بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Tak Perlu Uji Nyali di Lawang Sewu
Go Green

Clock Link

Thursday, January 23, 2014

Tak Perlu Uji Nyali di Lawang Sewu

“Waktu zaman Belanda ini kantor kereta api, Mbak. Tapi yang bikin seram adalah waktu penjajahan Jepang, ruang bawah tanah dijadikan penjara,” kata Widi, pemandu wisata saya saat mengunjungi Lawang Sewu di Semarang belum lama ini.


Arsitektur Lawang Sewu unik dan menarik. (Olenka Priyadarsani)


Lawang Sewu sebenarnya sudah dikenal sejak lama, namun baru benar-benar naik daun setelah dijadikan lokasi uji nyali acara televisi beberapa tahun silam. Kini, bangunan yang terletak di dekat Tugu Muda Semarang itu menjadi objek wisata utama bagi wisatawan yang datang ke kota ini.

Seperti kata Widi, gedung dengan arsitektur benar-benar cantik ini dulunya dibangun sebagai kantor jawatan kereta api. Tepatnya pada tahun 1904, dibangunlah gedung ini untuk kantor Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS dan baru selesai tiga tahun kemudian.

Lalu mengapa dinamakan Lawang Sewu (Seribu Pintu)? Kabarnya jumlah pintu sebenarnya tidak sampai seribu namun masyarakat menganggap jendela-jendela yang besar dan tinggi sebagai pintu sehingga dinamakan demikian. “Kalau dihitung semua daun pintu dan jendela, jumlahnya sekitar tiga ribu lembar,” Widi menjelaskan sambil membawa saya menuju bagian depan gedung.

Sesuai dengan peruntukkannya pada masa Belanda, di bagian depan terdapat lokomotif kereta uap yang dipamerkan. Warnanya hitam, terlihat gagah, walau sudah tidak beroperasi lagi.


Orkes keroncong di tengah kompleks Lawang Sewu. (Olenka Priyadarsani)


Saya kemudian diajak menuju ke bagian tengah kompleks di mana terdapat sebuah pohon besar. Bagian tersebut seperti sebuah lapangan yang dikelilingi oleh bangunan-bangunan Lawang Sewu. Di bawah pohon terdapat sebuah band keroncong yang tengah memainkan lagu Bengawan Solo. “Cocok sekali dengan suasananya,” pikir saya.

Widi kemudian mengajak saya berkeliling Gedung B. Saat itu tengah ada pameran kereta api yang menyajikan gambar-gambar serta miniatur kereta api kuno. Sambil berjalan ia menjelaskan bahwa gedung tertua di Lawang Sewu masih dibangun dengan metode lama tanpa semen.


Lorong gelap di bangunan-bangunan Lawang Sewu. (Olenka Priyadarsani)


Lorong-lorong gedung lebar dengan daun pintu dan jendela yang memang banyak sekali. Saya bisa membayangkan kalau malam hari pasti terasa menyeramkan. Namun siang seperti itu, ketika pencahayaan baik dan sirkulasi udara cukup, tidak terlalu mengerikan. Apalagi dari luar terdengar riuh rendah suara pengunjung lain.

Widi lalu membawa saya menaiki tangga ulir ke lantai atas. Tangganya sempit dan sedikit memutar jadi perlu hati-hati. Di lantai atas terdapat ruangan-ruangan besar dan kosong. Lantai atas ini memiliki balkon panjang dengan pagar dinding setinggi pinggang orang dewasa. Dari sini bisa terlihat Bundaran Tugu Muda dan keramaian di sekitarnya.


Taman di sekeliling bangunan pun cukup terawat. (Olenka Priyadarsani)


Di bagian bawah terdapat sebuah parit sempit dengan air dangkal. Widi mengatakan bahwa dulunya parit tersebut adalah sungai yang cukup besar dan dalam. Dulu dikenal dengan nama Sungai Merah, merujuk pada warna darah karena sungai ini dahulu digunakan sebagai lokasi pembuangan mayat para tahanan.

Tiba saatnya kami menuju ke ruang bawah tanah yang pernah dijadikan penjara oleh Jepang pada tahun 1942. Untuk masuk ke ruang bawah tanah pengunjung diharuskan menyewa sepatu boot seharga Rp10 ribu sepasang. Ruang bawah tanah memang selalu becek dengan air setinggi mata kaki. Sejak awal, ruang bawah tanah didesain untuk dapat menyimpan air dengan fungsi mendinginkan lantai di atasnya. “Oh, jadi semacam AC alami,” kata saya.


Masing-masing sel kecil ini dulu bisa berisi hingga 6 tahanan. (Olenka Priyadarsani)


Tangga menuju ke ruang bawah tanah juga sempit dan berulir. Ruangan ini gelap sehingga pengunjung harus membawa senter. Seperti beberapa bekas penjara lama yang pernah saya kunjungi sebelumnya, sel-sel di sini sangat sempit. Beda lho dengan penjara-penjara zaman sekarang yang biasa kita lihat di film-film seri Amerika.

Sel yang berukuran 1,5 x 1 m dulu bisa ditempati hingga enam orang tahanan. Lalu ada pula sel pendek setinggi lutut. Di sini tahanan hanya bisa jongkok atau duduk. Satu sel juga berisi banyak orang. Kejam sekali penjajah Jepang kala itu!

Tempat inilah yang dianggap seram oleh masyarakat sekitar. Maklum saja, penjara selalu jadi tempat penyiksaan dan entah berapa orang sudah mati disiksa di sini.

Kompleks Lawang Sewu sudah direnovasi, bahkan pernah ada wacana untuk menjadikannya tempat komersial dan hotel. Namun, banyak kalangan yang menentang rencana tersebut karena mengganggap proyek seperti itu akan merusak keaslian saksi sejarah ini.

Saya pribadi sebagai penikmat sejarah akan merasa sedih bila sampai bangunan bersejarah seperti ini dimodernisasi secara brutal. Perlu diingat, Lawang Sewu adalah saksi perjuangan para pendahulu republik ini. Di sinilah dulu terjadi Pertempuran Lima Hari antara Angkatan Muda Kereta Api (AMKA) melawan Kempetai dan Kidobutai Jepang.

Renovasi untuk merawat dan melestarikan bangunan bersejarah tentu wajib hukumnya, demikian juga sebagai sumber pendapatan pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Namun, tentu tidak bila dilakukan hanya demi kepentingan bisnis semata yang hanya akan menguntungkan segelintir orang.

Baca juga cerita perjalanan Olenka yang lain di http://backpackology.me

No comments:

Post a Comment