بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Alasan Risma Tutup Lokalisasi Gang Dolly Mati-matian
Go Green

Clock Link

Saturday, May 24, 2014

Alasan Risma Tutup Lokalisasi Gang Dolly Mati-matian



MERDEKA.COM. Sejarah Gang Dolly di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Surabaya, Jawa Timur akan segera tamat pada tanggal 19 Juni mendatang. Ketenaran lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara ini, sebentar lagi hanya tinggal cerita yang turut mewarnai perjalanan sejarah Kota Pahlawan.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sudah memutuskan, semua lokalisasi di Kota Pahlawan, termasuk Gang Dolly dan Jarak, menyalahi Perda Nomor 7 tahun 1999, tentang larangan bangunan dijadikan tempat asusila.

Tak hanya itu, wali kota yang dijuluki si singa betina, karena ketegasan dan prinsipnya itu, juga ingin mengajak warganya untuk mencari rizki halal tanpa harus menjual tubuhnya di tempat lokalisasi. Untuk itu, dia berusaha mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan dengan memberdayakannya sesuai skil mereka masing-masing.

Sebagai penunjang, Risma mengadakan pelatihan-pelatihan yang kelak bermanfaat. Wali kota perempuan pertama di Surabaya ini, juga memberi bantuan modal hingga mantan penghuni lokalisasi bisa mandiri secara ekonomi.

Alasan yang ketiga, menyangkut masalah pendidikan moral anak-anak hingga usia remaja yang berada di sekitar lokalisasi. Mau tidak mau, geliat prostitusi akan berdampak pada psikologis anak-anak di sekitar lokalisasi. Dalam setiap kesempatan menyangkut masalah penutupan lokalisasi, Risma selalu mengungkapkan, dia pernah menemui PSK yang sudah berumur, tapi yang menjadi langganannya adalah anak-anak sekolah. Miris.

"Ini yang menjadi alasan utama Ibu Wali menutup semua lokalisasi di Surabaya. Rencana ini sudah lama. Sebelum penutupan, beliau sudah sering turun bertemu dengan warga sekitar lokalisasi. Pendekatan-pendekatan terus dilakukan. Bahkan, Polrestabes Surabaya pernah memfasilitasi pertemuan antara Ibu Wali dengan pihak warga," terang Kabag Humas Pemkot Surabaya, Muhammad Fikser saat berbincang-bincang dengan merdeka.com Selasa lalu (20/5).

Fikser juga mengungkap, untuk saat ini, menjelang penutupan memang ada banyak pertentangan, yang tak memungkinkan bagi Risma untuk menemui warga dan berdialog. 

"Pro dan kontra itu pasti. Dan kita akan tetap memikirkan agar tidak terjadi gejolak apalagi terjadi benturan fisik. Termasuk memikirkan nasib perekonomian mereka."

"Untuk saat ini, memang bagi Ibu Wali tidak memungkinkan untuk bertemu warga di lokalisasi. Karena sudah banyak kepentingan yang masuk di sana," lanjutnya.

Memang niat baik, tidak selalu berjalan mulus. Pro-kontra selalu ikut mewarnai niat tulus. Penghuni Dolly dan Jarak, didukung elemen Front Pekerja Lokalisasi (FPL), Gerakan Rakyat Bersatu (GRB) dan Paguyuban Arek Jawa Timur (Pagarjati) serta beberapa elemen lain, termasuk Wali Kota Surabaya, Whisnu Sakti Buana ikut mewarnai pertentangan itu. Namun, pada hari Rabu lalu (21/5), saat menggelar pertemuan untuk kali kedua dengan warga Gang Dolly, matanya menjadi terbuka. Orang-orang yang dibelanya, jauh dari harapan. Politisi asal PDIP ini, terkesima dengan permintaan Ketua Pedagang Kaki Lima (PKL) di Gang Dolly, Gatot yang meminta ganti rugi usaha senilai Rp 1 miliar per kepala.

Mendengar itu, Whisnu menantang, jika orang-orang yang dibelanya tetap ngelunjak, dia akan membiarkan penutupan Gang Dolly tanpa solusi. 

"Jika itu terjadi, karena yang rugi warga sendiri. Mau tidak mau, 19 Juni, Dolly dan Jarak harus tutup. Sementara saya sudah memperjuangkan nasib warga terdampak dan konsep yang saya tawarkan disetujui Ibu Wali," kata Whisnu waktu itu.

Bahkan Whisnu membandingkan, jumlah pesangon atau ganti rugi warga di Dolly dan Jarak nilainya lebih besar dari empat lokalisasi yang sudah ditutup sebelumnya, yaitu Tambak Asri, Bangun Rejo, Sememi dan Klakah Rejo.

"Kalau tidak percaya, sampeyan (Anda) akan saya tunjukkan, apa yang saya perjuangkan untuk sampeyan-sampeyan itu nilainya jauh lebih besar, kalau tetap ngelunjak, saya bilang ditutup ya ditutup. Siapa yang rugi? Wong kalau mau ngomong salah ya salah, wong ini (Dolly) salah," kata Whisnu kesal.

Sementara itu, mesti memicu gejolak, rencana penutupan Gang Dolly dan Jarak, hingga saat ini setiap malam, masih menggeliat seperti hari-hari sebelumnya. Kehidupan malam, seolah tak terganggu dengan 'auman sang Singa Betina.'

Perempuan-perempuan berpakaian minim duduk di belakang etalase kaca mirip akuarium raksasa, duduk berjajar di atas sofa memamerkan paha-paha indahnya ke siapa saja yang melintas. Dentuman musik bergenre dangdut masih terdengar keras.

Gemerlap lampu warna-warni masih menyala dan makelar-makelar cinta satu malam masih aktif menawarkan gacoannya digoyang. Aktivitas para penghuni Gang Dolly seolah meyakinkan, seperti pemimpin-pemimpin sebelum Risma, selalu gagal menutup lokalisasi yang sudah menjadi ikon Kota Pahlawan itu.

Termasuk saat kepemimpinan Bambang Dwi Hartono, yang hanya bisa membatasi jumlah PSK di tiap wisma. "Sekitar tahun 1990-an, sempat ada penutupan di sana, tapi tidak lama, dan kembali buka lagi. Nah kita tidak ingin seperti itu, makanya rencana ini kita pikirkan secara matang. Memang tidak bisa serta merta. Penutupan ini akan kita kawal terus," kata Fikser.

Jika demikian, apakah tanggal 19 Juni nanti, Risma dan baladewa-nya berhasil menutup Gang Dolly, sementara para pendahulunya, sudah membuktikan angkernya tembok Gang Dolly? Kita simak saja ceritanya nanti.

No comments:

Post a Comment