بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Dodong Kodir, Pembuat Alat Musik dari Limbah dan Sampah
Go Green

Clock Link

Monday, November 19, 2012

Dodong Kodir, Pembuat Alat Musik dari Limbah dan Sampah



Setiap hari, sampah yang Anda buang ke tempat sampah diangkut petugas ke dalam truk, lalu dibawa ke tempat pembuangan akhir. Tetapi jika sampah itu Anda berikan kepada Dodong Kodir, maka dia akan menyulapnya menjadi sesuatu yang menakjubkan.

Misalnya kecapi yang terbuat dari tabung bekas mesin cuci yang dipasangi senar. Atau bekas pulpen yang bisa menghasilkan suara gemuruh angin beserta petir juga air bah. Atau potongan kayu lapuk dan kulit buaya yang mampu menjelma jadi banjo.

Dodong Kodir, 60 tahun, mulai membuat alat musik dari sampah sejak tahun 1980-an. Ceritanya agak mistis. Alkisah, Dodong sedang mutung karena pemain gamelan lain datang terlambat ke kampus Akademi Seni Tari Indonesia (kini STSI). Saat itulah sebuah gong seolah-olah berbicara. “Bisa saja kamu bicara ke orang lain. Kamu sendiri sudah bikin apa?” kata gong itu.

Pertanyaan itu membangunkan Dodong dari tidur panjang. Dia bertekad menciptakan alat musik buatan sendiri. Karya pertamanya seruling Sunda. “Saya menemukan bambu besar bekas tangga, saya bawa ke tukang suling,” katanya. Sempat dimarahi karena dianggap gila, akhirnya keinginan Dodong dipenuhi oleh tukang suling.

Setelah jadi, seruling besar itu malah sulit ditiup. Maklum, terbuat dari bambu sebesar kaki orang dewasa. “Bikin saya sesak napas,” kata Dodong. Suling yang diberi nama Sulangsong (singkatan suling asal songsong) kerap dibawanya ke STSI tanpa pernah dimainkan, hanya jadi bahan tertawaan.

Seruling besar itu akhirnya bermanfaat ketika suatu hari ada pagelaran di STSI yang membutuhkan efek suara. Sejak saat itu, Dodong ditempatkan sebagai penata efek suara bagi koreografer, seniman teater dan musisi di berbagai pertunjukan. Untuk suara “tek-tek”, misalnya, dia memukul-mukulkan batu. “Itu cikal-bakal nakal saya,” katanya mengenang.


Merambah mancanegara

Sosok lelaki kelahiran Tasikmalaya, 8 November 1951 ini masih terlihat ajeg dan segar. Rambut keritingnya dipelihara memanjang. Saat tampil bersama grupnya Lungsuran Daun, Dodong suka memakai pakaian hitam-hitam.

Lewat alat musik yang terbuat dari sampah, Dodong melanglang buana. Sejak 1996 dia kerap manggung di luar negeri, juga diundang bicara berkat ketekunannya memperlakukan sampah. Beberapa negara yang pernah dia kunjungi antara lain Denmark, Jepang, Belgia, Yunani, Prancis, dan Amerika Serikat.

Sulangsong bahkan menjadi intro orkestra bagi konser 100 tahun Mozart “La Flute Enchantee” yang diselenggarakan UNESCO di Prancis tahun 2006.

Festival internasional semacam Copenhagen Cultural, International Puppet & Mime Festival di Yunani dan Cyprus dan festival internasional lainnya pernah ia sambangi. Beberapa karyanya diparkir di museum luar negeri seperti di Madrid, Spanyol.

Tak hanya pentas dan pameran, kemampuan Dodong menghasilkan alat-alat musik ‘ajaib’ pun membuatnya bisa bersahabat dengan musisi world music dunia seperti Vidal Paz dari Spanyol, Mohammed Haddad (pemain alat petik oud, Bahrain), Kamil Tchalawep (pemain kontrabas, Ukraina), Yuan Chun (pemain suling, Cina) dan Sebastian Obrecht (penyanyi tenor, Prancis).

