بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Pro-Kontra Teknologi Instant Replay
Go Green

Clock Link

Wednesday, October 22, 2014

Pro-Kontra Teknologi Instant Replay

Paris St Germain's Edinson Cavani (L) reacts as he receives a red card from referee Nicolas Rainville (R) during their French Ligue 1 soccer match against RC Lens at the Stade de France in Saint-Denis near Paris October 17, 2014. REUTERS/Charles Platiau (FRANCE - Tags: SPORT SOCCER)
yahoo.com - Graham Poll, mantan wasit internasional Inggris yang mengakhiri karir perwasitannya dengan tiga kartu kuning dalam satu laga untuk bek Kroasia, Josip Simunic, pernah mengatakan bahwa para pemain masa kini lebih pintar dalam melakukan tindakan-tindakan mengelabui wasit. Oleh karena itu, lanjut Poll, wasit sebagai pengambil keputusan di lapangan memerlukan banyak bantuan. Setelah teknologi garis gawang, kini wacana baru soal penggunaan teknologi instant replay menurut Poll akan mampu membantu wasit untuk meminimalisasi kesalahan-kesalahan yang saat ini masih sulit dideteksi.
Wacana tersebut datang dari sosok paling berkuasa di jagad persepakbolaan dunia, Sepp Blatter. Setelah munculnya beberapa keputusan kontroversial pada Piala Dunia 2014 silam, seperti tendangan penalti yang diberikan wasit untuk tim Brasil usai Fred melakukan diving, Blatter menegaskan urgensi penerapan teknologi instant replay sebagai sesuatu yang tak bisa ditunda lagi. Seperti yang telah diberitakan oleh banyak media, Piala Dunia U-20 di Selandia Baru tahun depan akan menjadi ajang ujicoba FIFA untuk teknologi ini, meskipun hal ini masih harus menunggu pengumuman resmi lagi.
Sepak bola sebagai olahraga yang sangat populer memang terhitung terlambat untuk mengaplikasikan teknologi-teknologi baru. Banyaknya fundamentalis dan tradisionalis dalam sepak bola membuat penerapan teknologi menjadi kerap terhambat. Padahal, teknologi seperti teknologi garis gawang dibuat semata-mata hanya untuk memudahkan wasit supaya terhindar dari kesalahan dan cercaan. Pun demikian halnya dengan teknologi instant replay ini.
Sebagai olahraga yang sangat cepat dan cair, banyak sekali kejadian dalam sepak bola yang terjadi dalam kurun waktu sepersekian detik. Terbatasnya indera, khususnya indera penglihatan wasit serta para asistennya, seringkali membuat mereka kesulitan dalam mengambil keputusan. Padahal, keputusan yang diambil oleh para pengadil tersebut harus dibuat seketika setelah ada suatu kejadian. Menurut seorang mantan wasit nasional asal D.I. Yogyakarta, Sumarwoko, seorang wasit harus bisa langsung mengambil keputusan ketika ada kejadian tanpa ada rentang waktu yang memisahkan antara kejadian dan keputusan.
Teknologi instant replay ini memungkinkan seorang pelatih (atau manajer) untuk mendebat ‘satu atau dua’ keputusan wasit untuk masing-masing babaknya. Namun, hal ini hanya dapat dilakukan ketika pertandingan sedang dihentikan sehingga tidak menganggu jalannya pertandingan secara keseluruhan. Jika ada keputusan yang dianggap kontroversial, pelatih berhak untuk mendebat keputusan wasit, dan apabila video rekaman membuktikan bahwa wasit memang salah, maka keputusan wasit bisa dianulir.
Switzerland's Xherdan Shaqiri kisses a TV camera as he celebrates after scoring the opening goal during the group E World Cup soccer match between Honduras and Switzerland at the Arena da Amazonia in Manaus, Brazil, Wednesday, June 25, 2014. (AP Photo/Kirsty Wigglesworth)
Switzerland's Xherdan Shaqiri kisses a TV camera as he celebrates after scoring the opening goal during the …
Dalam sepak bola, penggunaan video rekaman selama ini masih terbatas untuk retrospective punishment saja. Retrospective punishment adalah hukuman yang diberikan kepada pemain, pelatih, atau ofisial yang diberikan setelah pertandingan usai karena sebelumnya, ketika pertandingan masih berlangsung, aksi mereka tidak terdeteksi baik oleh wasit maupun asisten-asistennya. Sejauh ini, penggunaan video rekaman untuk retrospective punishment sudah berjalan dengan cukup baik, di mana sudah banyak perbuatan tercela ‘tak kasatmata’ yang kemudian mendapat ganjaran setelah dipelajari lebih lanjut lewat rekaman video.
