بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Mukjizat Jadi Tolok Ukur Vatikan untuk Berikan Gelar Santo
Go Green

Clock Link

Saturday, July 13, 2013

Mukjizat Jadi Tolok Ukur Vatikan untuk Berikan Gelar Santo


Ketika Paus Yohanes Paulus II meninggal delapan tahun silam, para pendukungnya berteriak “Santo subito!” atau “Berikan gelar santo sekarang!”

Akhirnya keinginan para pendukung Paus Yohanes Paulus II berhasil terwujud. Vatikan baru-baru ini membenarkan bahwa Paus Yohanes Paulus II melakukan dua mukjizat. Sekarang tinggal menunggu upacara kanonisasi (proses menjadikan seseorang sebagai santo) resmi, yang sampai saat ini belum dijadwalkan. Proses pengesahan mukjizat di Gereja Katolik sudah berlangsung selama berabad-abad dan melibatkan penyelidikan oleh pakar ilmu pengetahuan.

Meski agak aneh bagi orang luar, pengesahan mukjizat yang pernah terjadi bisa memperkuat keyakinan orang-orang, ujar Michael O’Neill, yang menjalankan situs MiracleHunter.com.

“Bahkan orang-orang yang percaya Tuhan tertarik untuk membuktikan keberadaan-Nya. Terkadang sepertinya Tuhan bersembunyi,” ucap O’Neill. “Mukjizat adalah sebuah cara membuktikan kepada orang-orang bahwa Tuhan menjamah dunia.”

Perjalanan panjang mendapatkan gelar santo
Dalam agama Katolik, santo adalah orang-orang yang berada di surga bersama Tuhan. Meskipun mungkin ada banyak orang di surga dan secara teknis merupakan santo, mereka yang dianggap sebagai santo gereja yang sesungguhnya adalah orang-orang yang diketahui gereja Katolik berada di surga. Selain itu, orang juga bisa berdoa kepada santo tersebut yang terkadang menjadi perantara Tuhan.

Namun, menentukan siapa yang masuk ke surga adalah persoalan yang pelik. 

Begitulah mengapa mujizat diperlukan. Menurut gereja, mukjizat atau kejadian ilahi yang tidak memiliki penjelasan alami atau ilmiah, merupakan bukti bahwa orang tersebut berada di surga dan bisa menjadi perantara Tuhan untuk mengubah penyebab beberapa peristiwa.

Gereja Katolik menggunakan proses resmi untuk menentukan santo atau santa. Pertama-tama, kehidupan orang tersebut ditelusuri secara menyeluruh. Jika dianggap cukup saleh, orang tersebut dianggap sebagai hamba Tuhan. Jika mereka menunjukkan tingkat kebajikan heroik dalam hidup mereka, mereka dianggap sebagai orang mulia. Namun, untuk menjadi santo, mereka harus melakukan dua mukjizat setelah mereka wafat.

Komisi Mukjizat
Menjelang akhir proses pemberian gelar santo, Komisi Mukjizat yang ditunjuk Vatikan menyaring ratusan bahkan ribuan pernyataan mukjizat. Biasanya, komisi tersebut terdiri dari teolog dan pakar ilmu pengetahuan.

Hampir semua atau “99,9 persen dari pernyataan tersebut adalah mukjizat kesembuhan,” ungkap O’Neill. “Mukjizat tersebut haruslah penyembuhan yang tiba-tiba, seketika, dan pulih sepenuhnya. Dokter harus mengatakan, ‘Kami tidak memiliki penjelasan ilmiah tentang apa yang terjadi,’” ujar O’Neill.

Seorang perempuan yang sembuh dari kanker payudara tidak masuk hitungan, misalnya, jika ia memiliki kesempatan bertahan hidup sebesar 10 persen — ia harus pernah divonis tidak memiliki kesempatan sembuh sama sekali sebelum campur tangan ilahi terjadi, ujar Rev. Stephan Bevans, profesor teologi di Catholic Theological Union.

Pada 2010, mantan Paus Benediktus XVI menegaskan bahwa Yohanes Paulus II secara ajaib menyembuhkan seorang biarawati Prancis yang menderita penyakit Parkinson. Gereja baru-baru ini mengonfirmasi mukjizat kedua, ketika cedera otak yang dialami seorang perempuan asal Kosta Rika tiba-tiba sembuh setelah berdoa kepada Yohanes Paulus II.

Mukjizat dianggap sah jika orang tersebut hanya berdoa kepada satu orang, misalnya Yohanes Paulus II, saat mereka mengalami penderitaan. Dengan begitu, tidak akan ada percampuran ketika ingin menentukan orang di surga manakah yang sudah menjadi perantara mereka, ujar O’Neill.

Tradisi baru
Proses mempertimbangkan mukjizat untuk menetapkan santo memiliki sejarah yang relatif singkat di Gereja Katolik. Sebelum 1531, ketika seorang petani asal Spanyol dilaporkan melihat gambar Perawan Maria di lereng di sekitar Mexico City, mukjizat tidak diperlukan dan pemberian gelar santo sebagian besar ditentukan lewat tradisi atau kemartiran, kata O’Neill kepada LiveScience.

Peraturan terkait mukjizat dan pemberian gelar santo berubah selama masa jabatan Yohanes Paulus II. Ia mengurangi jumlah mukjizat yang diperlukan menjadi dua, dari sebelumnya tiga.

Dan seperti yang sudah berulang kali dijelaskan ilmu pengetahuan selama bertahun-tahun, banyak hal yang dianggap mukjizat pada masa lalu tidak lagi dipandang seperti itu, ungkap Bevans.

Meskipun demikian, mukjizat secara teknis masih dibutuhkan, “Menurut saya mukjizat sudah tidak begitu penting” sebagai kriteria untuk pemberian gelar santo, kata Bevans kepada LiveScience. “Seharusnya kekudusan hidup orang tersebutlah yang diperhitungkan.”

Kekudusan mungkin merupakan nilai utama dari para santo, ucap Bevans.

Yohanes Paulus II, contohnya, telah “melakukan keajaiban, begitulah yang dikatakan, namun orang-orang juga menemukan inspirasi luar biasa dari pribadinya. Kekudusannya begitu jelas,” kata Bevans.

No comments:

Post a Comment