بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Nyoman Jero, Pengukir Selongsong Peluru
Go Green

Clock Link

Sunday, February 17, 2013

Nyoman Jero, Pengukir Selongsong Peluru





_______________________


Sebagai daerah yang selalu menghasilkan hasil seni ukir dan lukisan, masyarakat Tabanan, Klungkung, disamping bertani secara tekun, juga sejak dini telah belajar mengerjakan seni ukir dan lukisan dari orang tuanya. Atau kalau ingin lebih luas pengetahuan dan ketrampilannya, mau belajar juga kepada sanak saudaranya atau ikut bekerja pada mereka yang dianggap mempunyai reputasi tinggi, atau pada penghasil ukiran berbagai bentuk, atau penghasil seni lukis yang disukai oleh masyarakat luas dan atau pasar turis yang selalu datang ke Bali dalam jumlah yang tidak kecil.

Nyoman Weni dan Nyoman Jero keduanya masih ada hubungan kerabat. Karena sering bertemu akhirnya mereka disepakati keluarga lainnya agar menikah saja dan resmi menjadi suami istri. Setelah menikah dan mulai mengandung Nyoman Weni berhenti menenun. Menurutnya menenun tidak bisa disambi tetapi harus dikerjakan dengan tekun. Padahal dia harus mengurus rumah tangga dan menyiapkan kelahiran anaknya. Suaminya pak Nyoman Jero tetap bekerja mengukir bokor untuk tempat sesajen.

Pada suatu hari di sekitar tahun 1989 Pak Nyoman Jero mempunyai kenalan TNI Angkatan Laut yang bertugas di Surabaya. Pada suatu hari kebetulan kenalannya itu pulang ke Bali dan berkunjung kepadanya di Klungkung dengan membawa selongsong peluru bekas latihan. Mengetahui bahwa Nyoman Jero ahli mengukir bokor, dia ingin selongsong peluru bekas itu diukir dengan motif yang menarik. Biarpun belum pernah mengerjakan ukiran dengan bahan baku selongsong peluru, sebagai kawan dia menyanggupi mengukir selongsong peluru tersebut. Dengan ketekunannya, akhirnya selongsong peluru itu diukir mejadi produk seni yang sangat indah. Sejak itu kawan tersebut membawa hasil karya seni itu kepada kawan-kawan lainnya di lingkungan Angkatan Laut di Surabaya. Sejak itu pula Nyoman Jero makin menekuni seni mengukir selongsong peluru bekas atau bahan baku lain seperti itu. Nyoman Jero makin mengenalkan diri sebagai seniman ukir selongsong peluru bekas.

Mengukir selongsong peluru ternyata bisa dilakukan sambil mengerjakan pekerjaan lainnya, termasuk sambil mengasuh anak. Melihat kemungkinan itu, Ibu Nyoman Weni mulai belajar mengukir pada suaminya. Mungkin karena sering melihat suaminya mengukir, Nyoman Weni dengan mudah bisa melakukan pekerjaan itu dengan baik. Sejak itu dia rajin membantu suaminya mengukir selongsong peluru bekas bersama suaminya. Pagi-pagi dia mengurus anaknya dan keperluan suaminya. Setelah semuanya selesai, Ibu Nyoman, seperti penduduk Bali lainnya, bersembahyang di pura di depan rumahnya. Setelah semuanya selesai, Ibu Nyoman langsung ikut membantu suaminya mengukir selongsong pesanan atau bahan baku lain untuk dijual. Kadang-kadang Ibu Nyoman mengukir selongsong peluru sambil mengendong anaknya yang masih kecil.

Untuk mendapatkan selongsong peluru keluarga Nyoman tidak perlu menunggu, atau bahkan tidak mengharapkan perang. Kita mengetahui bahwa para prajurit TNI agar tetap siap menjaga keutuhan Tanah-Air tercinta, selalu harus berlatih. Sisa-sisa selongsong dari latihan itu menurut pendapatnya sudah cukup untuk melayani peminat yang umumnya juga berasal dari para prajurit atau keluarga prajurit. Selongsong yang digarapnya biasanya dikirim dari Surabaya. Proses mengukir selongsong peluru juga tidak sukar dan dapat dilakukan secara sederhana.

Sebelum selongsong diukir, terlebih dulu dibakar supaya lemas. Kemudian dioleskan cairan dale, dimasukkan getah pohon meranti yang didatangkan dari Lampung dan biasanya banyak tersedia di toko. Setelah itu baru selongsong diukir sesuai dengan motif yang dipesan oleh pemilik selongsong, atau pemesan yang meminta motif tertentu. Setelah selesai diukir secara sempurna, kemudian dicuci, dikeringkan dan diberi warna sesuai dengan selera atau pesanan peminat.

