran, mereka malah bernyanyi-nyanyi. 

2. Jawaban atas dalil hadis
Kalau dihitung-hitung, hadis-hadis yang sering dijadikan alasan untuk mengharamkan nyanyian dan musik memang cukup banyak. Namun masalahnya sebagian dari hadis itu bermasalah, baik dari segi isnad maupun dari segi istidlal.

Abu Bakar Ibnul Arabi di dalam kitab Al-Ahkam menyebutkan dengan tegas bahwa tidak ada satu pun hadis yang sahih di antara hadis-hadis yang sering dijadikan dasar untuk mengharamkan musik. Senada dengan di atas, Ibnu Thahir di dalam kitabnya As-Sima’, juga mengatakan tidak ada satu huruf pun yang sahih dari hadis-hadis yang mengharamkan musik.
Ibnu Hazm di dalam kitab Al-Muhalla menyebutkan bahwa tidak ada satu pun hadis sahih dalam bab tentang haramnya musik ini. Semuanya hadis maudhu’.
Mari kita bahas satu persatu hadis-hadis yang banyak digunakan oleh mereka yang mengharamkan nyanyian dan musik.

Kalangan yang mengharamkan nyanyian dan musik menggunakan hadits berikut ini sebagai dalil.

إِذَا فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً حَل بِهَا الْبَلاَءُ وَعَدَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا : وَاتَّخَذَتِ الْقَيْنَاتِ وَالْمَعَازِفَ 
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Apabila umatku telah mengerjakan lima belas perkara, maka telah halal bagi mereka bala’. Dan beliau SAW menghitung salah satu di antaranya adalah umatku memakai alat-alat musik”. (HR. Tirmizy)

Namun yang jadi masalah adalah meski matan hadis ini dari segi istidlal termasuk sangat jelas dan tegas menyebut nama alat musik, sehingga tidak bisa ditafsirkan menjadi sesuatu yang lain, bahkan acamannya juga jelas, yaitu bala’, tetapi sayangnya para ulama umumnya memvonis hadis ini lemah.
Bahkan perawinya sendiri, yaitu Al-Imam At-Tirmizy, jelas-jelas menyebutkan dalam Sunan At-Tirmiziy, bahwa tersebut tidak sahih.

Maka bagi mereka yang menghalalkan nyanyian dan musik, hadis ini tidak bisa dijadikan landasan untuk mengharamkannya. Karena hukum halal haram tidak boleh dilandasi dengan hadis yang status hukumnya lemah.
Hadits kedua, sharih tapi tidak sahih.

إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي أَنْ أَمْحَقَ الْمَزَامِيرَ وَالْكِنَّارَاتِ
Diriwayatkan dari Abi Umamah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya Allah SWT telah mengutusku menjadi rahmat dan petunjuk bagi alam semesta. Allah SWT telah memerintahkan aku untuk menghancurkan seruling dan alat-alat musik”. (HR. Ahmad)

Hadis ini juga tegas sekali menyebutkan tentang salah satu tugas Rasul, yaitu menghancurkan seruling dan alat-alat musik. Kalau seandainya hadis ini sahih, pastilah para ulama tidak pernah berbeda pendapat tentang kewajiban menghancurkan alat-alat musik. Atau setidak-tidaknya, mengharamkan alat musik secara aklamasi. Masalahnya justru karena hadis kedua ini juga didhaifkan oleh banyak ulama, di antaranya Al-Haitsami menyebutkan bahwa dalam rangkaian para perawinya ada seorang perawi yang dhaif bernama Ali bin Yazid.

Maka wajar kalau sebagian ulama ada yang mengharamkan alat-alat musik, namun sebagian lagi tidak memandang keharaman alat-alat musik, lantaran dalil yang digunakan untuk mengharamkannya justru bermasalah, karena merupakan hadis dhaif.
Hadis dhaif memang boleh digunakan untuk meningkatkan semangat dalam mendapatkan keutamaan, tetapi seluruh ulama sepakat menolak hadits dhaif untuk menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

Hadis ketiga, sahih tapi tidak sharih

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ  وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ 
Akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan kemaluan, sutera, khamar dan alat musik. (HR. Bukhari)

Para ulama membicarakan dan memperselisihkan hadis-hadis tentang haramnya nyanyian dan musik ini, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, dari Abi Malik Al-Asy’ari. Hadis ini walau terdapat dalam hadis Sahih Bukhari, tetapi para ulama memperselisihkannya. Banyak di antara mereka yang mengatakan bahwa hadis ini adalah hadis mu’alaq (sanad-nya terputus), di antaranya dikatakan oleh Ibnu Hazm. 

