بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: 9 Hakim Pembawa Perubahan di Indonesia
Go Green

Clock Link

Wednesday, October 9, 2013

9 Hakim Pembawa Perubahan di Indonesia

Berikut nama-nama Hakim-Hakim yang membawa perubahan di Indonesia, yang berhasil dikumpulkan oleh Tim Hukumonline:

- Albertina Ho


Dobrakan Albertina Ho
Hakim kelahiran Dobo, Maluku Tenggara dikenal sebagai hakim yang tegas dan kritis. Pertanyaan2 yang ia lontarkan sering membuat terdakwa dan saksi gelagapan. Wajahnya makin sering nongol di media setelah menyidangkan perkara Gayus Tambunan dan jaksa Cirus Sinaga kala bertugas di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Selepas dari PN Jakarta Selatan, Albertina dipindah ke Pengadilan Negeri Sungailiat, Bangka Belitung. Banyak pihak yang menilai pemindahan itu adalah bentuk demosi alias penghukuman. Soalnya, ada penurunan kelas dari PN Jakarta Selatan ke PN Sungailiat, yaitu dari IA ke IIB. Tapi Mahkamah Agung membantah penilaian itu sambil menyatakan bahwa pemindahan Albertina ke pengadilan yang kelasnya lebih rendah adalah bentuk uji kepemimpinan.

Albertina meraih gelar sarjana hukum dari FH UGM Yogyakarta dan magister dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.

Beberapa pelatihan dan seminar juga diikuti Albertina di dalam maupun di luar negeri. Terakhir, ia dikirim oleh Komisi Yudisial ke Turki bersama belasan hakim dan jaksa lainnya untuk mengikuti pelatihan anti korupsi dan pencucian uang.


----------------

- Artidjo Alkostar



Dobrakan Artidjo Alkostar
Siapa hakim Mahkamah Agung ("MA") yang paling ditakuti oleh koruptor? Bila ada survey mengenai hal ini, mungkin nama Artidjo Alkostar adalah salah satu yang berada di posisi teratas. 

Pria yang mengawali karier hukumnya di Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta ini memang terkenal tak mau kompromi dalam perkara kasus korupsi. Hampir tak ada catatan terdakwa kasus korupsi bisa bebas ditangannya. Artidjo memang patut disebut sebagai “kuburannya” para koruptor.

Kiprahnya dikenal karena berani menyatakan berbeda pendapat dengan anggota majelis hakim yang lain pada perkara mantan Presiden Soeharto dan skandal Bank Bali terdakwa Joko Tjandra. Meski dua hakim agung membebaskan Joko Tjandra di tingkat kasasi, dia berani berbeda pendapat (dissenting opinion). 

Kala itu, dissenting opinion (berbeda pendapat) belum terlalu dikenal dalam putusan MA. Namun, Artidjo berani menyatakan sikapnya. Walau kalah ‘suara’ dengan mayoritas anggota majelis, setidaknya pendapatnya bisa didengar oleh publik. 

"Ya, dengan begitu orang tidak selalu menganggap saya sebagai pecundang, ha-ha-ha.... Karena, paling tidak pendapat saya ada yang mendukung. Mosok, dari dulu jadi pecundang terus. Sebagai pengacara, saya sering kalah, karena tidak mau menyuap hakim dan jaksa," ujarnya kepada Kompas. (Sumber: http://www.library.ohiou.edu/indopub...7/07/0021.html)

Artidjo juga dikenal paling anti membicarakan perkara yang sedang ditanganinya oleh orang lain. Ini untuk meminimalisir suap. Ia bahkan tak segan-segan mengusir tamu yang melanggar ‘pantangannya’ ini. 

Saat ini, Artidjo menjabat sebagai Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA). Ia menggelar diskusi rutin antar hakim di kamar pidana untuk menyamakan persepsi. Uniknya, diskusi ini dilakukan secara terbuka dengan mengundang wartawan, kebiasaan yang sebelumnya jarang dilakukan di MA yang kerap dianggap sebagai “tempat yang gelap”. 

------------

- Bagir Manan


Dobrakan Bagir Manan

Mantan Ketua Mahkamah Agung ("MA") periode 2001-2009 ini meraih sarjana hukumnya di Universitas Padjadjaran ("Unpad") Bandung. Ia lalu menggondol Master of Comparative Law, dari University Law School Dallas, Texas, AS pada 1981. Tahun 1990 ia mendapat gelar doktor dari Unpad.

Soal karir, Bagir Manan pernah menjadi anggota DPRD Kodya Bandung, Staf Ahli Menteri Kehakiman, Direktur Perundang-undangan Departemen Kehakiman, Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman. 

Di penghujung tahun 2000, Bagir Manan diangkat menjadi hakim agung. Baru beberapa hari menjadi hakim agung, Bagir Manan sudah dapat merasakan aroma koruptif di tubuh MA. Bagi Bagir, sistem birokrasi di MA selama ini tak memungkinkan adanya aliran kerja yang sehat karena manajemen perkara dan administrasi yang buruk. Ia lalu mengusulkan perlunya judicial commision (saat ini terbentuk Komisi Yudisial) untuk mengawasi hakim agung.

