بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Lima Alasan Menonton "Edge of Tomorrow"
Go Green

Clock Link

Monday, June 2, 2014

Lima Alasan Menonton "Edge of Tomorrow"

Film “Edge of Tomorrow” (2014) boleh jadi punya premis yang secara instan mengingatkan penontonnya akan sederetan film lain. Meski demikian, film yang disutradarai Doug Liman ini terasa jauh dari kesan derivatif. Di sini, Tom Cruise dan Emily Blunt berdansa dengan takdir dan kematian dalam pengulangan hari tanpa akhir di ujung sebuah perang besar yang akan menentukan nasib umat manusia. Hasil akhirnya merupakan koreografi yang menggabungkan antara film fiksi ilmiah, aksi, thriller, dan komedi dengan takaran yang pas. Tapi, kalau Anda belum yakin kalau “Edge of Tomorrow” merupakan film paling tepat untuk disaksikan pekan ini, faktor-faktor apa saja yang bisa membuat Anda berubah pikiran? Berikut adalah lima alasan menonton “Edge of Tomorrow”.
1. "All You Need is Kill"


Sebelum ganti judul menjadi “Edge of Tomorrow”, film besutan Doug Liman ini punya judul “All You Need is Kill”, sama dengan judul novel yang menjadi dasar adaptasi kisahnya. Novel karya Hiroshi Sakurazaka ini diterbitkan tahun 2004 di Jepang dan punya banyak pembaca, termasuk setelah kisahnya diangkat dalam bentuk manga oleh Ryōsuke Takeuchi dan Takeshi Obata. Dante Harper yang tidak mendapat kredit di filmnya merupakan penulis draft pertama “All You Need is Kill”—naskah yang mendapat tempat prestisius dalam daftar The Black List tahun 2010. Untuk mengembangkan cerita dan menguatkan hubungan antara William Cage (Tom Cruise) dan Rita Vrataski (Emily Blunt), Christopher McQuarrie direkrut untuk merevisi naskahnya, sampai akhirnya berubah menjadi seperti sekarang.



Di luar beberapa perubahan yang dibuat McQuarrie, benang merah dari “All You Need is Kill” dan “Edge of Tomorrow” tetap sama. Cerita mengenai pertarungan antara umat manusia dengan alien yang dinamakan Mimics ini mirip gabungan kisah antara “Groundhog Day” (1993) serta “Starship Troopers” (1997). Bedanya, bila versi filmnya bertempo cepat dan lebih banyak berpindah-pindah lokasi, versi novelnya lebih banyak menghadirkan sang protagonis, Kiriya Keiji, berlatih berulang-ulang sampai dirinya mahir menghadapi serangan Mimics. Selain itu, novel Sakurazaka juga lebih banyak mengekplorasi perasaan Keiji sebagai mesin pembunuh yang kesepian, dan tentunya dihadang oleh keputusan pahit yang tidak dapat dielakkannya sebagai implikasi dari kemampuannya untuk mengulang-ngulang hari.



Bila Anda telah membaca dan menyukai “All You Need is Kill”, “Edge of Tomorrow” patut dipertimbangkan untuk ditonton. Dengan gabungan dari sebagian jalinan cerita dari Sakurazaka dan penyutradaraan dinamis dari Liman, film ini sungguh tidak mengecewakan sebagai sebuah thriller aksi. Tetapi, kalau Anda belum pernah mendengar tentang novelnya sama sekali, Anda tetap dapat sepenuhnya menikmati jalan ceritanya, meski rasa dan hasil akhir keduanya punya perbedaan signifikan.




2. Doug Liman



Kalau Anda sudah pernah menonton dua karya Liman yang paling terkenal, “The Bourne Identity” (2002) serta “Mr. & Mrs. Smith” (2005), Anda sudah bisa membayangkan kira-kira seperti apa bentuk dari film yang ingin disajikan sang sutradara dalam “Edge of Tomorrow”. Dengan premisnya yang unik mengenai seorang pria yang terjebak harus mengulang-ngulang waktu di ujung sebuah peperangan besar, Liman menggunakan bahan yang dimilikinya untuk membuat “Edge of Tomorrow” menjadi kisah dengan laju cepat yang lucu, dan sama sekali tidak terasa repetitif.



Meski sudut pandang Bill Cage mayoritas diperoleh dari garis depan, film besutan Liman ini tidak terasa seperti memuja kekuatan militer. Justru, Cage dan Vrataski lebih banyak mengambil gerakan taktis memanfaatkan informasi yang mereka miliki untuk mengalahkan musuh. Tapi, tentu saja ketika dibutuhkan, exosuit dan seluruh persenjataan yang mereka miliki tidak hanya sekadar jadi pajangan—termasuk pedang panjang Vrataski yang diadaptasi dari versi Sakurazaka yang tadinya merupakan kapak raksasa bermata dua. Secara visual, Liman dan tim VFX-nya juga memanfaatkan dengan baik bujet filmnya untuk menghadirkan adegan perang dan juga desain Mimics dengan baik, meski dengan pergerakan kamera yang cepat, beberapa adegannya terasa cukup menganggu bila disaksikan dalam format 3D.




