بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Bulutangkis Menjadi Napas dan Darah Mereka | Arena
Go Green

Clock Link

Wednesday, April 11, 2012

Bulutangkis Menjadi Napas dan Darah Mereka | Arena

sumber: yahoo.com


Susy Susanti (Bernard Chaniago/Yahoo! Indonesia Olahraga) 

Bulutangkis sudah dikenal dan dimainkan di Indonesia sejak zaman kolonial. Olahraga ini sejatinya lahir di tanah Inggris pada pertengahan abad ke-18. 

Setelah Indonesia menjadi negara merdeka, bulutangkis yang identik dengan bangsa Eropa tidak lantas menghilang begitu saja dari muka bumi pertiwi. 

Indonesia malah menjadi salah satu kekuatan bulutangkis dunia bersama Cina dan Denmark. Sukses pertama Indonesia di panggung bulutangkis dunia ialah saat menempatkan dua jagoannya di final All England 1959. All England adalah turnamen bulutangkis tertua dan bergengsi dunia yang sudah dilaksanakan sejak 1899. Tan Joe Hok pun menjadi juara setelah mengalahkan Ferry Sonneville saat itu. Indonesia berpesta dan keduanya dielu-elukan oleh jutaan rakyat yang saat itu terlilit kemiskinan. 

Kemudian final All England 1959 seakan menjadi pembuka keran juara Indonesia di cabang bulutangkis. 

Rudy Hartono menjadi orang Indonesia yang mengoleksi gelar All England paling banyak. Delapan kali ia menjadi yang terbaik, dengan tujuh di antaranya ia raih secara berturut-turut mulai 1968 sampai 1974. 

Rudy terakhir menjadi juara All England pada 1976. Setelah itu nama Liem Swie King (1978, 79, 81), Ardy B Wiranata (1991) dan terakhirHeryanto Arbi (1993, 94) menjadi pahlawan merah putih di All England. 

Indonesia tidak hanya kuat di All England. Di pesta olahraga sejagat Olimpiade yang digelar setiap empat tahun itu, merah putih pernah dikerek menjadi yang paling atas di antara bendera bangsa lain. 

Alan Budikusuma (Emas tunggal putera Olimpiade Barcelona 1992), Susy Susanti (Emas tunggal puteri Olimpiade Barcelona 1992), Ricky Subagja/Rexy Mainaky (Emas ganda putera Olimpiade Atlanta 1996), Tony Gunawan/Chandra Wijaya (Emas ganda putera Olimpade Sydney 2000), Taufik Hidayat (Emas tunggal putera Olimpiade Athena 2004) dan Markis Kido/Hendra Setiawan (Emas ganda putera Olimpiade Beijing 2008), mereka adalah putera dan puteri terbaik Indonesia yang sudah mengharumkan bangsa dan negara ini di Olimpiade. 

Di Asia Tenggara, belum ada negara yang mampu meraih medali emas tanpa putus di lima Olimpiade berbeda. Hanya Indonesia yang bisa melakukannya melalui cabang bulutangkis. 

Susy Susanti adalah perempuan Indonesia pertama yang meraih medali emas Olimpiade. Selang 20 tahun, belum ada yang bisa menyamai prestasinya. 

Susy bercerita kalau perjalanan menjadi juara bukanlah hal yang mudah untuk diraih. Dibutuhkan semangat, tekad, dukungan orangtua dan keluarga serta pengorbanan yang tinggi. 

"Saat memutuskan menjadi atlet dan masuk pelatnas, kita meninggalkan segalanya," Susy menjelaskan saat berbincang dengan Yahoo! Indonesia Olahraga pada 20 Maret 2012 lalu. 

Semua orang yang memutuskan menjadi atlet nasional, bukan hanya di bulutangkis, memang harus meninggalkan pergaulan di luar pelatnas, keluarga sampai pendidikan. Padahal kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi. 

"Kami dulu hanya fokus untuk latihan dan latihan," ibu tiga anak itu menambahkan. 

Latihan yang dijalani oleh Susy dan teman-temannya saat itu terbilang berat. Mereka harus mengikuti program latihan tiga kali sehari dengan porsi yang luar biasa. Apalagi ketika akan mengikuti ajang bergengsi seperti Olimpiade. 

"Kita latihan bisa sembilan jam sehari. Mulai jam enam pagi sampai jam sembilan. Istirahat sebentar lalu dilanjut dari jam 11 siang sampai jam 1. Kemudian lanjut lagi dari jam 4 sore hingga jam 7 malam," ia berkisah. 

Latihan yang diikuti mulai dari mengasah kecepatan, kelincahan, reaksi di lapangan, teknik bermain bulutangkis, lari mengelilingi lapangan sepak bola sebanyak puluhan kali sampai angkat beban. 

Latihan beban bisa sampai 150 kilogram untuk kaki. Untuk badan bagian atas bisa 60 kilogram," imbuhnya. 

Tapi beban yang paling berat menurut Susy ialah tekanan dari masyarakat untuk selalu menang dan juara. Istri Alan Budikusuma itu bahkan pernah takut untuk bertemu orang jelang pertandingan-pertandingan besar. 

Pengorbanan Susy dan teman-temannya tidak sampai di situ. Cibiran beberapa orang karena ia dan temannya mendapat bonus usai menjadi juara juga pernah dialaminya. 

"Sampai kami dibilang mata duitan. Padahal kami tidak pernah meminta," Ia berujar sembari tertawa. 

Setelah gantung raket, perempuan kelahiran 11 Februari 1971 itu mengaku tidak mendapat apa-apa dari pemerintah. Hanya selembar piagam berisi ucapan terima kasih untuk semua pengorbanan dan jerih payahnya selama menjadi atlet bulutangkis nasional. 

"Tapi dari pengusaha yang peduli dan ketua klub saya, memang ada," ujarnya. 

Tapi Susy tidak pernah menyesal apalagi kecewa dengan jalan hidup yang ia ambil. Bagaimana pun bulutangkis sudah membentuk ia menjadi sosok yang hebat dan dikagumi banyak orang. 

Apa yang diharapkan Susy saat ini ialah masyarakat luas dan pemerintah lebih serius memperhatikan kesehjateraan para mantan atlet yang sudah berkorban untuk mengharumkan nama bangsa dan negaranya. 

Tunjangan rutin, kursus kepelatihan atau pelatihan berwirausaha untuk para atlet yang sudah pensiun tentu akan sangat bermanfaat. 

Bonus uang saat sang atlet sedang jaya dinilai tidak lah cukup. Karena kebutuhan hidup terus menanjak seiring berjalannya waktu. 

"Bulutangkis di Indonesia tidak ada jaminannya. Pemerintah juga tidak menjamin. Yang berprestasi saja tidak ada jaminan tertentu, kecuali hadiah uang dan bonus. Bagaimana yang tidak berprestasi?", Ricky Subagja memberikan fakta yang ada. 

Kita semua, tidak hanya pemerintah memang mudah melupakan para pahlawan olahraga dan legenda hebat padahal mereka sudah memberikan segalanya untuk negeri ini. 

No comments:

Post a Comment