Bagir tak butuh waktu lama untuk menjadi orang nomor satu di lembaga peradilan tertinggi di Indonesia itu karena pada 2001 ia terpilih menjadi Ketua MA. 

Setelah terpilih sebagai Ketua MA, Bagir langsung memulai program-program pembaharuan di tubuh MA dan lingkungan peradilan di bawahnya. Salah satunya adalah diterbitkannya SK tentang Keterbukaan Informasi di Peradilan yang diteken Bagir pada 2007. Sementara UU Keterbukaan Informasi Publik baru lahir setahun kemudian pada 2008. 

Salah satu bentuk keterbukaan informasi peradilan ini adalah lahirnya website www.putusan.net yang kemudian menjadi putusan.mahkamahagung.go.id. Di website itu kita dapat mengakses ribuan putusan tingkat MA dan pengadilan di bawahnya. 



---------------

- Benjamin Mangkoedilaga

Dobrakan Benjamin Mangkoedilaga
Nama Benjamin Mangkoedilaga mencuat di tahun 1990an, ketika beliau menangani kasus Majalah Tempo di masa Orde Baru. Saat itu, Majalah Tempo menggugat Surat Keputusan Menteri Penerangan—saat itu dijabat oleh Harmoko—yang mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Majalah Tempo. 

Pencabutan SIUPP, yang serupa tapi tidak sama dengan pembreidelan, digugat oleh Majalah Tempo ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Langkah ini mungkin terdengar pecuma, karena saat itu hakim berada di bawah Departemen Kehakiman, yang notabene dikuasai oleh rezim Orde Baru. Namun, Benjamin, ketua majelis hakim yang menangani kasus Tempo, justru membuat putusan yang mengejutkan banyak pihak.

Benjamin mengambil langkah yang cukup berani pada saat itu, dengan menyatakan SK Menteri Penerangan yang mencabut SIUPP Tempo cacat hukum dan bertentangan dengan UU Pokok Pers. Padahal, institusi kehakiman pada saat itu bisa dibilang hanya menjadi “corong” pemerintah dan seringkali tidak mampu menunjukkan independensinya sebagai salah satu pilar dalam demokrasi.

Keberanian Benjamin untuk menjamin kebebasan berpendapat dan kebebasan pers, serta sikapnya yang tidak takut dengan kesewenang-wenangan penguasa, menjadikannya salah satu hakim yang layak disebut sebagai hakim pendobrak.

-------------------

- Bismar Siregar

Dobrakan Bismar Siregar
Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 1956 ini mengawali karier sebagai jaksa di Kejari Palembang sejak 1957-1959, seperti dikutip dari situs tokohindonesia.com. Karier sebagai hakim dimulai pada 1961 di PN Pangkalpinang. Lalu pada 1969 diangkat sebagai Panitera Mahkamah Agung.

Kemudian pada 1971 diangkat menjadi Ketua di salah satu Pengadilan Negeri Jakarta. Lalu, pada 1981 menjadi hakim tingkat banding di Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung. Setahun kemudian diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara di Medan. Lalu pada 1984 mengucap sumpah sebagai Hakim Agung.

Sosok Bismar dikenal sebagai hakim yang bersih serta mengutamakan nurani pada setiap putusan. Bahkan ketika banyak orang menghujat mantan Presiden Soeharto almarhum, Bismar malah mengirimkan surat berisi empati pada penguasa Indonesia selama 32 tahun itu.

Salah satu putusan alm. Bismar yang terkenal sekaligus kontroversial yaitu saat beliau menjadi Ketua Pengadlan Tinggi Medan. Yaitu Putusan No.144/PID/1983/PT Mdn yang menghukum seorang pria yang menghamilli seorang perempuan dengan tuduhan penipuan, dengan hukuman 3 tahun penjara. Untuk memenuhi unsur penipuan, Bismar menafsirkan bahwa ‘kemaluan perempuan’ dapat disamakan dengan barang. Tapi, putusan ini tak bisa digunakan sebagai dasar karena Mahkamah Agung akhirnya membatalkan putusan yang cukup kontroversial ini.

Bismar Siregar menghembuskan nafas terakhir pada 19 April 2012 di RS Fatmawati, Jakarta.


----

- Jimly Asshiddiqie

Spoiler for Dobrakan Jimly Asshiddiqie
Pria kelahiran Palembang, 17 April 1956. Jimly memperoleh gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia ('UI") (1982) dan kemudian menjadi pengajar di almamaternya itu. Pendidikan S-2 (1987) diselesaikan di Fakultas Hukum UI (1987). Gelar Doktor Ilmu Hukum diraih dari Fakultas Pasca Sarjana UI, Sandwich Program kerja sama dengan Rechtssfaculteit Rijks-Universiteit dan Van Voolenhoven Institute, Leiden (1990).