Mengapa demikian?
Ternyata hadis ini termasuk dalam kategori mu’allaqat (معلقات), meski pun Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani berijtihad bahwa hadis ini tersambung lewat sembilan jalur periwayatan. Namun semua jalur itu melewati satu orang perawi yang banyak diperdebatkan oleh para ulama, yaitu perawi bernama Hisyam bin Ammar.

Di antara perdebatan mereka antara lain apa yang dikomentari Abu Daud tentang Hisyam, yaitu sebagai orang yang meriwayatkan 400 hadis yang tidak ada asalnya. Abu Hatim menyebutnya sebagai pernah berstatus shaduq tapi kemudian sudah berubah. An-Nasa’i menyebutnya sebagai la ba’sa bihi. Sebutan ini tidak menghasilkan mutlak kepercayaan.
Sedangkan mereka yang tidak mempermasalahkan Hisyam, bersikeras menyebut bahwa Bukhari tidak mencacatnya. Selain itu Hisyam ini adalah khatib di Damaskus, juga ahli Al-Quran serta juga ahli hadis negeri itu.
Disamping itu di antara para ulama menyatakan bahwa matan dan sanad hadits ini tidak selamat dari kegoncangan (idhtirab). Katakanlah, bahwa hadis ini sahih, karena terdapat dalam hadis Sahih Bukhari, tetapi nash dalam hadis ini masih bersifat umum, tidak menunjuk alat-alat tertentu dengan namanya. Batasan yang ada adalah bila ia melalaikan.
Kalau pun periwayatan hadits ini diterima, apa-apa yang disebutkan itu tidak semuanya haram secara mutlak. Misalnya sutera yang hanya diharamkan buat laki-laki, sedangkan perempuan dibolehkan memakainya.
Hadis ini juga tidak menyebutkan zina dengan istilah zina, melainkan dengan istilah hira (الحِرَ). Makna aslinya adalah kemaluan atau farji. Namun kemudian mengalami pergeseran makna menjadi zina. Maka kalau kita gunakan makna aslinya, yaitu menghalalkan kemaluan, hukumnya tidak mutlak salah. Sebab menghalalkan kemaluan bisa dengan cara yang benar, seperti lewat pernikahan.

Maka ketika Nabi SAW menyebut alat musik, sifatnya tidak mutlak haram, tetapi maksudnya bila alat-alat musik itu membawa mudarat yang memang dilarang. Maka barulah hukumnya haram.

Haramnya suara musik juga didasarkan pada hadis berikut ini yang secara jelas-jelas menyebutkan bahwa suara seruling itu merupakan hal yang terlaknat di dunia dan akhirat.

صَوْتَانِ مَلْعُوْنَانِ فيِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ : مِزْمَارٌ عِنْدَ نِعْمَةٍ وَرَنَّةٌ عِنْدَ مُصِيْبَةٍ
Dua jenis suara yang dilaknat di dunia dan di akhirat, yaitu suara seruling ketika ada kenikmatan dan suara tangisan ketika musibah. (HR. Al-Bazzar)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ r قَالَ  إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَالْغُبَيْرَاءَ 
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu bahwa Nabi SAW bersabda,”Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan khamar, judi, kubah dan ghubaira’ (HR. Ahmad dan Abu Daud)

إنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَى أُمَّتِي الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْمِزْرَ وَالْكُوبَةَ وَالْقِنِّينَ 
Sesungguhnya Allah SWT telah mengharamkan atas umatku dari khamar, judi, mizar, kubah dan qinnin. (HR. Ahmad)

Hadits keenam, menutup telinga bukan berarti haram.