Apabila akhirnya teknologi ini diterapkan di dalam pertandingan, maka sepak bola akan mengikuti jejak rugby, tenis, kriket, dan American football yang sudah menerapkan teknologi ini sebelumnya. Di sinilah muncul perdebatan. Sepak bola dianggap terlalu cair dan cepat untuk mengadopsi teknologi semacam ini. Berbeda dengan rugby atau American football di mana laga yang terhenti memang sudah menjadi bagian dari permainan, penggunaan teknologi ini akan merusak momentum-momentum permainan yang berlangsung di sepak bola. Seperti sudah kerap terjadi sebelumnya, momentum permainan sebuah laga, tanpa laga harus terhenti saja bisa berubah dengan cepatnya, apalagi nanti kalau laga terhenti akibat penggunaan instant replay.
Salah satu tokoh yang menentang penggunaan teknologi ini adalah Presiden UEFA, Michel Platini. Mantan bintang Juventus dan timnas Perancis yang sebelumnya juga menentang penggunaan teknologi garis gawang menyatakan bahwa sepak bola akan kehilangan sisi kemanusiaannya jika terus dibanjiri oleh teknologi. Platini kemudian merujuk kepada kejadian yang menimpa rekan setimnya, Patrick Batiston kala dilanggar Harald Schumacher pada Piala Dunia 1982 serta gol ‘Tangan Tuhan’Diego Maradona empat tahun sesudahnya.
Bagi Platini, ketidakadilan sudah menjadi bagian dari sejarah sepak bola itu sendiri. Cerita-cerita pahit seperti nan fenomenal seperti dua kejadian yang dirujuk Platini di atas adalah cerita-cerita yang membuat sepak bola menjadi begitu romantis dan manusiawi. Platini kemudian juga menyebut bahwa jika sepak bola diperlakukan seperti ini, sepak bola akan kehilangan popularitasnya.
UEFA President Michel Platini shows the name of Glasgow, one of the 13 cities which will host matches at the Euro 2020 tournament to be played across the continent, during a ceremony in Geneva September 19, 2014.  REUTERS/Denis Balibouse (SWITZERLAND  - Tags: SOCCER SPORT)
UEFA President Michel Platini shows the name of Glasgow, one of the 13 cities which will host matches at the Euro …
Pro-kontra akan penerapan teknologi di dalam sepak bola memang tidak akan pernah berakhir, karena baik pihak yang pro maupun yang kontra, sama-sama memiliki argumen yang valid, meski subyektif. Blatter punya argumen kuat mengenai alasannya melontarkan wacana penerapan teknologi instant replay. Selain karena memang wasit perlu bantuan ekstra, teknologi garis gawang yang diterapkan di Piala Dunia dan sekarang, Liga Primer Inggris pun terbukti berhasil. Kontroversi serta kesalahan bisa diminimalisasi dan tentunya, kekecewaan serta kecaman pun bisa dihindari.
Namun, apa yang Platini kemukakan juga tidak bisa dipersalahkan. Sepak bola memang gudangnya drama dan kontroversi. Drama dan kontroversi tersebut kemudian akan direproduksi terus menerus hingga menjadi folklor untuk generasi berikut. Inilah yang membuat sepak bola bisa terus bertahan. Rasa penasaran, dendam, serta perdebatan yang timbul akan suatu kejadian kontroversial adalah salah satu bahan bakar bagi sepak bola supaya ia terus bisa hidup.
Pada akhirnya, reformis dan konformis memang selalu berseteru untuk menunjukkan siapa yang paling benar. Tujuan Blatter dan Platini sama-sama bagus, yakni demi keberlangsungan sepak bola itu sendiri. Namun, mereka berdua memiliki pandangan yang sangat bertolak belakang. Blatter tentu saja ingin meninggalkan warisan yang akan dikenang oleh generasi berikut, sementara Platini, sebagai sosok yang pernah merasakan bagaimana bermain sepak bola, ingin agar sepak bola tak kehilangan akar sejarahnya. Mari kita tunggu bersama-sama bagaimana kelanjutan wacana ini.

No comments:

Post a Comment