Pada 1998, Jimly diangkat menjadi Guru Besar Penuh Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI dan dipercaya sebagai Ketua dan Penanggungjawab Program Pasca Sarjana Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI. 

Jimly menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi {"MK") selama 2 periode (2003 – 2008). Kepemimpiman Jimly selama dua periode di MK mendapat acungan jempol dari banyak kalangan. Ia dianggap berhasil membangun capacity building sebuah lembaga baru; sebuah pelaku kekuasaan kehakiman modern yang transparan; peradilan konstitusi yang menjadi tumpuan pencari keadilan.

Selama masa kepemimpinannya di MK, bersama koleganya di MK, Jimly merombak sistem peradilan gaya lama dengan menguatkan manajemen administrasi berbasis teknologi informasi. Salah satu konsepnya yang terkenal dan berhasil mengembangkan MK adalah 4 Unsur Peradilan Modern. Pertama adalah enlightened judges, hakim-hakim yang tercerahkan. Unsur kedua, adalah pengelolaan administrasi yang modern. Ketiga, Pengembangan sumber daya manusia atau staf-staf. Dan unsur keempat, sistem informasi hukum.

Saat ini Jimly menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Republik Indonesia, 2012-2017.


-------------

- Krisna Harahap

Dobrakan Krisna Harahap
Hakim ad hoc Tipikor di Mahkamah Agung ("MA"), Krisna Harahap sebenarnya 11-12 dengan Artidjo Alkostar. Prof. Krisna terkenal tak pernah mau kompromi dengan koruptor. Guru Besar Sekolah Tinggi Hukum Bandung (STHB) ini konsisten menolak pengajuan Peninjauan Kembali ("PK") yang diajukan oleh kuasa hukum terpidana. (Sumber: Lagi, MA Tidak Terima PK Tanpa Kehadiran Terpidana)

Dia berpendapat sesuai dengan aturan KUHAP, terpidana harus hadir dalam pengajuan PK, tak boleh diwakilkan. Karena, selama ini ada banyak buronan yang lari ke luar negeri tak mau menjalani masa pidana, tetapi mengajukan PK dari suatu tempat yang tak diketahui dengan mewakilkan ke kuasa hukum atau pengacaranya. Sikap Krisna ini akhirnya didukung oleh institusi MA dengan menerbitkan Surat Edaran MA No 1 Tahun 2002 tentang Pengajuan Permohonan PK dalam Perkara Pidana. 

-----------------

- Rudi Muhammad Rizki

Dobrakan Rudi Muhammad Rizki
Almarhum Rudi Muhammad Rizki memang bukan seorang hakim karier. Beliau lebih dikenal sebagai pengajar dan pakar hukum pidana internasional dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Namun, kepakaran dan pemahamannya atas hukum pidana internasional yang mengantarkannya menjadi salah satu hakim pertama di pengadilan ad hoc hak asasi manusia ("HAM"). 

Saat pengadilan ad hoc HAM dibentuk, Indonesia hanya memiliki sedikit perangkat hukum di bidang HAM. Indonesia baru saja memiliki Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusiadan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, namun belum meratifikasi perjanjian internasional lain di bidang HAM seperti ICCPR, ICESR, dan lainnya. 

Keterbatasan ini tidak menghalangi Rudi untuk tetap menangani kasus yang masuk ke pengadilan ad hoc. Rudi menggunakan berbagai perjanjian internasional tentang HAM sebagai dasar pertimbangan hukum dalam memberikan putusan, meski perjanjian internasional itu belum diratifikasi oleh Indonesia. Padahal, tidak lazim bagi hakim untuk menggunakan perjanjian internasional yang belum diratifikasi sebagai pertimbangan hukumnya.

Hingga akhir hayatnya, Rudi Rizki masih terus mengabdi di almamaternya, sekaligus terus berperan dalam proses penegakan HAM di Indonesia dan dunia internasional.


----------------

- Sunoto

Dobrakan Sunoto
Nama Sunoto memang belum sebesar atau ‘sementereng’ delapan hakim di atas. Sunoto merupakan hakim muda yang baru diangkat sebagai hakim pada 2007 lalu. Namun, meski masih terbilang sebagai ‘hakim kemarin sore’ kiprah Sunoto tak bisa dipandang remeh.

Dengan resiko yang harus dihadapi, Sunoto berjuang –bersama rekan-rekannya yang lain- untuk mendesak pemerintah agar memikirkan kesejahteraan hakim. Sunoto bahkan berani menggagas ‘mogok sidang’ bila tuntutan itu tak dipenuhi oleh pemerintah.

Buah perjuangan Sunoto dkk ini akhirnya berhasil dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung. Kesejahteraan hakim-hakim muda pun meningkat, sehingga bisa mendorong lulusan-lulusan fakultas hukum terbaik mau berkiprah sebagai hakim. 

No comments:

Post a Comment