عَنْ نَافَعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ سَمِعَ صَوْتَ زِمَارَةِ رَاٍع فَوَضَعَ أُصْبُعَيْهِ فيِ أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيْقِ وَهُوَ يَقُولُ : يَا نَافِع أَتَسْمَعُ ؟ فَأَقُولُ : نَعَمْ  فَيَمْضِي حَتىَّ قُلْتُ : لاَ فَرَفَعَ يَدَهُ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ إِلىَ الطَّرِيْقِ وَقَالَ : رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ r سَمِعَ زِمَارَةَ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا - رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه 
‘Dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling gembala, maka ia menutupi telingannya dengan dua jarinya dan mengalihkan kendaraannya dari jalan tersebut. Ia berkata:’Wahai Nafi’ apakah engkau dengar?’. Saya menjawab:’Ya’. Kemudian melanjutkan berjalanannya sampai saya berkata :’Tidak’. Kemudian Ibnu Umar mengangkat tangannya dan mengalihkan kendaraannya ke jalan lain dan berkata: Saya melihat Rasulullah SAW mendengar seruling gembala kemudian melakukan seperti ini’ (HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Hadis ini punya dua kelemahan sekaligus, yaitu dari segi isnad dan istidlal. Dari segi sanad, hadis ini divonis sebagai hadis munkar oleh Abu Daud. Meski pun ada juga yang menentangnya. Namun kalau pun hadis ini diterima dari segi isnad, masih juga bermasalah dari segi istidlal. Mengapa? Karena hadis ini sama sekali tidak menyebutkan halal atau haramnya mendengar suara musik secara eksplisit. Hadis ini memang dari segi istidlah bisa ditafsirkan menjadi dasar keharaman mendengar suara musik. Namun kesimpulan itu belum tentu tepat sasaran. Karena ada beberapa kejanggalan dalam detailnya, seperti:

Pertama, seandainya hukum mendengar suara musik itu memang benar-benar haram, seharusnya Ibnu Umar tidak pergi dan berlalu dari penggembala. Seharusnya beliau melarang si penggembala meniup seruling. Sebagai ahli fikih di zamannya, tidak boleh hukumnya buat beliau mendiamkan kemunkaran, dan hanya sekadar menghindar. Tapi yang beliau lakukan hanya menghindar saja, tidak melarang. Berarti kalau peristiwa disimpulkan sebagai haramnya musik adalah kesimpulan yang kurang tepat.

Kedua, seandainya hukum mendengar musik itu memang benar-benar haram secara mutlak, maka seharusnya Ibnu Umar tidak hanya menutup telinganya sendirian. Seharusnya beliau juga memerintahkan pembantunya, Nafi’, untuk ikut juga menutup telinga, seperti yang beliau lakukan dan sebagaimana yang konon dilakukan oleh Rasulullah SAW. Tetapi kenyataannya, Ibnu Umar sama sekali tidak memerintahkan Nafi’ untuk menutup telinga. Malah beliau bertanya apakah Nafi’ masih mendengarnya. 

Maka karena tidak ada kejelasan pasti tentang mendengar musik haram apa tidak di hadis ini, bisa saja kita berasumsi bahwa ketika Rasulullah SAW menutup telinganya, bukan karena haramnya, melainkan karena sebab-sebab yang lain, misalnya karena momentumnya tak tepat. Mengingat di waktu-waktu tertentu, Rasulullah SAW justru membolehkan nyanyian dan musik diperdengarkan dan dimainkan, misalnya ketika Hari Raya, pernikahan atau ketika dalam peperangan.

Atau boleh jadi si penggembala kurang pandai memainkan alat musiknya sehingga terkesan memekakkan telinga, fals dan sumbang. Sehingga beliau SAW menutup telinganya sambil meninggalkannya. Padahal kalau seandainya meniup seruling itu haram, seharusnya Rasulullah SAW bukan menutup telinga, tetapi beliau menegur penggembala itu secara langsung. Mustahil buat seorang Nabi mendiamkan kemungkaran di depan mata. Karena hal itu berarti tidak amanah dalam menjalankan tugas-tugas kenabian.

Hadits ketujuh, batilnya semua yang sia-sia.

Sebagian kalangan yang ingin mengharamkan nyanyian dan musik menggunakan hadis tentang semua perbuatan sia-sia hukumnya batil, kecuali memanah, melatih kuda, dan bercumbu dengan istri.

