بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Gigi Meroni: Seniman, Pesolek dan Olahragawan Dalam Satu Tubuh
Go Green

Clock Link

Tuesday, May 7, 2013

Gigi Meroni: Seniman, Pesolek dan Olahragawan Dalam Satu Tubuh


Jauh sebelum David Beckham dan Cristiano Ronaldo menjadi ikon sepak bola dengan penampilan dan gaya hidup ala selebritas, dunia telah mengenal beberapa pemain legendaris yang memiliki tingkah seperti itu.

Andalan Brasil tahun 1950-an, Garrincha, adalah pemain hebat yang juga terkenal kontroversial. Pemain sayap kanan dengan giringan bola mantap ini membawa Brasil memenangi dua Piala Dunia tahun 1958 dan 1962. Pemain yang namanya diambil dari sebuah spesies burung ini dikenal sebagai pecandu alkohol dan hidup dengan banyak wanita.

Lain lagi dengan George Best. Pemain sayap kiri asal Irlandia Utara ini dianggap salah satu pemain terbaik dunia yang belum pernah mencicipi turnamen besar antar negara (Piala Eropa dan Piala Dunia). Selain permainan briliannya di lapangan kala membela Manchester United di tahun 1963 hingga 1974, Best juga dikenal sebagai pecandu alkohol, pesolek dan suka berganti-ganti pasangan.

“Sembilan puluh persen uang yang saya dapat saya habiskan untuk wanita, minuman dan mobil cepat,” ujar Best saat ia telah pensiun sebagai pemain.

Dari Italia, ada seorang pemain legendaris yang juga memiliki kemiripan karakter dan kehebatan bermain dengan kedua pemain tadi, yaitu Luigi Meroni. Dibanding kedua nama yang lebih mendunia itu, Meroni mungkin paling tidak dikenal. Wajar, karena ia hanya sempat enam kali membela tim nasional Italia dan bermain enam musim di dunia sepak bola profesional sebelum meninggal di usia sangat muda, 24 tahun.

Tidak seperti Garrincha dan Best, Meroni meninggal dunia bukan karena kecanduan alkohol atau kesehatan yang buruk, melainkan karena kecelakaan tragis pada 15 Oktober 1967.

Pemain yang lebih dikenal dengan nama Gigi Meroni ini mencuat saat membela klub Torino tahun 1964. Meroni adalah pemain flamboyan yang dijuluki “La Granata Butterfly” atau kupu-kupu merah marun, merujuk pada warna seragam klub Torino. Julukan ini diberikan karena gaya permainannya yang anggun, penuh keahlian dan trik. Indah dan lincah bagai kupu-kupu.

Meski bermain satu era dengan maestro Italia lainnya seperti Gianni Rivera, Sandro Mazzola dan Luigi Riva, rambut gondrong dan janggut Meroni yang ia padukan dengan kemampuan teknik tinggi sepak bola adalah sesuatu yang berkesan bagi penggemar sepak bola, sekaligus membedakan Meroni dengan yang lainnya.

Gol Meroni ke gawang Inter Milan di San Siro tahun 1967 masih dianggap sebagai salah satu gol terbaik Liga Italia sepanjang masa. Bagaimana tidak, melawan tim pelopor taktik catenaccio yang tengah mengalami masa jaya dibawah asuhan pelatih legendaris Helenio Herrera, Meroni dengan lihai melewati hadangan Giacinto Fachetti, bek terbaik Italia di masa itu sebelum menjebol gawang Giuliano Sarti.

Pemain yang berposisi di sayap kanan dan identik dengan nomor punggung 7 ini juga memiliki wajah tampan dan penampilan menarik yang membuat kaum hawa tergila-gila padanya. Rambutnya gondrong dan janggut ala band The Beatles adalah gaya unik andalannya yang selalu ia pertahankan.

Pada Piala Dunia 1966, staf pelatih Italia meminta Meroni mencukur rambut jika ingin bermain. Meroni dengan tegas menolak. Ia pun absen bermain pada laga lawan Korea Utara. Laga yang dimenangi Korea Utara dengan skor tipis 1-0 tersebut akhirnya menjadi salah satu kemenangan paling mengejutkan dalam sejarah Piala Dunia, sekaligus kekalahan paling memalukan yang dialami tim nasional Italia.

Tidak hanya tercermin dari penampilannya yang modis, Meroni memang memiliki jiwa seni tinggi. Sejak kecil ia mahir melukis, namun memilih sepak bola sebagai jalan hidup. Jiwa seni tinggi dari kemampuannya melukis ia padukan dengan kekuatan fisik yang memadai, jadilah pemain sepak bola dengan keahlian yang unik.

Suatu ketika, Meroni bersama rekan setimnya Fabrizio Pelotti dengan ceroboh menyeberangi jalan yang ramai bukan di zebra cross di kota Turin. Mereka hendak ke bar, merayakan kemenangan atas Sampdoria beberapa waktu sebelumnya. Naas, saat mereka menyebrang, dua mobil Fiat melaju kencang lalu menabrak Meroni dan Pelotti. Pelotti kemudian selamat, sementara Meroni yang tertabrak paling telak tidak selamat. Ia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.

Penabrak sang pemain adalah seorang suporter Torino yang saat itu berusia 19 tahun, Attilio Romero. Ia dibebaskan dari dakwaan karena Meroni dan Pelotti memang menyeberang tidak pada tempat yang disediakan.

Yang mengejutkan, 35 tahun kemudian Romero ditunjuk sebagai presiden Torino berkat kesuksesan hidupnya ditambah kecintaannya pada tim ini yang makin menguat setelah tragedi tersebut.

Kehilangan Meroni adalah tragedi bagi klub Torino, seolah membangkitkan kesedihan yang terjadi karena tragedi Superga tahun 1949. Tragedi itu menewaskan sebagian besar pemain mereka yang tergabung dalam tim Il Grande Torino, tim yang sempat menjuarai Liga Italia lima kali berturut-turut di tahun 1940-an.

Keberadaan pemain berbakat seperti Meroni dalam tim sebenarnya sangat mereka butuhkan, namun Tuhan berkehendak lain. Entah ada hubungannya atau tidak, kematian Meroni menyusul tragedi Superga ini membuat klub kehebatan klub sekota Juventus ini tidak pernah kembali.

Mereka baru merebut gelar juara liga 10 tahun setelah kematian Meroni, tahun 1975. Namun setelah itu, mereka tidak pernah kembali lagi sebagai tim juara.

yahoo.com

No comments:

Post a Comment