3. Tom Cruise



Edge of Tomorrow
Baik dalam novel Sakurazaka, manga dari Takeuchi dan Obata, serta naskah dari Harper, Bill Cage merupakan prajurit muda yang tidak punya pengalaman tempur sama sekali. Tetapi, ketika Tom Cruise dipilih sebagai pemeran utama dalam “Edge of Tomorrow”, perombakan cerita jelas perlu dilakukan untuk mengakomodasi Cruise yang sudah berusia 51 tahun ke dalam peran yang harusnya diperuntukkan bagi aktor yang usianya setengah darinya. Tentu, di luar persoalan integritas cerita, lebih mudah untuk melihat pemilihan Cruise sebagai kalkulasi bisnis yang masuk akal.


Walaupun publik mungkin sudah menganggap konsep bintang film sebagai sesuatu yang usang, Cruise yang merupakan salah satu bintang besar terakhir Hollywood selalu konsisten mengangkat filmnya di atas ambang batas rugi. Beberapa film terakhir dengan Cruise sebagai bintang utama, “Oblivion” (2013), “Jack Reacher” (2012), dan “Mission: Impossible – Ghost Protocol” (2011) secara konsisten mencetak angka debut sekitar 15 sampai 40 juta dolar. Karena itu, jauh lebih aman untuk mempercayakan posisi pemeran utama dalam sebuah film berbiaya pembuatan 175 juta dolar di tangan seorang bintang yang sudah teruji.



Bila Anda merupakan penggemar Tom Cruise, tentu ini tak masalah. Apalagi, dalam “Edge of Tomorrow”, Cruise memberikan salah satu penampilannya yang paling solid dan menghibur. Bila Anda kurang sreg dengan Cruise, Anda juga tetap dapat menikmati penampilannya, karena seperti yang dikatakan oleh Liman sendiri, dalam film ini Cruise tampil babak belur, mati puluhan kali, dan tidak seperti karakter heroiknya yang biasa, kali ini ia hadir sebagai prajurit pengecut yang hanya memikirkan diri sendiri.




4. Emily Blunt



Emily Blunt
Kalau dalam kisah ini Tom Cruise menempati posisi Bill Murray di “Groundhog Day”, maka Emily Blunt bisa dibilang berada di posisi yang sama seperti Andie MacDowell. Tetapi, Blunt sebagai Rita Vrataski bukan hanya sosok wanita yang hadir untuk diselamatkan oleh Cage, dan juga tidak hanya jadi obyek untuk dirayu berpuluh-puluh kali. Vrataski yang mengenakan exosuit merah dan menyandang pedang panjang adalah pejuang yang setara dengan Cage di medan perang. Ikatan antara Cage dan Vrataski pun bukan sesuatu yang dipaksakan, namun berjalan perlahan.


Blunt yang pertama kali mencuri perhatian melalui “The Devil Wears Prada” (2006) memang sudah banyak hadir dalam film yang mayoritas adalah drama percintaan. Tapi, baru kali ini penonton dapat melihat bahwa Blunt tidak kikuk berperan dalam sebuah film aksi di mana ia harus mengenakan kostum seberat hampir 50 kilogram dalam syuting yang berjalan berbulan-bulan. Meski perannya tentu saja sekunder di samping Cruise, Blunt tidak hanya tampil sebagai pemanis, tetapi menjadi bagian penting dari filmnya. Kemampuannya untuk menarik simpati membuat penonton menyukai sosok Vrataski yang tangguh dan tidak suka basa-basi, sehingga keselamatan Vrataski sampai akhir cerita merupakan sesuatu yang krusial bagi penonton, serta membuatnya tak hanya sekadar jadi sosok love interest.




5. Humor



Dengan tipe film seperti “Edge of Tomorrow”, penonton tentu masuk ke bioskop dengan ekspektasi akan menonton sebuah film aksi yang seru. Tetapi, yang mungkin tidak disangka, di luar kapasitasnya sebagai sebuah film aksi invasi alien yang solid, “Edge of Tomorrow” juga merupakan film dengan selera humor yang kental. Aksi Cage dan Vrataski sebagai pahlawan pembasmi alien tidak hanya jadi kisah muram standar film-film tentang kehancuran dunia. Ada kekonyolan tersendiri yang dihadirkan dari rasa frustasi Cage ketika dirinya harus bolak-balik bangun-berlatih-mati sampai hidup lagi, dan mendapati bahwa ia terus-terusan kembali membuka matanya di lapangan yang sama beberapa jam sebelum dirinya dipastikan akan tewas lagi di medan perang.



Kelucuan yang hadir juga tak hanya disampaikan secara verbal, tapi juga hadir melalui berbagai skenario konyol yang diambil Cage demi memuluskan rencana latihannya, serta karena dirinya mati berulang-ulang dengan cara yang sering kali tidak elegan. Hal ini untungnya dibantu dengan penampilan Cruise yang tampak sangat nyaman berperan sebagai Cage dengan berbagai perangai bodohnya yang membuat penampilannya kali ini terasa berbeda dari kebanyakan lakonnya di film-film yang lalu sebagai sosok jagoan tanpa cela.

s

No comments:

Post a Comment