بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Pelecehan Raffi Ahmad kepada Wartawan
Go Green

Clock Link

Tuesday, November 10, 2015

Pelecehan Raffi Ahmad kepada Wartawan


repubika - Ejekan artis Raffi Ahmad membuat sebagian pihak meradang. Mereka mengecam ulah yang ditampilkan pesinetron dan pembawa acara kocak itu dalam sebuah program di televisi swasta.

Pada 1 November lalu, saat mengisi acara bernuansa humor di televisi, Raffi memerankan diri sebagai seorang wartawan. Dalam salah satu adegan, Raffi yang baru saja punya anak itu melontarkan pernyataan tentang cara mangkus menghindari dari kejaran wartawan.

"Kalau wartawan lagi ngeriung (kumpul), lagi mengejar berita, giniin saja (lempar) duitnya. Wartawan kan, setiap orang kan mata duitan. Wartawan ke sana, gua ke sini," kata Raffi setelah tangannya melempar uang pecahan recehan.

Sehari setelah acara itu, kelompok yang menamakan diri Forum Wartawan Hiburan (Forwan) dan Poros Wartawan Jakarta (PWJ) langsung menyampaikan protes dan kecamannya. Candaan Saffi dianggap menghina profesi wartawan.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun bereaksi. Lembaga ini mengeluarkan teguran kepada stasiun televisi pengelola acara tersebut. Di mata KPI, guyonan itu dinilai telah melecehkan profesi wartawan.

Sulit untuk tidak mengatakan bahwa memang ada sebagian wartawan memiliki perilaku seperti itu. Namun, ada juga beberapa wartawan dari media-media tertentu yang begitu teguh memegang kode etik jurnalistik sehingga menolak segala bentuk pemberian dari narasumber atau pihak pemilik acara.

Saya pernah punya pengalaman yang benar-benar memprihatinkan. Kebetulan saya menjadi pengurus sebuah organisasi nirlaba. Kala itu kami akan mengadakan acara di sebuah kementerian. Saat hari H, kami ingin agar acara itu mendapat liputan media dan terpublikasi.

Untunglah ada staf humas kementerian yang membantu dan memperkenalkan saya pada wartawan yang biasa meliput di kementerian tersebut. Saya pun memperkenalkan sebagai seorang wartawan yang kebetulan menjadi pengurus organisasi nirlaba. Saya lalu memohon dengan sangat atas kesediaan rekan-rekan wartawan untuk meliput acara kami yang juga dihadiri oleh menteri.

Senangnya bukan main ketika saya mendengar jawaban kesediaan mereka. Namun, kegembiraan itu hanya sesaat. Tak berapa lama, betapa terkejutnya saya mendengar ucapan (koordinator) wartawan itu.

Tanpa rasa sungkan dan tanpa tedeng aling-aling, sang wartawan itu mananyakan pada saya,” kami nanti per orang mendapat berapa, Pak?” tanya wartawan muda itu.

Seketika saya tercekat dan tak bisa menjawab. Segera saja saya memanggil teman saya di organisasi kami yang selama ini selalu berhubungan dengan wartawan. Terus terang saja, saya memang tak terbiasa mengurusi tetek bengek wartawan seperti itu.

Di ruangan lain, saya tak habis berpikir dan merenung, wartawan sekarang ternyata jauh lebih lugas dibanding dulu. Mereka bisa begitu terus terang meminta imbalan duit kepada pihak penyelenggara acara. Padahal, sejak awal saya sudah memperkenalkan diri sebagai seorang wartawan. Tentu antara lain upaya saya memperkenalkan diri itu dengan maksud, agar para wartawan segan bila mereka punya niat untuk minta-minta amplop.

Nyatanya saya kecele. Tak ada nada takut atau sungkan sama sekali dari mereka. Tak ada lagikah idealisme dan kebanggan menjadi wartawan pada diri anak muda sekarang? Apakah profesi wartawan juga sudah terjangkit oleh gaya hidup masyarakat pada umumnya yang ingin bisa secepatnya menjadi orang kaya?

Wartawan muda ini pun sudah berani memasang tarif tertentu. Hal ini memaksa teman saya untuk bernegosiasi, karena angka yang mereka sebutkan terlalu tinggi.

Melihat fenomena seperti ini, saya kira sudah saatnya bagi Dewan Pers untuk lebih tegas bersikap terhadap pemberian amplop dari narasumber atau pengundang pada wartawan. Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dengan tegas menyebutkan, bahwa wartawan Indonesia tidak menerima suap. Dalam penafsiran KEJ tertera kalimat, bahwa segala pemberian dalam bentuk uang, benda, atau fasilitas lain yang memengaruhi independensi wartawan adalah suap.

Inilah kesempatan terbaik bagi Dewan Pers untuk menegakkan aturan yang menjadi pedoman wartawan. Tugas Dewan Pers untuk memanggil tiga asosiasi wartawan yang secara sah diakuinya, yakni Ikatan Jurnalis Televisi (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Kepada tiga lembaga itu Dewan Pers perlu mengingatkan kembali agar mereka memegang teguh kode etik. Sedangkan ketiga organisasi wartawan itu juga perlu meneruskan kewajiban menolak amplop itu kepada wartawan yang menjadi anggotanya, tentu harus disertai sanksi bagi pelanggarnya.

Tanpa itu, wibawa dan martabat wartawan akan kian melorot dan tak ada harganya di mata masyarakat luas. Belum lagi ulah wartawan dan media abal-abal yang sudah sangat meresahkan serta memuakkan sehingga mengganggu aktivitas lembaga-lembaga resmi pemerintah dan swasta.

Tindakan pelecehan yang dilakukan Raffi Ahmad terhadap insan pers ini mungkin bisa menjadi titik balik untuk mengangkat kembali wibawa wartawan sebagai pilar keempat bagi berdiri tegaknya sendi-sendi demokrasi. Kita boleh mengritik tindakan Raffi Ahmad, tetapi instropeksi diri akan jauh lebih bermanfaat.

No comments:

Post a Comment