كُلُّ مَا يَلْهُو بِهِ الرَّجُلُ المُسْلِمُ بَاطِلٌ إِلاَّ رَمْيُهُ بِقَوْسِهِ وَتَأْدِيْبُهُ فَرَسُهُ وَمُلاَعَبَتُهُ أَهْلُهُ فَإِنَّهُنَّ مِنَ الحَقِّ
Semua perbuatan sia-sia yang dikerjakan seorang laki-laki muslim adalah batil, kecuali melempar panah, melatihkan kuda, dan mencumbui istrinya. Semua itu termasuk hak. (HR. At-Tirmizy)

Kelemahan hadits ini ada dua, yaitu dari segi kesahihannya dan dari istidlalnya. Dari segi sanad, Al-Hafidz Al-‘Iraqi menyebutkan bahwa ada idhthirab di dalam hadits ini. Sedangakan kelemahan dari segi istidlal bahwa hadits ini sama sekali tidak menyebut nyanyian dan musik sebagai sesuatu yang batil. Sedangkan kalau dikatakan bahwa nyanyian dan musik itu termasuk batil karena umumnya hadits ini, yang tidak batil hanya ada tiga perbuatan saja, maka akan ada begitu banyak perbuatan yang batil di sekeliling kita. Logika seperti ini ibarat ingin membunuh lalat dengan menggunakan meriam. Lalatnya belum tentu mati, tetapi korban yang lain sudah pasti.

Haramnya musik juga dikaitkan dengan haramnya keberadaan lonceng di dalam rumah. Namun suara lonceng tak selalu mutlak haram. Buktinya, kadang-kadang yang justru didengar oleh Rasulullah ketika menerima wahyu adalah suara lonceng, sebagaimana hadis sahih berikut :

أَحْيَانًا يَأْتِينِي فِي مِثْلِ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَيَّ
Terkadang wahyu datang kepadaku seperti bunyi lonceng. Itulah yang paling berat bagiku. (HR. Muslim)

Maka apabila lonceng itu haram hukumnya dalam segala hal, seharusnya beliau tidak perlu mendengar suara lonceng ketika menerima wahyu.

Sementara itu kalangan yang menghalalkan nyanyian dan musik juga menampilkan hadis-hadis yang justru menjadi dasar atas kehalalannya. Di antara hadis-hadis itu adalah ketika Rasulullah SAW membiarkan para wanita bernyanyi.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ r وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ r يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
Dari 'Aisyah berkata, "Abu Bakar masuk menemui aku saat itu di sisiku ada dua orang budak tetangga Kaum Anshar yang sedang bersenandung, yang mengingatkan kepada peristiwa pembantaian kaum Anshar pada perang Bu'ats." 'Aisyah menlanjutkan kisahnya, "Kedua sahaya tersebut tidaklah begitu pandai dalam bersenandung. Maka Abu Bakar pun berkata, "seruling-seruling setan (kalian perdengarkan) di kediaman Rasulullah SAW?" Peristiwa itu terjadi pada Hari Raya 'Ied. Maka bersabdalah Rasulullah SAW,"Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan sekarang ini adalah hari raya kita." (HR. Bukhari)

Hadis ini sahih terdapat di dalam kitab Ash-Shahih karya Al-Imam Al-Bukhari. Tidak ada satu pun ulama yang menentang kesahihannya. Sementara kalangan yang mengharamkan nyanyian dan lagu menyebutkan bahwa kebolehannya bersifat sangat terbatas, yaitu karena adanya hari raya saja.

Secara fitrah manusia juga menyenangi suara gemercik air yang turun ke bawah, kicau burung, dan suara binatang di alam bebas, senandung suara yang merdu, dan suara alam lainnya. Nyanyian dan musik merupakan bagian dari seni yang menimbulkan keindahan, terutama bagi pendengaran. Allah SWT menghalalkan bagi manusia untuk menikmati keindahan alam, mendengar suara-suara yang merdu dan indah, karena memang itu semua itu diciptakan untuk manusia.

