بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Lima Alasan Menonton “22 Jump Street”
Go Green

Clock Link

Thursday, June 12, 2014

Lima Alasan Menonton “22 Jump Street”


Jonah Hill dan Channing Tatum dalam 22 Jump Street
Minggu ini, mari kita sambut salah satu kandidat film komedi terbaik tahun 2014 di bioskop. “22 Jump Street” (2014) yang merupakan kisah lanjutan dari komedi hit “21 Jump Street” (2012) kembali menghadirkan Channing Tatum dan Jonah Hill sebagai duo polisi Jenko dan Schmidt yang kini menyamar sebagai mahasiswa.

Bila ada banyak film sekuel komedi yang mengecewakan karena tidak menampilkan peningkatan dari film terdahulunya, “22 Jump Street” yang menghadirkan perbaikan dari film pertamanya tentu tidak masuk dalam kategori ini. Dengan humor yang lebih jorok, lelucon yang lebih berlimpah, dan chemistry antara Tatum dan Hill yang makin solid, penonton rasanya tak mungkin kecewa dengan filmnya.
Tapi, bila Anda belum yakin bahwa “22 Jump Street” merupakan pilihan tontonan yang tepat di akhir pekan nanti, simaklah poin-poin rekomendasi di bawah ini. Berikut adalah lima alasan menonton “22 Jump Street”.

1. Phil Lord dan Christopher Miller
Lord dan Miller adalah contoh sutradara-sutradara terdepan dalam genre komedi pada saat ini. Filmografi mereka memang belum panjang, tetapi dengan “Cloudy with a Chance of Meatballs” (2009), “21 Jump Street”, dan “The Lego Movie” (2014), keduanya sukses mencetak kesuksesan beruntun dari segi pendapatan dan kualitas. Tahun ini, “22 Jump Street” diprediksi akan menorehkan satu lagi prestasi bagi Lord dan Miller setelah “The Lego Movie” yang dicintai penonton dan kritikus berhasil meraup 462 juta dolar Amerika Serikat dari peredarannya di seluruh dunia.
Dari berbagai ulasan yang telah beredar, jelas bahwa Lord dan Miller telah melampaui pencapaian mereka sendiri dengan menghasilkan “22 Jump Street” yang dinilai sebagai sekuel langka yang ternyata lebih bagus dari film perdananya. Kalau Anda suka dengan film-film Lord dan Miller yang terdahulu, Anda pasti akan merasa puas dengan suguhan terbaru mereka ini. Melalui struktur plot yang kurang lebih sama dengan “21 Jump Street”, Lord dan Miller seakan menantang diri mereka sendiri untuk menampilkan cerita serupa dengan komedi yang segar dan tidak terasa repetitif. Baik candaan fisik, verbal, maupun visual, semuanya komplit dihadirkan dalam film ini. Hasilnya adalah komedi modern yang tahu kelebihan dan kelemahannya sendiri, dan dengan piawai mampu menjadikan poin-poin plus dan minusnya sebagai bahan lawakan yang efektif.
Cuplikan 22 Jump Street (Columbia Pictures)Cuplikan 22 Jump Street (Columbia Pictures)




2. Komedi Meta dan Satir
Melalui “21 Jump Street” dan “The Lego Movie”, penonton tentu sadar bahwa Lord dan Miller senang bermain dengan komedi meta dan satir. “21 Jump Street” dengan maksimal mengolok-olok film-film polisi dan komedi remaja beserta semua stereotipe para karakternya, sementara “The Lego Movie” membawa penonton dewasa untuk merenungkan kembali perilaku mereka masing-masing sebagai kolektor mainan yang obsesif. Dalam “22 Jump Street”, Lord dan Miller tetap bermain-main dengan konvensi dari sebuah genre film yang spesifik. Tetapi di luar itu, mereka juga melontarkan komentar menyentil mengenai pembuatan film di Hollywood, dan tentunya sifat dari sekuel itu sendiri.
“22 Jump Street” merupakan film yang sangat sadar diri mengenai fungsinya, ekspektasinya, bujetnya, desainnya, dan tentu saja strukturnya sendiri. Para pembuat filmnya tidak perlu mencari inspirasi jauh-jauh untuk menemukan bahan celaan, karena nilai komedi tertinggi telah mereka capai melalui kemampuan mereka untuk menjadikan diri mereka sendiri sebagai materi untuk dijadikan bulan-bulanan. Meski banyak bagian dari “22 Jump Street” yang bisa mengundang tawa, filmnya sendiri bukan bahan tertawaan. Dengan melawan semua ekspektasi, franchise ini telah membuktikan lagi dan lagi bahwa kemerosotan ide di Hollywood bisa dilawan dengan inovasi, dan sedikit keikhlasan untuk introspeksi serta menertawakan diri sendiri.

