بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Lima Alasan Menonton "Godzilla"
Go Green

Clock Link

Monday, May 19, 2014

Lima Alasan Menonton "Godzilla"


Setelah gagal merebut hati penonton melalui “Godzilla” (1998) besutan Roland Emmerich, Hollywood mencoba untuk kembali menghadirkan sosok raja para monster ini di layar lebar melalui pendekatan yang lebih setia dengan sumber inspirasinya. Sebagai sebuah tontonan dalam rangkaian film musim panas, “Godzilla” (2014) merupakan pilihan yang layak dipertimbangkan, baik untuk para penggemar film-filmnya, maupun bagi mereka yang belum akrab dengan monster ikonis dari Jepang ini. Tapi, bila Anda masih belum mantap menentukan pilihan, faktor-faktor apa saja yang membuat film karya Gareth Edwards ini hadir sebagai pilihan tontonan nomor satu di bioskop pekan ini? Berikut adalah lima alasan menonton “Godzilla”.


1. Gareth Edwards

Tidak banyak sutradara yang punya keberuntungan seperti Gareth Edwards. Hanya berbekal satu film panjang dalam filmografinya, “Monsters” (2010), Edwards mendapat tawaran untuk membuat film adaptasi Hollywood berdasarkan sosok legendaris yang telah menghasilkan salah satu franchise film dengan umur terpanjang dalam sejarah sinema. Tetapi, ini memang bukan masalah keberuntungan semata. Edwards yang dalam film pertamanya merangkap pekerjaan sebagai sutradara, penulis naskah, sinematografer, desainer produksi, sekaligus menangani efek visualnya sendiri, menemukan bahwa semua yang dilakukannya memang merupakan modal berharga untuk lompat dari sebuah film berbiaya kurang dari satu juta dolar Amerika Serikat, ke angka fantastis 160 juta dolar.

Menemukan kelemahan dalam film “Godzilla” besutan Edwards memang tidak sulit untuk dilakukan. Tetapi, dari awal sampai akhir, “Godzilla” menunjukkan bahwa ia tidak dibimbing oleh seseorang yang hanya mementingkan aksi spektakuler saja. Edwards jelas sangat berdedikasi dalam usahanya untuk menampilkan sang monster dengan penuh penghormatan terhadap Godzilla versi Toho. Keinginannya untuk memberikan materi baru berdasarkan isu-isu kontemporer juga bisa diterima, meski mungkin terasa kurang pas bagi mereka yang melihat bahwa kisah mulanya punya perbedaan signifikan dengan film orisinalnya, “Gojira” (1954), yang disutradarai oleh Ishiro Honda.

Yang jelas, dalam babak ketiga filmnya, Godzilla versi Edwards dalam seluruh kedigdayaannya sepertinya mampu untuk memuaskan para penggemar maupun yang skeptis. Karyanya memang belum sempurna, tetapi ini tetap merupakan awalan yang sangat baik bagi Warner Bros. dan Legendary Pictures. 


2. Adaptasi

Apabila Anda mencari film Godzilla yang sepenuhnya setia pada kisah awal mula yang dihadirkan dalam “Gojira”, Anda mungkin akan kecewa dengan film ini. Perjalanan Godzilla melintasi laut dan pendaratannya secara harfiah di Amerika Serikat mungkin merupakan adegan paling pas yang dapat menggambarkan “Godzilla” versi Edwards dalam bentuk aslinya. Ikon kultural yang diciptakan di Jepang ini menyeberang dari perairan benua asalnya, menuju tanah baru yang berbeda, di mana ia menjadi sosok misterius yang ambigu, serta menjadi lambang kekuatan alam yang ditakuti sekaligus dikagumi.

Meski mempertahankan karakteristik lamanya dan tidak mengkhianati versi Jepangnya, “Godzilla” merupakan sebuah ciptaan yang dipandang dari kacamata Amerika Serikat. Sebagai konsekuensi dari adaptasi baru ini, dan juga usaha Edwards untuk membawa Godzilla berhadapan dengan permasalahan dunia modern, “Gojira” yang secara visual menggambarkan trauma terdalam Jepang—bom atom yang menghancurkan Nagasaki dan Hiroshima—kini menjelma menjadi trauma terdalam masyarakat Amerika Serikat. Dengan adegan gedung-gedung yang amblas menjadi puing-puing dan penggambaran jalan-jalan yang dipenuhi wajah-wajah para korban berselimut debu, “Godzilla” jelas mencoba untuk menangkap adegan kehancuran 9/11 dalam bungkus film tentang monster berukuran raksasa yang bisa dengan leluasa menghancurkan kota tanpa peringatan.

Dalam hal ini, “Godzilla” merupakan penerjemahan budaya dari “Gojira” yang sukses. Meski demikian, maraknya film yang berusaha untuk menggunakan bayangan peristiwa 9/11 mungkin dapat mengurangi efek kejut dari adegan-adegannya. Hal ini memang tidak terhindarkan, terutama karena Hollywood nampaknya menganggap bahwa adegan kehancuran berskala besar merupakan cara cepat untuk meningkatkan pertaruhan hidup-mati demi mencapai titik klimaks film.