Poin penting lainnya menyangkut hukum ini adalah, bahwa Allah SWT telah mengharamkan sesuatu dan semuanya telah disebutkan dalam Alquran maupun hadis Rasulullah SAW. Allah SWT menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk. Halal dan haram telah jelas. Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ اَلْحَلالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ اَلْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ اَلنَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى اَلشُّبُهَاتِ فَقَدِ اِسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي اَلشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي اَلْحَرَامِِ
Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada yang syubhat, manusia tidak banyak mengetahui. Siapa yang menjaga dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh pada syubhat, maka jatuh pada yang haram’ (HR Bukhari  dan Muslim).

Sehingga jelaslah semua urusan bagi umat Islam. Allah SWT tidak membiarkan umat manusia hidup dalam kebingungan, semuanya telah diatur dalam syariah Islam yang sangat jelas sebagaimana jelasnya matahari di siang hari. Oleh karena itu semua manusia harus komitmen pada syariah Islam yang merupakan pedoman hidup mereka.

Istilah yang biasa dipakai dalam mazhab Hanafi pada masalah nyanyian dan musik sudah masuk dalam ruang lingkup maa ta’ummu bihi balwa (sesuatu yang menimpa orang banyak). Sehingga pembahasan tentang dua masalah ini harus tuntas. Dan dalam memutuskan hukum pada dua masalah tersebut, apakah halal atau haram, harus benar-benar berlandaskan dalil yang sahih (benar) dan sharih (jelas).

Dan tajarud, yakni hanya tunduk dan mengikuti sumber landasan Islam saja yaitu Alquran, sunah yang sahih dan Ijma’. Tidak terpengaruh oleh watak atau kecenderungan perorangan dan adat-istiadat atau budaya suatu masyarakat. Hal ini sesuai firman Allah SWT.

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu (QS Al-Baqarah 29).

Sehingga untuk memutuskan hukum haram pada masalah muamalah termasuk nyanyian dan musik harus didukung oleh landasan dalil yang sahih dan sharih. Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan kewajiban, janganlah engkau lalaikan, menetapkan hudud, jangan engkau langgar, mengharamkan sesuatu jangan engkau lakukan. Dan diam atas sesuatu, sebagai rahmat untukmu dan tidak karena lupa, maka jangan engkau cari-cari (hukumnya)." (HR Ad-Daruqutni). "‘Halal adalah sesuatu yang Allah halalkan dalam kitab-Nya. Dan haram adalah sesuatu yang Allah haramkan dalam kitab-Nya. Sedangkan yang Allah diamkan maka itu adalah sesuatu yang dimaafkan." (HR at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan al-Hakim )
 
Lalu apanya yang diharamkan?
Pada hukum nyanyian dan musik ada yang disepakati dan ada yang diperselisihkan. Ulama sepakat mengharamkan nyanyian yang berisi syair-syair kotor, jorok dan cabul. Sebagaimana perkataan lain, secara umum yang kotor dan jorok diharamkan dalam Islam.

Ulama juga sepakat membolehkan nyanyian yang baik, menggugah semangat kerja, dan tidak kotor, jorok dan mengundang syahwat, tidak dinyanyikan oleh wanita asing, dan tanpa alat musik. Adapun selain itu para ulama berbeda pendapat, sebagai berikut.

Jumhur ulama menghalalkan mendengar nyanyian, tetapi berubah menjadi haram dalam kondisi berikut:
- Jika disertai kemungkaran, seperti sambil minum khamar, berjudi dan seterusnya.
- Jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada wanita atau sebaliknya.
- Jika menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan salat atau menunda-nundanya, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu bagi umat Islam yang mendengarkan nyanyian dan musik harus memperhatikan faktor-faktor berikut:
1. Lirik lagu yang dilantunkan
Hukum yang berkaitan dengan lirik ini adalah seperti hukum yang diberikan pada setiap ucapan dan ungkapan lainnya. Artinya, bila muatannya baik menurut syara’, maka hukumnya dibolehkan. Dan bila muatannya buruk menurut syara’, maka dilarang.

2. Alat musik yang digunakan
Sebagaimana telah diungkapkan di muka bahwa, hukum dasar yang berlaku dalam Islam adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya dibolehkan kecuali ada larangan yang jelas. Dengan ketentuan ini, maka alat-alat musik yang digunakan untuk mengiringi lirik nyanyian yang baik pada dasarnya dibolehkan. Sedangkan alat musik yang disepakati bolehnya oleh jumhur ulama adalah ad-dhuf (alat musik yang dipukul). Adapun alat musik yang diharamkan untuk mendengarkannya, para ulama berbeda pendapat satu sama lain. Satu hal yang disepakati ialah semua alat itu diharamkan jika melalaikan.

