بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Surat terbuka untuk Ahok, Wakil Gubernur Jakarta
Go Green

Clock Link

Thursday, January 9, 2014

Surat terbuka untuk Ahok, Wakil Gubernur Jakarta

Teruntuk Pak Ahok yang saya kagumi,

Barangkali saja Pak Ahok tidak tahu rute angkutan umum dari rumah Bapak yang, jika saya tak salah dengar, berada di Pantai Mutiara, Pluit, Jakarta Utara. Sehingga, apa boleh buat, pada hari Jumat kemarin (03/01), hari pertama pelaksanaan larangan naik kendaraan pribadi sesuai Instruksi Gubernur Nomor 150/2013, Bapak memilih naik mobil dinas ke Balai Kota ketimbang naik angkutan umum. Salah satu dalih Bapak yang saya dengar dari berita, instruksi tersebut mengharuskan Pegawai Negeri Sipil (PNS), bukan mengharuskan Gubernur dan Wakil Gubernur.

Sungguh, Pak Ahok, kalaupun Bapak adalah PNS lalu tetap naik kendaraan pribadi, saya bisa mafhum. Jejaring angkutan umum di Jakarta itu kusutnya bagai sarang laba-laba. Untuk bisa hidup mengandalkan transportasi umum di kota megapolitan jadi-jadian ini, warga Jakarta harus berwawasan luas dan pintar-pintar bersiasat. Naik apa bisa turun di mana, mana yang paling cepat dan murah, sampai kapan kendaraannya beroperasi, lalu bisa sambung kendaraan apa lagi—haish, pelik sekali. Itu saja masih mesti tanya sana-sini.

Naik transportasi umum di Jakarta itu sebuah keahlian khusus yang perlu ditempa dengan pengalaman demi pengalaman. Ibarat kata pepatah, bisa karena biasa. Dan jika boleh saya lanjutkan, biasa karena terpaksa. Untuk Pak Ahok yang tak biasa dan tak terpaksa, saya rasa memilih untuk tidak naik angkutan umum itu logis adanya.

Tapi sebetulnya, naik angkutan umum dari rumah Bapak ke Balai Kota bukan hal mustahil. Kebetulan sekali saya sering main ke Pluit, Pak. Soalnya banyak mal di sana. Tak sampai satu kilometer saja ada tiga mal. Dari satu mal mau masuk ke mal yang lain tinggal menyeberang. Berhubung masih sedikit ruang publik yang asyik, niscaya saya pun jadi lebih sering ke mal, Pak.

Ke Pantai Mutiara saya juga pernah beberapa kali. Bukan main takjubnya saya melihat rumah-rumah di sana. bagus-bagus betul, sampai-sampai banyak yang punya dermaga kapal sendiri. Sudah begitu, dapat pemandangan laut utara pula. Saya sih cuma numpang melipir saja di sana. Pasang tampang sok keren supaya bisa melewati penjagaan satpam komplek, lalu numpang duduk-duduk di pinggir laut dan menikmati angin sepoi-sepoi.

Maka dari itu, Pak Ahok yang sungguh betul saya kagumi, dan tanpa mengurangi rasa kagum saya akan Pak Ahok, tulisan ini saya buat untuk Bapak, juga siapa tahu ada rekan-rekan PNS lainnya yang tinggal di area Pantai Mutiara, yang barangkali belum tahu rute angkutan umum dari Pantai Mutiara ke Balai Kota.


Rute Cepat (Pluit-Kota-Balai Kota)

Sebetulnya ada koridor 9 Transjakarta (Pluit-Pinang Ranti) di Pluit, yang halte pangkalannya terletak di Jalan Pluit Permai, belakang mal Pluit Village, tak jauh dari Pantai Mutiara. Dari sana, Bapak bisa transit di halte Grogol, lalu naik Bus Transjakarta koridor 3 (Kali Deres-Harmoni) dan turun di Halte Harmoni. Dari Halte Harmoni, Bapak berpindah lagi ke Bus Transjakarta koridor 2 (Pulo Gadung-Harmoni) yang akan mengantar Bapak ke Halte Balai Kota.


Ini jalur paling murah, Pak. Total tarifnya, hanya 3.500 rupiah.

Tapi untuk Pak Ahok yang butuh cepat sampai tujuan, saya tak menyarankan naik Bus Transjakarta koridor 9. Waktu tunggunya agak lama, sampai-sampai di beberapa halte koridor tersebut dipasang pengumuman di depan loket: “Maaf, bus lama”. Mungkin petugas loketnya sudah kerap disemprot penumpang. Jadi lain waktu kalau ada penumpang mengeluh, dia tinggal bilang, “Kan saya sudah kasih tahu sebelumnya.”

Saran saya, Bapak naik Bus Kopami Jaya P 02 (Muara Karang-Senen) yang berwarna biru. Naiknya bisa dari Jalan Pluit Karang Utara atau Jalan Pluit Permai. Kopami 02 ini menuju Senen dengan melewati Halte Kota (di area Stasiun Kota), sehingga Pak Ahok nanti bisa turun di Halte Kota, lalu naik Bus Transjakarta Koridor 1. Koridor 1 ini cukup nyaman, Pak, waktu tunggunya tidak lama, selain busnya juga besar dan bagus. Jika naik bus ini, nanti Bapak bisa turun di Halte Bank Indonesia.

