بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Sepotong Surga di Bukittinggi
Go Green

Clock Link

Saturday, June 30, 2012

Sepotong Surga di Bukittinggi

sumber: http://dewantorobimo.wordpress.com/


Akhirnya papan petunjuk : Objek Wisata “Muko-Muko” – Kabupaten Agam, mulai tampak setelah menempuh perjalanan hampir 2 jam dari Padang. Perjalanan yang cukup melelahkan karena kontur jalan yang berliku-liku, naik-turun, tapi indah luar biasa. Inilah keindahan alam asli Indonesia, dan pemandangan serupa akan kita temui sepanjang jalan di daerah Sumatera Barat.


papan petunjuk: 


Masuk ke dalam lokasi nampak hamparan air yang begitu luas dan tenang dengan dikungkung pegunungan menjulang di kiri dan di kanan. Sesekali dari dalam air berlompatan ikan-ikan kecil, ah apa ini yang namanya Ikan Bilih, ikan khas yang katanya tidak dapat ditemui selain di tempat ini. Di seberang danau tampak tulisan di atas beton di bibir bukit : PLTA Maninjau.


gerbang masuk: 



PLTA Maninjau: 


Di tempat inilah terletak satu dari dua danau terbesar di Sumatera Barat, Danau Maninjau. Danau ini selain menjadi salah satu daya tarik wisata Sumatera Barat, juga menjadi sumber pembangkit listrik PLTA Maninjau. Tapi, kekayaan alam ini nampaknya tidak lebih menjadi sekedar tempat wisata yang hanya dapat dinikmati oleh pandangan mata saja. Tidak ada aktivitas lain yang bisa dilakukan di sini. Memang di salah satu sisi danau nampak beberapa beberapa orang sedang memancing, tapi di sisi yang lain tidak ada aktivitas lain selain beberapa warung yang sepi pengunjung.


suasana danau: 


Warung beratap terpal warna biru atau oranye ini seperti layaknya warung-warung di kaki lima. Sajiannya adalah berbagai macam minuman dan bakso. Sementara di beberapa bibir danau muncul beberapa kotoran yang nampaknya sudah lama tidak dibersihkan. Berada di sana selama 15 menit, saya jadi bertanya : “Terus mau ngapain lagi ya?…” Tidak salah kalau saya berharap ada aktivitas lain yang pengunjung bisa lakukan di sini. Water sport salah satunya. Danau alam yang jauh lebih kecil di Taman Wisata Mekar Sari – Cileungsi saja bisa menghadirkan aktivitas tersebut, masa’ di tempat seluas ini tidak bisa?


warung tenda: 


Beranjak dari Danau Maninjau menuju kota Bukittinggi melewati daerah yang dinamakan Kelok 44, atau kalau orang Minang bilang : Kelok Ampak Puluh Ampak (hehehe, kalau tidak salah ya…). Dinamakan seperti ini karena perjalanan yang ditempuh adalah perjalanan vertikal ke atas bukit, dengan tanjakan 45 derajat lebih, dan tikungan menanjak ekstrem berbentuk U sebanyak 44 kali. Jumlahnya tepat 44 yang ditandai dengan penanda jalan dari 1 sampai 44. Jadi kalau anda pengemudi yang :
- baru bisa nyetir mobil
- menyetir mobil tanpa rem kaki dan tangan yang pakem
- menyetir mobil tanpa klakson yang nyaring
- menyetir mobil tanpa lampu hazard dan lampu jauh
jelas sangat tidak disarankan melewati daerah ini!

Dua jam kemudian sampailah saya di kota Bukittinggi. Sebuah kota yang kental dengan suasana budaya, religi, dan historisnya. Di berbagai sudut kota tidak susah kita temui berbagai macam bangunan dengan beratap khas rumah adat Minangkabau serta bertebaran masjid besar dan kecil di banyak lokasi di kota. Dan suasana historis dapat kita temui pada bangunan Jam Gadang yang legendaris, serta dengan beberapa monumen di kota yang menggambarkan perjuangan rakyat Minang dalam masa penjajahan. Tentunya juga tidak dapat mengabaikan jejak sejarah yang ditinggalkan para putra Minang di kota ini, dari rumah Bung Hatta, Haji Agus Salim, sampai Sutan Syahrir.

Bukittinggi terletak di kontur daerah yang sangat unik. Sesuai dengan namanya, ‘bukit yang tinggi’, begitulah kira-kira letak kota ini. Dan ini bisa dilihat dari jalan di dalam kota yang naik turun, pemandangan sekitar kota yang dikelilingi oleh perbukitan dan pegunungan (paling tidak ada 2 gunung yang melingkupi Bukittinggi : Gunung Merapi dan Singgalang), sampai titik terekstrem berupa jajaran lereng bukit di Ngarai Sianok yang luar biasa.