3. Cara penampilan
Harus dijaga cara penampilannya tetap terjaga dari hal-hal yang dilarang syara’ seperti pengeksposan cinta birahi, seks, pornografi dan ikhtilath.

4. Akibat yang ditimbulkan
Walau sesuatu itu mubah, namun bila diduga kuat mengakibatkan hal-hal yang diharamkan seperti melalaikan salat, munculnya ulah penonton yang tidak Islami sebagai respon langsung dan sejenisnya, maka sesuatu tersebut menjadi terlarang pula. Sesuai dengan kaidah Saddu Adz dzaroi’ (menutup pintu kemaksiatan).

5. Aspek tasyabuh dengan orang kafir
Perangkat khusus, cara penyajian, dan model khusus yang telah menjadi ciri kelompok pemusik tertentu yang jelas-jelas menyimpang dari garis Islam, harus dihindari agar tidak terperangkap dalam tasyabbuh dengan suatu kaum yang tidak dibenarkan. Rasulullah SAW bersabda:

وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ, فَهُوَ مِنْهُمْ أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ
‘Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka’ (HR Abu Dawud)

6. Orang yang menyanyikan
Banyak ulama yang mengharamkan laki-laki bila menikmati nyanyian dari wanita yang bukan muhrimnya, yaitu apabila menimbulkan syahwat dan nafsu birahi. Bila suara wanita itu tidak menimbulkan birahi, fitnah atau hal-hal yang negatif, maka hukumnya halal. Meski ada juga kalangan ulama yang lebih berhati-hati, sehingga mereka pukul rata saja, bahwa semua lagu yang dinyanyikan oleh wanita, hukumnya haram untuk didengarkan oleh laki-laki. Dan tidak harus apakah suaranya menimbulkan birahi atau tidak.

Namun para ulama sepakat bahwa pada hakikatnya suara wanita bukan aurat. Ada begitu banyak dalil tentang suara wanita yang bukan aurat, di antaranya adalah suara para istri Rasulullah SAW seperti Aisyah, Ummu Salamah, Maimunah, dan juga para wanita shahabiyah lainnya radhiyallahuanhunna. Suara mereka didengar oleh begitu banyak laki-laki, yaitu ketika para wanita itu menyampaikan hadis nabawi yang mereka riwayatkan. 

Seandainya suara wanita merupakan aurat, maka kita tentu haram menerima hadis dari para istri Rasulullah SAW itu. Tidak ada seorang pun di antara kita tahu bagaimana tata cara mandi janabah, karena nyaris semua hadis tentang bagaimana tata cara mandi Rasulullah SAW hanya diriwayatkan oleh para istri beliau SAW saja. Abu Bakar, Umar, Utsman, atau Ali tidak pernah meriwayatkan bagaimana cara mandi janabah yang dilakukan oleh beliau SAW.

Namun ketika yang diperdengarkan adalah suara wanita yang bernyanyi, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama membolehkan suara wanita yang bernyanyi asalkan tidak menimbulkan syahwat. Dan sebagian lainnya pukul rata mengharamkannya, karena kebanyakan lagu yang dinyanyikan oleh wanita menimbulkan berahi.

Demikian kesimpulan tentang hukum nyanyian dan musik dalam Islam semoga bermanfaat bagi kaum muslimin dan menjadi panduan dalam kehidupan mereka.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 

Ahmad Sarwat, Lc

Tanya Ustaz merupakan rubrik khusus di Semarak Ramadan. Tanyakan dan/atau konsultasikan hal-hal menyangkut Islam pada halaman Tanya Ustaz untuk dijawab oleh Ahmad Sarwat.

Ahmad Sarwat adalah pendiri Rumah Fiqih Indonesia yang juga dikenal sebagai penyusun buku "Seri Fiqih Kehidupan", "Seri Tanya Jawab Syariah", dan "Ensiklopedia Fiqih Indonesia". Saat ini Ahmad Sarwat juga masih menulis di website Rumah Fiqih Indonesia dan website pribadinya, www.ustsarwat.com.

No comments:

Post a Comment