Pada tingkat awal usahanya sangat sederhana. Dia lebih banyak mengerjakan pesanan dari mereka yang membawa selongsong peluru sendiri. Ada juga yang datang menjual selongsong peluru kepadanya. Persediaan sedikit itu untuk memenuhi pesanan apabila seorang peminat tidak membawa selongsongnya sendiri. Mereka bisa datang membeli selongsong yang telah diukir dan disajikan di rumahnya atau dititipkan di kios di sekitar rumahnya. Kalau dihitung secara kasar, bahan yang diperlukannya mempuyai harga yang bervariasi, ada yang harganya sekitar Rp1 juta. Dengan tambahan bahan-bahan lainnya dan pengerjaan setiap selongsong selama 3 hari, selongsong yang telah diukir dengan baik dapat dijual seharga Rp2 juta. Setelah diperhitungkan bahan lain dan upah yang mengerjakannya, diperkirakan untungnya sekitar 25 persen.

Sistem upah untuk para pekerjanya adalah dengan sistem borongan. Pekerja pemborong mengerjakan borongan itu di rumahnya atau di rumah masing-masing. Tetapi sebelumnya kawan-kawannya itu sengaja dilatih sambil bekerja padanya, dipilih yang mampu dan mau bekerja dengan baik sesuai gaya yang dikembangkannya. Disyaratkan mau mengikuti desain yang ditentukannya sehingga Nyoman bisa menjamin kepuasan pelangganannya.

Setelah makin terkenal, Nyoman merasa bahwa usahanya bisa makin maju kalau saja dia mempunyai modal untuk membeli persediaan bahan baku yang lebih banyak, tidak menggantungkan diri pada mereka yang datang membawa bahan baku sendiri atau datang menjual bahan baku yang sangat terbatas. Ada juga keinginan untuk meminjam uang kepada Bank, tetapi dia tidak yakin apakah bisa membayar cicilannya. Namun karena desakan dan prospek yang dirasakan baik, pada tahun 2001 Nyoman memberanikan diri untuk mendatangi Bank BPD Bali Cabang Klungkung untuk mencari informasi tentang kemungkinan mendapatkan kredit.

Kebetulan BPD Bali Cabang Klungkung baru saja menggalang kerja samadengan Yayasan Damandiri untuk membantu keluarga yang semula tergolong pra sejahtera dan sejahtera I yang baru mulai dengan usaha mandiri. Keluarga pak Nyoman dan bu Nyoman dianggap memenuhi syarat. Setelah diteliti dengan cermat akhirnya keluarga Nyoman dianggap memenuhi syarat dan berhak mendapatkan kredit Rp20 juta dengan agunan tanah dan rumahnya yang ada. Kredit yang diperolehnya itu dipergunakan untuk membeli bahan baku dan membangun show room.

Dengan bahan baku yang lebih banyak, keluarga Nyoman bisa mengerjakan tidak kurang dari lima karyawan yang telah dilatih dan bekerja bersama di rumahnya selama ini. Produk yang dikerjakannya tidak tergantung dari pesanan, tetapi juga dihasilkan dengan desain-desain yang dianggap laku jual karena selama ini selalu dipesan oleh para penggemarnya. Hasil produk itu dijual di show roomnya atau dititipkan di toko sovenir yang ada di Klungkung atau tempat lainnya di Denpasar. Menurut pengalaman, konsumen utamanya adalah anggota TNI atau keluarganya, khususnya dari kalangan TNI AL. Salah satu sebabnya adalah karena Nyoman Weni dan Nyoman Jero sering datang ke Wisma Angkatan Laut di Denpasar. Di wisma itu produknya dipajang sambil meninggalkan kartu nama untuk pesanan, baik dengan membawa selongsong peluru bekas atau membeli dari persediaan yang ada.

Untuk menjual produk dengan bahan baku yang sekarang sudah langsung dicari di beberapa tempat, bapak dan ibu Nyoman juga sering mengadakan pameran dalam stan-stan yang diadakan oleh instansi pemerintah atau pameran yang sifatnya komersial. Produk yang dijualpun sekarang bervariasi dari harga Rp75.000 dengan ukuran selongsong peluru kecil, sampai selongsong ukiran dengan harga Rp1,2 juta dengan ukuran lebih besar dan ukiran yang lebih rumit atau mempunyai nilai seni yang lebih tematik atau dianggap tinggi.

Biarpun hasil produknya menjadi sangat terkenal bapak dan ibu Nyoman lebih banyak mengharapkan bahan bakunya berasal dari selongsong peluru sisa latihan, bukan selongsong peluru dari medan pertempuran. Longsong peluru sisa latihan pelurunya tidak berlumuran darah, sedangkan selongsong dari medan perang, pelurunya pasti mengenai sasaran dan berlumuran darah. Mereka mengharapkan agar selongsong peluru yang sudah diukir memberikan kebanggaan bahwa letusannya adalah untuk memelihara perdamaian, persatuan dan kesatuan bangsa, bukan untuk merangsang permusuhan apalagi kebencian sesama anak bangsa. Mengukir selongsong peluru bekas bukan ingin menunggu perang, tetapi menjadikan selongsong berseni sebagai simbul perdamaian dan persatuan bangsa.

http://www.pelita.or.id/cetakartikel.php?id=15440

No comments:

Post a Comment