بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Emir Abdelkader, Sosok Muslim Humanis Pelindung Kaum Nasrani
Go Green

Clock Link

Tuesday, May 30, 2017

Emir Abdelkader, Sosok Muslim Humanis Pelindung Kaum Nasrani


Liputan6.com, Jakarta - Hingga 2017, masyarakat dunia banyak dikejutkan dengan peristiwa teror maupun kekerasan. Sebut saja seperti bom Manchester di Inggris, serangan Nice, dan Paris di Prancis, perebutan Kota Mosul Suriah, penyiksaan terhadap tawanan perang di Abu Ghraib, pembantaian di Haditha Irak, teror London 7 Juli 2005, juga teror 11 September 2001 yang menyerang jantung kapitalisme Amerika Serikat.

Siapa yang paling dirugikan oleh teror? Korban, tentu saja. Selain itu, mereka yang terdampak langsung oleh serangan keji tersebut. Namun, tak hanya itu. Citra Islam sebagai agama rahmatan lil alamin ikut tercoreng oleh perilaku segelintir orang.

Dalam pidatonya di KTT Arab Islam Amerika (Arab Islamic American Summit) di Riyadh, Arab Saudi, Presiden Joko Widodo juga mengingatkan bahwa umat muslim sejatinya paling dikorbankan oleh aksi teror dan radikalisme --oleh mereka yang mencatut agama untuk melakukan aksi kekerasan, juga oleh serangan balasan yang dilancarkan negara-negara besar.

Bom, rudal, dan serangan drone tak mengenal korbannya. Alih-alih mengenai sasaran, masyarakat awam justru menjadi korban.

"Jutaan orang terpaksa mengungsi dari negaranya. Generasi muda kehilangan masa depan dan merasa frustrasi," kata Jokowi di depan delegasi, termasuk Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Padahal, frustrasi dan kemarahan itu justru menjadi benih baru ekstremisme dan radikalisme.

Dalam artikelnya yang dimuat di Independent, "We must look to the past, not Isis, for the true meaning of Islam", Robert Fisk meminta masyarakat internasional menengok ke belakang --bukan ISIS atau Al Qaeda-- untuk memahami kesejatian Islam. 

Lagi pula, seperti yang Cicero --sang filsuf Yunani-- katakan, "Historia Vitae Magistra", sejarah adalah guru kehidupan.

Fisk mengangkat kembali sosok besar bernama Emir Abdelkader. Siapa dia?

Lahir pada 6 September 1808, Emir (gelar kebangsawanan Aljazair) Abdelkader merupakan seorang muslim, sufi, syekh, humanis, pejuang, pelindung barbarisme Barat, pelindung umat Kristen.

"Ia sangat mulia bahkan Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln mengiriminya sepucuk pistol Colt sebagai tanda kehormatan, dan Prancis memberinya Grand Cross of the Legion of Honour (tanda jasa tertinggi Prancis)," demikian kata Fisk, seperti dikutip dari Independent, Senin (29/5/2017). 

Tak hanya itu, ia amat didukung oleh Victor Hugo seorang seniman Prancis dan Lord Londonderry seorang bangsawan asal Inggris, serta mendapat penghargaan dari Louis-Napoleon Bonaparte (Napoleon III), Raja Prancis.

Menurut Fisk, Abdelkader bukan seorang "muslim moderat". Sebab, ia dengan tegas melawan pendudukan Kristen Prancis atas negerinya, Aljazair, pada Abad ke-19.

Ia bukan pula seorang "muslim ekstrem". Sebab, saat dipenjara di Chateau d’Amboise Prancis, Abdelkader pernah mendamaikan seorang nasrani dan muslim, serta menyelamatkan sejumlah umat Kristen di Damaskus. 

Apa pun itu, sang Emir lebih terkenal sebagai orang yang humanis, menghargai serta menghormati kawan maupun lawan tanpa memandang status suku, agama, dan rasnya.


Menjunjung Pluralisme

Pada 1830-1837, pria bernama asli Abdelkader bin Muhiedin al-Juzairi berhasil memenangi perang gerilya di Aljazair melawan invasi dan pendudukan Kerajaan Prancis, yang pada saat itu merupakan salah satu bangsa dengan kapabilitas militer terhebat di dunia.

Kemenangan Abdelkader ditandai dengan pendirian sebuah negara di wilayah Aljazair barat, hasil perjanjian dan gencatan senjata dengan Prancis, seperti yang di atur dalam Treaty of Tafna.

Emir Abdelkader (Wikimedia Commons)

Sebagai bukti atas sikapnya yang menjunjung tinggi pluralisme, saat menjabat sebagai kepala negara, sang Emir mempekerjakan sejumlah penasihat kenegaraan dari kalangan Kristen dan Yahudi.

Selain itu, semasa ia menjabat sebagai kepala negara di Aljazair barat, para tahanan yang ditahan di wilayah kekuasaannya --sebagian besar merupakan umat Kristen Prancis-- tetap mampu melaksanakan ibadah keagamaannya.

Abdelkader meminta seorang pendeta untuk melayani ibadah keagamaan para tahanannya yang berasal dari Prancis. Ia bahkan memberi mereka kebebasan sebagai ganti atas apa yang disebutnya sebagai ketidakmampuannya untuk memenuhi kebutuhan dan hak dasar para tahanan.

