بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Panti Jompo buat Waria Pertama di Indonesia
Go Green

Clock Link

Wednesday, February 20, 2013

Panti Jompo buat Waria Pertama di Indonesia

Yulianus Rettoblaut, better known as Mami Yuli, holds a meeting in her house on January 29, 2013 in the Jakarta suburbs

Yoti Oktosea, a 70-year-old Indonesian transgender and former sex worker, poses for a photograph on January 29, 2013

Sekitar belasan perempuan tua berkumpul di dalam rumah merah muda di pinggir jalan sempit berdebu di pinggiran Jakarta. Mereka menjahit, membuat kue, dan mengobrol.

Sekilas, mereka terlihat seperti nenek-nenek kebanyakan, namun pipi kempot dan garis-garis mendalam di wajah mereka seakan menyimpan kisah kesulitan hidup.

Semua perempuan ini adalah "waria", dan rumah yang mereka tempati adalah panti jompo pertama untuk waria di Indonesia.

Kata waria dalam bahasa Indonesia menggabungkan 'wanita' dan 'pria'.

Waria digunakan untuk menggambarkan serangkaian identitas gender, meski biasanya merujuk pada pria yang merasa bahwa mereka adalah perempuan, dan digunakan bagi mereka yang sudah atau belum melakukan operasi ganti kelamin.

Panti jompo ini adalah pemandangan tak terduga tapi menunjukkan kontradiksi di sebuah negara di mana, sampai dua tahun lalu, pemerintah masih menganggap transgender sebagai orang-orang yang cacat mental.

Sebagai bagian dari penghargaan, pemerintah mulai bulan Maret ini akan mendukung operasional panti tersebut, yang sudah buka sejak November. Bentuk dukungan tersebut adalah program gizi dasar dan modal usaha bagi 200 transgender di Jakarta.

Namun tetap saja, sebagian besar dana untuk menyokong rumah tersebut berasal dari pendirinya, Yulianus Rettoblaut, seorang waria dan aktivis yang dikenal dengan nama Mami Yuli. Ia mengubah rumahnya sendiri menjadi panti jompo tersebut tahun lalu.

"Kami fokus pada waria yang sudah tua karena LSM biasanya berfokus pada yang muda," kata Mami Yuli, 51, pada AFP.

Dia tergerak untuk bertindak setelah melihat banyak dari rekannya sesama waria yang sudah lebih tua di jalanan, sakit-sakitan, pengangguran dan terpaksa hidup di kondisi kumuh.

Beberapa waria sudah menjadi selebritas dengan menjadi pembawa acara bincang-bincang atau MC, tapi di negara berpenduduk terbesar di Asia Tenggara dengan 240 juta jiwa, waria disingkirkan oleh keluarga mereka yang biasanya akan bertanggungjawab mengurus anggota keluarga yang sudah tua.

"Hidup sangat sulit buat mereka dan banyak yang berada di bawah garis kemiskinan. Mereka sering tak punya pilihan selain tidur di bawah jembatan," kata Mami Yuli.

Meski rumah ini memiliki dana yang sangat terbatas, ia berusaha memberikan makan tiga kali sehari untuk penghuni yang belajar menjahit, membuat kue, dan menata rambut jika mereka menganggur.

Kondisi tinggal mereka sangat tidak ideal. Sekitar 12 waria yang tinggal di sana tidur di kasur-kasur tua, sempit-sempitan di satu kamar tidur di atas tangga yang sempit.

Ketika Mami Yuli tak punya cukup uang untuk biaya operasional per hari panti jompo tersebut, yaitu Rp350 ribu, ia mengadakan pertunjukan di jalanan dan penghuni rumah bisa menyanyi atau menari. Meski sudah tua, mereka tetap bekerja untuk mencari penghasilan bila mampu.

Sebagai seorang penganut Katolik yang taat, kata Mami Yuli, ada 70 gereja di Jakarta yang mendukung rumah tersebut, bahkan memberi bantuan tempat pengungsian saat banjir. Dan hanya empat yang menyumbangkan uang.

Meski tantangannya besar, dia berharap suatu hari bisa menampung 800 waria yang sudah tua di Jakarta dan mengembangkan pantinya ke tanah kosong di sebelah rumahnya kini. Itu kalau Mami Yuli bisa mengumpulkan cukup uang atau dukungan dari pemerintah.

Laporan Koalisi Asia-Pasifik tentang Kesehatan Seksual Pria menyatakan ada 35 ribu transgender di Indonesia, namun aktivis menduga angkanya jauh lebih tinggi dari itu.

Ada kelompok-kelompok etnis tertentu di Indonesia yang menganggap waria patut dihormati, namun sebagian besar dari mereka menjadi target pelecehan dan intimidasi, meski ada tanda-tanda penerimaan yang meluas.

Diskriminasi menyebabkan banyak waria yang menjadi pekerja seks, memperparah penyebaran HIV dari 6-34 persen antara 1997 dan 2007 antarwaria di Jakarta, menurut data Kementerian Kesehatan.

Prostitusi ilegal di Indonesia dan majelis ulama mengharamkannya.

Tetap saja, industri ini berkembang luas di bar-bar karaoke di Indonesia serta jalan-jalan gelap, di mana waria sering membuka baju untuk memamerkan dada yang tumbuh akibat hormon dari pil KB atau suntikan silikon.

Beberapa malah ada yang memamerkan hasil operasi kelamin mereka, meski hanya sedikit waria yang mampu membiayai operasi ini. Prosedur ini sebenarnya sudah ada sejak 1970an, meski tidak resmi tercatat di sistem kesehatan masyarakat.

Pada usia 70 tahun, Yoti Oktosea sudah menjadi perempuan. Ia adalah salah satu penghuni panti Mami Yuli.

Dengan mengenakan celana pendek selutut dan kaus longgar, ia sudah tak lagi mengenakan riasan wajah atau melentikkan bulu mata, tapi dengan bangga ia memamerkan fotonya sebagai seorang perempuan muda.

Saat itu, ia adalah seorang pekerja seks yang banyak dicari, menurut pengakuannya.

"Tapi sekarang banyak yang melorot!" katanya tertawa.

Mami Yuli yang berpakaian rapi pernah bekerja selama pekerja seks selama 17 tahun tapi ia bisa membalikkan hidupnya, menjadi waria pertama yang mendapat sarjana hukum dari universitas Islam pada usia 46.

FPI adalah musuh utama waria, menggunakan kekerasan dan intimidasi untuk menutup acara-acara transgender yang menurut mereka "mengancam nilai-nilai islam di Indonesia". Salah satu acara yang mereka gagalkan adalah pemilihan ratu kecantikan transgender pada Desember lalu.

"Kami berhasil menutup kontes tersebut dan kami bisa menggagalkan pertemuan waria lainnya," kata ketua FPI Jakarta Habib Salim Alatas.

Namun ada tanda-tanda bahwa masa depan bisa menjadi agak cerah buat komunitas marjinal ini.

Pada 2008, di Yogyakarta dibuka sekolah mengaji pertama untuk waria. Panti Mami Yuli bisa dilihat sebagai suatu kemenangan lain.

http://id.berita.yahoo.com/panti-jompo-buat-waria-pertama-di-indonesia-103141576.html

No comments:

Post a Comment