Menurut Dodong, kedatangannya ke sejumlah acara baik di dalam maupun luar negeri membawa misi penyelamatan lingkungan. “Saya bukan tukang sampah. Tapi ayo bersama-sama peduli limbah,” katanya.

Dia bercita-cita kelak bisa mendirikan museum yang berisi alat-alat musik ciptaannya. “Jika suatu saat bunyi-bunyian binatang hilang, saya masih ada buktinya. Anak-anak nanti tahu, Oh dulu pernah ada monyet, kodok, singa,” katanya. 


Dari Bassdong hingga Tornadong

Ketika bertugas sebagai penata efek suara di STSI, Dodong terpicu menghasilkan alat-alat baru dari lingkungan sekitar. Dia kerap memunguti, mengumpulkan dan menerima benda-benda yang sudah rusak. “Bagi saya nggak ada alat yang gagal,” katanya.

Langkah pertama membuat alat musik dari sampah adalah menerapkan prinsip awal bunyi apa yang dia inginkan. Tugas selanjutnya, mencari bunyi tersebut dengan mengawinkan berbagai sampah yang ada. Ini tugas yang tidak terlalu sulit, katanya, “Karena hati saya lapar pada bunyi.”

Dodong justru merasa sulit bila satu jenis barang “belum menemukan jodohnya.” Untuk kasus seperti ini, biasanya dia bakal membiarkan barang itu teronggok di ruang tamu atau gudang. Jika jodoh sudah ketemu, barulah proses perakitan dimulai.

“Saya pakai apa saja, nggak punya alat perkakas. Kalau mau melubangi suling saya pakai gunting,” katanya. Untuk satu alat tak butuh biaya yang besar. Komponen biaya paling tinggi justru untuk membeli lem karet dan spon bekas.



Jajaran kreasi alat musik dari sampah bikinan Dodong pun bertambah. 

Dengan sentuhan Dodong, pisau cukur bekas dan tutup deodoran dapat menghasilkan suara cicak, kodok, dan tokek. Wadah bekas mi dan bekas parsel (yang ditemukannya di Sungai Cikapundung) dia kawinkan menjadi alat mirip pancingan ikan. Ketika senar di ujung dipukul, muncullah suara efek serangga di hutan. Siapa pun yang mendengar pasti takjub.

Ada pula Banyu, tombak dan kaleng susu bekas yang menghasilkan efek suara gemuruh angin. Lalu ada Sagara, yakni bingkai lukisan, cangkang jam dinding, dan komponen rantai sepeda yang menghasilkan suara deburan ombak. Seru!

Macam-macam sampah, macam-macam efek suara. Mulai dari suara pesawat jet, lokomotif, binatang, suasana, hingga alat musik modern. Alat musik mana yang dianggap temuan paling top? Dia menyebut Banyu (yang terinspirasi dari Tsunami Aceh 2004) dan Tornadong (terinspirasi Situ Gintung). 

Tornadong sendiri alat musik dari buah walung kering, ditutup fiber tipis, untuk membunyikannya per yang menjuntai dari dalam digoyangkan, hasilnya gemuruh angin tornado dan suara petir. “Itu ibarat temuan kejutan buat saya,” katanya. 

Nama-nama alat musiknya sendiri cenderung asal-asalan. Kebanyakan dinamakan spontan. Tapi rata-rata merujuk pada namanya. Seperti Alpedong (alat peting Dodong), Bassdong (Bass Dodong). 

Dodong belum mematenkan satu pun karyanya. Dia mengaku tidak mau repot membuang waktu mengurus paten karena itu bukan prioritas utama. Dia pun tidak menjual alat musik bikinannya. 

“Bagi saya nilai sejarah suatu alat itu penting. Kalau saya jual, belum tentu saya akan punya dua kali alat itu.”

No comments:

Post a Comment