بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Sepakbola Damaikan Konflik Kristen-Islam di Ambon
Go Green

Clock Link

Wednesday, June 11, 2014

Sepakbola Damaikan Konflik Kristen-Islam di Ambon


MERDEKA.COM. Pertikaian berdarah antara warga muslim dan kristen di Ambon, Maluku, pada awal reformasi dapat mereda justru bukan lewat campur tangan negara, melainkan atas inisiatif warga. Lebih istimewa lagi, itu semua dimulai dari lapangan hijau.
Itu yang disodorkan novel "Jalan Lain ke Tulehu: Sepakbola dan Ingatan yang Mengejar" karya sang penulis Zen Rahmat Sugito, atau biasa disapa lewat nama pena Zen RS ini.
Novel terbitan Bentang Pustaka ini adalah bagian lain yang melengkapi peluncuran film "Cahaya dari Timur: Beta Maluku", disutradarai Angga Sasongko, dengan cerita juga menyoal sepakbola di Tulehu. Produser sekaligus pemrakarsa proyek ini adalah penyanyi tenar Glenn Fredly.
Dalam buku terbit Mei 2014 tersebut, Zen mengaku mengumpulkan cerita-cerita yang sungguh terjadi, selama melakukan riset di Ambon Juni hingga Juli tahun lalu.
Zen tertarik dengan kisah hidup warga Tulehu, kampung muslim di pesisir timur Pulau Ambon yang dikenal sebagai gudangnya pemain bola berbakat. Pemain nasional lahir dari kampung itu contohnya Rahel Tuasalamony, Rifai Lestaluhu, atau Chairil Anwar Ohorella.
Salah satu fakta paling menarik dari desa gila bola itu muncul ketika konflik berdarah Ambon mendekati titik nadir. Warga Tulehu menyerang warga Kristen di Waai, desa tetangga.
Imbasnya, warga nasrani tinggal di pulau seberang Tulehu, misalnya Masohi, tak ada yang berani lewat kampung pesepakbola ini bila ingin ke Ambon. Semua harus melewati pesisir utara dengan biaya lebih mahal.
Ketegangan mereda justru setelah memasuki akhir 2000, warga Tulehu menggelar turnamen sepakbola, diikuti pemain dari daerah lain, muslim maupun kristen. Sejak pertandingan antar kampung ini berakhir, warga pulau-pulau seberang berani menjejakkan kaki di Tulehu kembali.
"Warga Tulehu seperti coba menebus dosanya, dengan cara main bola," kata Zen dalam konferensi pers peluncuran bukunya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Senin (9/6).
Dari fakta-fakta menarik berkaitan dengan sepakbola di Jazirah Leitimur itulah, novel "Jalan Lain ke Tulehu" ditulis. Cerita berpusat pada seorang wartawan bermasalah asal Jakarta bernama Gentur bertugas meliput konflik Ambon.
Lantaran satu dan lain hal, sang wartawan lantas terjebak hingga terpaksa menepi sejenak di Tulehu. Gentur lalu berkenalan dengan Said, pelatih sekolah sepakbola setempat, dengan segala permasalahan hidupnya.
Di sana, tokoh utama melihat sepakbola merupakan daya hidup para warga. Lebih jauh lagi, permainan bola kaki ini berhasil mempersatukan warga Ambon dari pelbagai latar belakang suku, agama, sampai ras. Misalnya, soal fanatisme nyaris seluruh orang Maluku terhadap tim nasional Belanda.
Separuh lebih buku ini berisi soal bola dalam keseharian warga Maluku. Kendati demikian, penulis bermukim di Bandung itu mengaku tetap membahas situasi seputar konflik dipicu isu agama bermula pada 19 Januari 1999 itu.
Contohnya, imbuh Zen, sentimen warga selama masa konflik yang menganggap orang Ambon kristen sebagai pendukung Republik Maluku Selatan. Sebaliknya, orang Islam dianggap pro-NKRI.
"Novel ini ingin membahas itu, apa sih rasanya menjadi Indonesia justru di saat konflik," ujarnya.
Walau sama-sama proyek yang dikepalai Glenn Fredly, Zen menilai bukunya bukan adaptasi dari skenario film tayang di bioskop Indonesia 19 Juni mendatang itu.
"Novelnya bercerita tentang kejadian saat konflik, sedangkan filmnya tentang persiapan tim sepakbola Maluku setelah konflik. Jadi bukan adaptasi, tapi harus dibaca sebagai prekuel," urainya.
Dalam kesempatan yang sama, Glenn bercerita bahwa cita-cita membuat film dan novel terkait konflik Ambon sudah diikrarkan sejak 2010. Didapatlah ide mengangkat cerita hidup Sani Tawainela, pelatih asal Tulehu yang mempersatukan anak-anak muda Maluku dalam tim untuk bertanding di Jakarta.
Ilham didapat musisi 38 tahun ini hasil diskusi dengan Angga, sang sutradara. Zen pun diminta Glenn bergabung menulis novel yang melengkapi kisah tersebut dari sisi berbeda.
"Saya ingin dua orang bukan Maluku ini membuat novel dan filmnya, untuk mewakili pemikiran lebih luas, supaya lebih berimbang. Kalau Glenn yang membuatnya, bisa tidak berimbang dalam melihat konflik itu," kata pria berdarah Ambon, lama tinggal di Jakarta ini.
Angga Sasongko menambahkan, film yang dia buat, dilengkapi novel dari Zen RS, diharapkan mengingatkan masyarakat bahwa negara ini pernah dirundung konflik yang mengerikan akibat hal sepele.
Tapi bukan buat meratap saja. Sebab, bangsa ini sekaligus mahir memulihkan luka bersama lewat jalan yang terkesan main-main: sepakbola.
"Ketika negara tidak mampu menangani, masyarakat yang langsung turun tangan. Kita bangsa yang mahir dalam persoalan resiliensi nasional. Ini kekuatan kita," kata Angga.
Glenn menuturkan, Wali Kota Ambon Richard Louhenapessy mendukung niatnya mengangkat cerita sepakbola yang menyerempet ingatan masa lalu soal konflik merenggut setidaknya 9.000 korban tewas itu.
Dia yang pada masa perang antar warga menyempatkan pulang ke kampung halaman leluhurnya, merasa terpanggil mencari cara mendamaikan seluruh kubu bertikai.
"Apa yang terjadi di Maluku, bisa menjadi ingatan buat dunia tentang mahalnya perdamaian. Kita pernah punya proses semacam itu."

No comments:

Post a Comment