بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Hukum Hidup Bersama Sebagai Suami-Istri Tanpa Ikatan Perkawinan
Go Green

Clock Link

Monday, September 30, 2013

Hukum Hidup Bersama Sebagai Suami-Istri Tanpa Ikatan Perkawinan


Dua orang yang saling mencintai dan sudah sama-sama dewasa yang keduanya masing-masing tidak terikat oleh perkawinan resmi, dapatkah dituntut secara hukum? Dan apakah tindakan warga setempat yang mencoba men-sweeping dan mengusir itu dapat dibenarkan secara hukum? Atau justru dapat dituntut balik? Karena mengingat ini adalah privasi dan hak asasi masing-masing individu? Terima kasih.


Jawaban:
Pada dasarnya, tidak ada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini yang melarang pasangan pria-wanita yang sudah dewasa dan masing-masing tidak terikat perkawinan resmi, hidup bersama tanpa ikatan perkawinan.

Perlu diketahui bahwa yang disebut dewasa adalah mereka yang bukan termasuk sebagai anak. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anakanak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Mengenai tindakan warga setempat yang hendak men-sweeping dan mengusir pasangan tersebut, maka mereka dapat dituntut berdasarkan Pasal 335 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang berbunyi:


Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:
1. barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain;
2. barang siapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.
(2) Dalam hal sebagaimana dirumuskan dalam butir 2, kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena.

R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, terkait pasal ini, mengatakan bahwa yang harus dibuktikan dalam pasal ini adalah:
1. Bahwa ada orang yang dengan melawan hak dipaksa untuk melakukan sesuatu, tidak melakukan sesuatu, atau membiarkan sesuatu;
2. Paksaan itu dilakukan dengan memakai kekerasan, suatu perbuatan lain atau suatu perbuatan yang tidak menyenangkan, ataupun ancaman kekerasan, ancaman perbuatan lain, atau ancaman perbuatan yang tidak menyenangkan, baik terhadap orang itu, maupun terhadap orang lain.

Lebih lanjut, R. Soesilo menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “memaksa” adalah menyuruh orang melakukan sesuatu sedemikian rupa, sehingga orang itu melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak sendiri.

Dalam hal ini, para warga tidak mempunyai hak untuk mengusir orang lain dari kediamannya sendiri. Sehingga para warga dapat dipidana dengan Pasal 335 ayat (1) ke- 1 KUHP karena dengan melawan hak memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu, yaitu memaksa orang lain untuk keluar dari rumahnya.

Pada sisi lain, dalam kelompok masyarakat tertentu juga berlaku hukum adat. Seperti misalnya dalam masyarakat hukum adat batak Toba. J.C. Vergouwen, dalam bukunya yang berjudul Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (hal. 216-217) menjelaskan mengenai adat yang berlaku di batak Toba. Ada hubungan yang tidak diperkenankan dalam masyarakat batak Toba. Dikatakan bahwa jika pasangan sepakat untuk secara diam-diam menjadi suami istri (marpadan-padan, berkencan gelap), juga disebut marmainan (melacur), dan marlangaka pilit (mengambil jalan sesat), maka perkawinan harus dilaksanakan segera setelah hal itu diketahui.

Lebih lanjut dikatakan bahwa pasangan muda-mudi itu juga diminta untuk mengakui kesalahan (manopotim) di depan para tetua dan orang tua kedua belah pihak. Hukuman bagi pasangan muda-mudi itu ditentukan oleh keadaan dan hubungan antar mereka. Jika pemuda meninggalkan perempuan yang sudah digaulinya, atau jika orang tuanya tidak menghendaki perkawinan, maka hukumannya akan lebih berat. Si pemuda wajib membayar ongkos pengurasion (penyucian) dan menenangkan hati parboru dengan memberikan piso.

J.C. Vergouwen (Ibid, hal. 217) juga menjelaskan bahwa hidup bersama secara terbuka dan tidak sah sebagai suami istri (marbagas roha-roha) tidak dikenal di kalangan pemuda dan tidak selaras dengan hubungan gadis dengan parboru-nya. Namun, hal seperti itu banyak terjadi di kawasan yang disiplin hukum dan adat istiadatnya lemah, yaitu di antara orang-orang yang sudah tua dan sudah pernah kawin. Ini adalah pelanggaran terhadap adat (sala tu adat) dan pantas dituntut dan dihukum oleh penguasa. Di Padang Lawas, tindakan seperti itu disebut manaporkon ogung ni raja (memecahkan gong raja). Dalam arti menyalahi hukum masyarakat. Perbuatan seperti itu dapat dijatuhi hukum adat, kualifikasi ini menunjukkan pelanggaran terhadap ketertiban umum.

Jadi, pada dasarnya walaupun tidak ada hukum negara yang dapat menghukum pasangan pria dan wanita yang hidup bersama tanpa ikatan perkawinan tersebut, namun perbuatan tersebut dapat saja memiliki konsekuensi tertentu menurut hukum adat yang berlaku di daerah yang bersangkutan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.


Dasar Hukum:

Referensi:
1. J.C. Vergouwen. 2004. Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba. LKiS Yogyakarta;
2. R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia – Bogor.

Sumber:

Penjawab:

TJA

No comments:

Post a Comment