Akan tetapi, kepemimpinan putra Muhiedin al-Juzairi itu terus diusik oleh Prancis yang tak puas atas kegagalan dalam menginvasi Aljazair.

Pada 1839, Prancis menyerbu batas wilayah negara sang Emir di Aljazair barat dan menandai jilid 2 invasi. Pada 1847, --meski kerap berhasil meraih kemenangan pada sejumlah pertempuran-- Abdelkader harus menyerah kepada Prancis yang telah mampu mengatasi taktik perang gerilya sang Emir.

Ia pun diasingkan ke Chateau d’Amboise Prancis. Namun semasa pengasingannya, Abdelkader tetap konsisten menyerukan perdamaian dan toleransi persaudaraan antar umat beragama. Hal ini ditunjukkan dengan aksinya yang mendamaikan pertikaian antara seorang nasrani dan muslim.

Saat diasingkan, sang Emir juga intensif mendalami filsafat Plato, Socrates, Aristoteles, Ptolemy, dan Averos, serta belajar Bahasa Prancis. Ia menulis buku berjudul Call to the Intelligent, Warning to the Indifferent, sebuah buku tentang toleransi keagamaan.

Saat masa pengasingannya habis pada 1852, putra Muhiedin al-Juzairi itu pindah ke Damaskus dan diminta oleh Prancis untuk tidak kembali ke Aljazair.


Aksi Melindungi Minoritas

Semasa tinggal di Ibu Kota Suriah moderen itu, sang Emir kembali menunjukkan sikap humanis dalam aspek keagamaan.

Saat itu, Damaskus tengah dirundung perang saudara yang ditengarai oleh suku-agama, yakni antara umat Kristen dan umat Muslim-Druze (Druze adalah sebuah kelompok etno-religi di Lebanon dan Suriah).

Pada 1860, penduduk Kristen di Damaskus tengah dikepung oleh Muslim-Druze. Para Muslim-Druze tersebut juga memburu dan membunuh para Kristen di Damaskus.

Untuk merespons dan menanggulangi kekacauan tersebut, Abdelkader memanfaatkan pengaruhnya untuk mengirim pasukan Algerian Muslim Guards --milisi pribadi sang Emir-- ke wilayah konflik.

Atas perintahnya, pasukan itu menerobos kepungan kerumunan massa Muslim-Druze dan mengawal sekitar 10.000 - 15.000 umat Kristen untuk ke luar dari Damaskus menuju tempat aman di wilayah tempat tinggalnya.

Bahkan beberapa umat Kristen tersebut juga ditampung di dalam kediaman sang Emir.

Saat sejumlah Muslim-Druze menyambangi rumah Abdelkader untuk memburu para umat Kristen yang tengah berlindung, sang Emir berpidato kepada para para penyerang tersebut:

"Kalian makhluk menyedihkan! Apakah ini cara kalian menghormati Nabi (Muhammad SAW)? Allah akan menghukum kalian. Seharusnya kalian malu, karena akan tiba hari di mana kalian akan membayar untuk semua ini. Saya tidak akan menyerahkan satu Kristen pun kepada kalian. Mereka (para umat Nasrani yang berada di dalam rumah Abdelkader) adalah saudara saya. Keluar dari sini atau kupanggilkan penjaga!", imbau sang Emir dengan tegas, seperti yang dikutip dalam The Independent, Senin, 29 Mei 2017.

Atas keberhasilannya dalam menyelamatkan dan melindungi warga Nasrani di Damaskus, Emir Abdelkader dianugerahi Prancis Grand Cross of the Legion of Honour (tanda jasa tertinggi Prancis).

Patut dipuji perbuatan Abdelkader. Ia merupakan seorang pria muslim yang tindakannya patut ditiru oleh seluruh umat beragama.

"Ia pria muslim yang menghormati hak asasi manusia dan menjunjung tinggi toleransi keagamaan. Sang Emir juga merupakan cendekiawan, komandan perang, negarawan, namun humanis. Ia contoh bagi kebangkitan Islam, seorang pria untuk semua muslim dan muslim untuk semua orang," kata Robert Fisk dalam artikelnya.

Namun, jika dibenturkan dengan situasi masa kini, seluruh kaitan geografis dan kearifan historis seputar Abdelkader memudar. Negara asal sang Emir, Aljazair, merupakan tetangga Libya, negara asal pelaku bom Manchester Salman Ramadan Abedi.

Kediaman Abdelkader di Damaskus Suriah, merupakan tempat yang kerap dibombardir oleh Amerika Serikat. Dan peristiwa kekerasan di Ibu Kota Suriah itu, menjadi justifikasi Salman Abedi untuk membalasnya dengan aksi teror di Manchester.

"Jadi, bagi seluruh masyarakat dunia, adalah bijak jika menyikapi kondisi masa kini --yang sangat sensitif dengan isu suku, ras, agama-- dengan riwayat sejarah seperti kisah Emir Abdelkader. Bahwa anekdot historis seperti itu bukan sekedar teks usang," tambah Fisk. 

Bahwa riwayat sejarah merupakan bukti bahwa wajah Islam --yang kerap diasosiasikan dengan sejumlah peristiwa teror terkini-- bukanlah ISIS, apalagi Salman Abedi.

Tetapi Islam juga pernah dan akan mampu kembali berwajah seperti sang Emir Abdelkader. Humanis, toleran, dan menjadi rahmat bagi seluruh alam.

No comments:

Post a Comment