Channing Tatum dan Jonah Hill (Victoria Will/Invision/AP)Channing Tatum dan Jonah Hill (Victoria Will/Invision/AP)
3. Channing Tatum

Sebelum “21 Jump Street”, tidak ada yang menyangka bahwa Channing Tatum ternyata punya talenta sebagai seorang komedian. Meski dalam “22 Jump Street”, Michael Bacall, Oren Uziel, dan Rodney Rothman adalah pihak-pihak yang bertanggung jawab menyediakan amunisi banyolan yang dilontarkan Tatum, tidak bisa disangkal bahwa cara penyampaian dan akting Tatum yang total merupakan alasan utama kenapa Opsir Jenko yang kekanak-kanakan dan kurang cerdas justru menjadi sosok yang sangat disukai penonton.
Bila di film sebelumnya Tatum menikmati peran yang dirancang untuk memutarbalikkan stereotipe mengenai sosoknya yang bertubuh atletis tapi berkepala kosong, di sekuel ini, Tatum memerankan Jenko yang bebas kembali menjadi dirinya sendiri. Dengan kembalinya Jenko menjadi alpha male, Lord dan Miller menggunakan posisi ini untuk memanfaatkan posisi yin dan yang dari Schmidt dan Jenko sebagai celah untuk mendekonstruksi film-film drama romantis. Mirip dengan dekonstruksi yang juga sudah dilakukan dalam “21 Jump Street”, sekuelnya ini turut menjungkirbalikkan aturan-aturan baku genre tersebut, dan membuatnya sebagai dasar untuk menyulap “22 Jump Street” menjadi sebuah bromantic comedy.
Channing Tatum dan Jonah Hill (Victoria Will/Invision/AP)Channing Tatum dan Jonah Hill (Victoria Will/Invision/AP)
4. Jonah Hill
Setengah dari nyawa “22 Jump Street” tentu saja berada di tangan Jonah Hill yang kini makin solid bertandem dengan Channing Tatum. Bila Schmidt di film pertama diberi kesempatan sebagai pihak yang menikmati efek samping positif dari penyamaran mereka di lingkungan SMA masa kini yang punya nuansa progresif, kini perannya dibalik sehingga ia kembali merasakan bagaimana rasanya menjadi sosok yang tidak diacuhkan oleh lingkungannya. Tentu saja, gaya dan penampilan Jonah Hill memang sudah sempurna untuk bermain sebagai polisi merangkap mahasiswa kikuk yang tidak punya teman. Karena itu, ini adalah peran yang natural untuknya.
Degradasi Schmidt kembali di posisi sekunder, ketika Jenko justru balik berjaya sebagai figur dominan dalam hubungan kemitraan mereka dipergunakan oleh Lord dan Miller sebagai pijakan untuk menghadirkan materi komedi utama yang menggerakkan plot. Komedi slapstick yang mengandalkan kontrasnya kemampuan fisik dari Jenko dan Schmidt juga kembali menjadi salah satu senjata pamungkas untuk memancing tawa. Akhir-akhir ini, Channing Tatum mungkin menjadi sosok yang lebih disukai penonton. Tetapi, tanpa percikan antara Tatum dan Hill, tidak akan ada api yang mengobarkan “21 Jump Street” menjadi franchise komedi terpanas yang ada di layar lebar beberapa tahun terakhir ini.

5. Adegan Tambahan
Dengan kesuksesan studio seperti Marvel dalam mengajari penonton untuk tetap duduk di kursi sampai seluruh credit dan ucapan terima kasih selesai digelar, post-credit scene merupakan sesuatu yang mulai marak diselipkan di akhir film. Dalam “22 Jump Street”, alih-alih mengkopi kata-kata Kapten Dickson (Ice Cube) dari film sebelumnya dan mengirim duo Jenko dan Schmidt sekolah S2, misalnya, Lord dan Miller justru mengemas adegan akhir yang berkali-kali lipat lebih konyol daripada yang bisa dibayangkan oleh penonton. Sepertinya penonton tidak akan bosan menonton bagian ini lagi, dan lagi, dan lagi sambil tertawa terbahak-bahak.
Bila rentetan komedi sepanjang hampir dua jam ini belum cukup untuk membuat Anda sakit perut, Anda juga bisa menunggu sampai keseluruhan credit selesai untuk menyaksikan post-credit scene yang tidak kalah lucunya. “22 Jump Street” memang bukan film tearjerker, tapi Anda boleh menyiapkan tisu demi mengantisipasi air mata yang keluar akibat terlalu banyak tertawa. Selamat menonton!

s

No comments:

Post a Comment