3. Efek Visual dan Suara

Meskipun suitmation dalam film-film Toho merupakan bagian dari sejarah dan tradisi Godzilla, dalam film barunya, sang monster legendaris tentu harus dibuat sepenuhnya dengan CGI. Weta Digital, Double Negative, dan Motion Picture Company menyediakan sebagian besar efek visual dan desain baru dari Godzilla dengan hasil yang apik. Penonton mungkin kurang puas karena monster yang ingin mereka lihat sepenuhnya di depan layar itu tidak selalu mudah untuk diamati karena tebalnya awan, debu, dan asap. Tetapi, lingkungan yang diciptakan dengan VFX yang sangat detail ini justru membantu dalam membangun ketegangan karena Godzilla—sama seperti dalam film pertamanya—juga hanya hadir sekilas dalam beberapa kali kesempatan sebelum akhirnya muncul sepenuhnya di layar dengan raungannya yang menggetarkan.

Untuk memperbarui suara Godzilla yang khas, Edwards dan timnya memang tidak lagi menggunakan contrabass seperti yang dilakukan oleh Ichiro Mitsunawa dan Akira Ifukube untuk “Gojira”. Tetapi, mereka berhasil menciptakan suara raungan Godzilla yang tidak kalah menggelegar. Bila Anda menonton di bioskop dengan tata suara yang bagus, Anda bisa mendengarkan raungannya yang terdiri dari tiga bagian—sebuah suara yang tidak kalah menakutkan dengan T-Rex dari “Jurassic Park” (1993). Untuk mendengarkan suara Godzilla dengan maksimal, Anda dapat mencoba menontonnya dengan Dolby Atmos atau IMAX.


4. Subteks

Film-film Godzilla memang tidak hanya sekali atau dua kali hadir dengan peringatan bagi manusia untuk menghormati lingkungannya. Contohnya, dalam “Godzilla vs. Biollante” (1989) yang bercerita mengenai eksploitasi sumber daya alam dan bioteknologi, maupun “Godzilla vs. Hedorah” (1971) yang menyinggung soal polusi. Yang jelas, keberadaan tema yang serius dan relevan semacam ini membuat film-film Godzilla menjadi lebih istimewa karena ia memiliki nilai yang lebih dari apa yang dapat diamati di permukaan.

Dalam “Godzilla”, karakter Dr. Ichiro Serizawa (Ken Watanabe) yang hadir sebagai penghormatan akan sosok Dr. Daisuke Serizawa (Akihiko Hirata)—tokoh paling dikenal dalam film-film Godzilla Toho—merupakan medium untuk memajukan jalan cerita sekaligus suara yang mengingatkan penonton bahwa “Godzilla” tidak lupa dengan akarnya. “Gojira” merupakan refleksi mengenai kesombongan manusia yang merasa menguasai lingkungan dan tidak melihat implikasi dari kelalaiannya yang dapat menimbulkan malapetaka, sementara “Godzilla” dari Edwards yang mengingatkan pada bencana di Fukushima mengingatkan bahwa dengan semua kemampuannya, manusia dari waktu ke waktu harus bertekuk lutut di depan kekuatan alam yang lebih besar.

Tentu, ada juga berbagai makna tersirat lain yang hadir dalam film “Godzilla” yang baru ini. Bila Anda ingin tahu ada apa saja pesan-pesan yang diselipkan dalam filmnya, tentu Anda harus menyaksikannya sendiri.


5. Gojira

Salah satu nilai positif dari sebuah film adaptasi yang dibuat berdasarkan film klasik adalah kesempatan untuk memperkenalkan penonton pada sebuah karya yang sudah tidak muncul sejak lama. Film Godzilla terakhir Toho, “Godzilla: Final Wars”, dirilis sudah sepuluh tahun yang lalu. Sementara itu, mungkin belum banyak orang yang pernah menonton “Gojira” dan menyadari bahwa buah karya Tomoyuki Tanaka, Ishiro Honda, dan Eiji Tsuburaya ini merupakan salah satu mahakarya di dunia film horor dan fiksi ilmiah.

Dengan perhatian penonton yang tercurah pada film “Godzilla”, mereka yang belum tahu mengenai sejarah dan latar belakang sang monster radioaktif ini mungkin akan mencoba untuk lebih mengenal Gojira melalui film-film lawasnya yang juga menyimpan berbagai kisah menarik, baik di depan maupun belakang layarnya. Tidak hanya merupakan ikon di layar lebar, Godzilla juga telah muncul di berbagai medium lain seperti televisi dan komik, serta menjadi bagian dari sebuah pengalaman global. Kehadirannya juga secara langsung dan tidak langsung telah menjadi pondasi dari kaiju eiga dan tokusatsu.

Karena itu, bagi mereka yang ingin mencari jalan masuk untuk mengenal raja para monster ini, “Godzilla” karya Edwards jelas merupakan pilihan menarik. Apalagi, dengan dukungan perolehan box office yang solid, film ini berpotensi untuk menjadi awal baru kelanjutan franchise Godzilla, sekaligus memastikan bahwa warisan Tanaka, Honda, dan Tsuburaya dapat terus hidup sampai beberapa tahun ke depan.

yahoo.com

No comments:

Post a Comment