Dari halte Bank Indonesia, Bapak bisa jalan kaki ke Balai Kota, paling lama 10 menit. Dari sana ke Balai Kota pedestriannya nyaman untuk jalan kaki, Pak, tak seperti banyak tempat lain di Jakarta. Bapak juga bisa memilih untuk jalan lewat Medan Merdeka Selatan atau lewat Kebon Sirih. Total tarif untuk rute ini adalah 6500 rupiah. Tapi jika Bapak butuh cepat, bisa juga dari Halte Bank Indonesia Bapak cari ojek motor. Tentu harus keluar kocek lagi.

Oh ya, Pak Ahok, Baik Kopami P 02 di Pluit maupun Bus Transjakarta di Halte Kota, dua-duanya berangkat dari pangkalan awal, sehingga busnya tidak akan terlalu ramai. Pastilah untuk Pak Ahok, yang memang tak terlalu suka bus yang ramai, bisa dapat tempat duduk. Lagipula kalaupun penuh, semua orang pasti berebut menawarkan tempat duduk untuk Bapak.


Rute Alternatif (Pluit-Senen-Balai Kota)

Selain naik Kopami P 02 lalu turun di Halte Kota, Bapak bisa juga naik bus yang sama menuju Stasiun Senen. Dari Stasiun Senen, Bapak jalan kaki ke arah selatan, sekitar 10 menit, menuju Halte Senen (Transjakarta).

Dari Halte Senen, Bapak naik Bus Transjakarta Koridor 2, yang akan membawa Bapak ke Halte Balai Kota. Total tarif 6500 rupiah.

Rute ini memang tidak terlalu efektif, karena bukan jalur terpendek. Tapi tidak semua hal di dalam dunia perangkutan-umum kita selalu berjalan lancar. Bisa saja tiba-tiba macet setempat di suatu jalan atau kendaraan umum jalur tertentu sedang mogok beroperasi, sehingga alangkah baiknya bersiap dengan beberapa alternatif.


Rute Komuter

Jika tujuan utama Instruksi Gubernur adalah mengurangi kemacetan, Bapak sebetulnya bisa juga bawa mobil sampai ke Stasiun Kota, lalu parkir mobil di sana. Parkir di Stasiun Kota itu memang disiapkan untuk para komuter yang ingin melanjutkan perjalanannya menggunakan kendaraan umum. Parkirannya buka 24 jam, dan tarifnya cukup bersahabat.

Selanjutnya dari Kota, Bapak bisa melanjutkan perjalanan dengan menggunakan Bus Transjakarta Koridor 1, seperti rute cepat yang sudah saya sebutkan.

Dengan begitu, Bapak membantu mengurangi beban jalan raya di pusat kota yang memang langganan macet.


Rute Komplit (Pluit-Kota-Djuanda-Balai Kota)

Saya dengar di salah satu harian nasional, alasan Bapak tidak naik angkutan umum adalah karena instruksi tersebut rentan disalahgunakan para pejabat untuk pencitraan.

Peka betul pikiran Pak Ahok. Di tengah maraknya politik pencitraan, Bapak memilih untuk berkata tidak. Ah, saya semakin kagum dengan Bapak. Tapi seandainya Bapak berubah pikiran dan ingin dilihat banyak orang bahwa bapak naik angkutan umum, saya anjurkan rute komplit ini.


Masih sama dengan yang sebelumnya, Bapak naik Kopami P 02 dulu, lalu turun di Stasiun Kota. Dari situ, Bapak naik kereta di Stasiun Kota, lalu turun di Stasiun Djuanda. Beberapa tahun lalu, Bapak sebetulnya bisa turun di Stasiun Gambir, lalu tinggal jalan kaki ke Balai Kota. Sayangnya kereta komuter sudah tidak lagi berhenti di Gambir.

Maka, berhentilah di Stasiun Djuanda, lalu dari sana Bapak berjalan sedikit menuju Halte Djuanda. Dari Halte Djuanda, Bapak naik Bus Transjakarta koridor 2 sampai ke Halte Balai Kota.

Alhasil, Pak Ahok menaiki semua moda transportasi massal penting di Jakarta: bus kota, kereta komuter, dan Bus Transjakarta. Pastilah lebih banyak yang akan melihat Bapak naik angkutan umum, dan citra Pak Ahok akan semakin menanjak.


Demikianlah beberapa rute yang bisa saya sarankan kepada Pak Ahok.

Semoga untuk hari pelaksanaan larangan naik kendaraan pribadi berikutnya, Bapak bisa bergabung dengan bawahan-bawahan Bapak naik angkutan umum. Pasti warga Jakarta, baik yang PNS atau yang bukan, senang sekali jika bisa sama-sama berangkat kerja dengan Bapak. Biarpun itu hanya sekali dalam sebulan.

Tapi, jika Pak Ahok masih merasa rute-rute angkutan umum yang sudah tersedia masih terlalu ruwet untuk Bapak, saya cuma bisa maklum, Pak, sambil berharap semoga Jakarta punya transportasi umum yang lebih baik lagi.


Salam,

Warga Jakarta


No comments:

Post a Comment