Saya sampai tidak habis pikir, bagaimana kota ini bisa dibangun dalam daerah seperti ini. Apalagi kalau anda menyaksikan secara langsung mukjizat alam di Ngarai Sianok, byeeuuhhh… inilah hasil karya keagungan Tuhan yang nyata. Kalau ada yang bilang, Tuhan sedang tersenyum saat sedang menciptakan Pulau Bali, maka saya pikir Tuhan sedang memberikan pelajaran seni pahat yang terbaik saat menciptakan kota Bukittinggi…

Menjelajah Kota BukittinggiTinggi menjulang di tengah-tengah taman luas yang menjadi arena berkumpul warga. Terkadang juga terhalangi oleh keramaian hiruk pikuk pasar di salah satu sisi. Tapi hal itu tidak dapat menutupi keindahan Jam Gadangsebagai ikon utama kota Bukittinggi. Atapnya berbentuk atap khas Minangkabau. Pada jaman penjajahan Belanda dan Jepang, model atapnya sempat berganti-ganti dari bentuk kubah bergaya kolonial, atap limas, hingga akhirnya menjadi seperti sekarang. Dinding bangunannya berwarna putih, yang tampaknya rajin dirawat dan dicat ulang. Dan sebagai fungsinya sebagai sebuah jam, jarum jam di keempat sisinya masih awet dan terkadang sebagai pengingat waktu untuk beberapa pasangan muda-mudi yang terlihat sedang berduaan di salah satu sudut taman : pacaran jangan lama-lama ya 


Jam Gadang: 


Malam menjelang. Penempatan titik lampu di dalam dan di sekitar Jam Gadang makin memperkuat kecantikan Jam Gadang. Keramaian warga yang berjalan-jalan di sekitarnya tidak juga berkurang. Dan, mmm… semakin banyak pula pasangan muda-mudi di sini. Nampaknya tempat ini menjadi tempat favorit untuk mengatakan : “Jam Gadang menjadi saksi bisu cinta kita…”. Ah, ah, ah…


Jam Gadang di malam hari: 


Beranjak dari areal Jam Gadang, tidak beberapa jauh sampailah di Taman Panorama. Taman ini menjadi pintu masuk menuju lokasi terbaik untuk menyaksikan Ngarai Sianok. Di sini kita dapat melihat deretan bukit menjulang dengan lereng dan lembah di tengah-tengahnya. Bukit yang hijau dengan pepohonan yang masih alami, dan lereng terjal dan curam 90 derajat serta di kejauhan nampak kelokan sungai kecil menjadi lukisan alam yang sangat mempesona. Wuih, rasanya bingung kata-kata untuk menggambarkannya…


Taman Panorama: 


Di tempat yang sama, di Taman Panorama, terletak Lubang atau Gua Jepang. Lokasinya? Tepat beberapa puluh meter di bawah tanah yang saya pijak. Pintu masuk ke dalam Lubang Jepang ada di dalam areal taman ini. Kalau baru pertama kali memasuki lokasi ini sangat disarankan menggunakan jasa pemandu yang berada di depan pintu masuk Lubang Jepang, kecuali kalau anda ingin tersesat di dalam, dan kesasar ke tempat yang belum ada penerangan dan bisa membuat bulu kuduk merinding.

Masuk ke dalam Lubang Jepang serasa tidak percaya kalau di bawah lokasi Taman Panorama tadi terdapat lorong-lorong yang luas dan pernah menjadi tempat pertahanan Jepang jaman dulu. Gua ini dibangun oleh pekerja-pekerja Indonesia dalam tekanan penjajahan Jepang, Romusha. Saat ini kondisinya dalam perbaikan oleh pemerintah, sehingga lantainya sudah menggunakan paving block, dinding permukaan gua sudah disemen, penerangan yang sangat memadai, serta sudah ada papan penunjuk mengenai ruangan di dalamnya. Di dalamnya ada ruangan, seperti : Ruang Amunisi, Barak Militer, Ruang Makan Romusha, Pintu Pelarian ke arah sungai dan ke arah Ngarai, hingga ada ruangan Penjara. Di sekitar ruangan penjara inilah, entah kenapa begitu menuju ke arah sana, bulu kuduk saya langsung merinding. Dan begitu mendapat penjelasan kalau di sinilah lokasi pembantaian penduduk Indonesia oleh Jepang, kami langsung memutuskan putar balik!

Ruangan-ruangan yang ada sekarang masih dalam tahap renovasi, jadi di dalamnya belum ada yang bisa disaksikan selain aktivitas menjelajah lorong-lorong yang sunyi ini. Nantinya akan dibangun museum di salah satu ruangan, bahkan akan ada cafe di dalam Lubang Jepang. Kita tunggu saja…

***

Tidak beberapa jauh dari lokasi Taman Panorama, bahkan dari atas jika kita lihat kebawah ke arah Ngarai Sianok terlihat satu bangunan rumah di tepi sungai kecil. Inilah rumah makan Kedai Nasi Gulai Itiak Lado Mudo “Ngarai”, yang bikin penasaran orang-orang jika berkunjung ke Bukittinggi. Menuju ke sana kita harus keluar dari Taman Panorama dulu dan menyusuri jalan menuju ke Ngarai Sianok. Letaknya tepat di ujung salah satu tikungan jalan Ngarai Binuang, diapit oleh jejeran bukit yang menjulang tinggi di ngarai.


 pahatan Tuhan di Ngarai Sihanok: 




Interior rumah makannya sendiri tidak terlalu istimewa dan tidak terlalu luas. Makanan yang disajikan ada Cincang Daging Sapi, dengan potongan yang besar-besar, dan yang menjadi andalan : Gulai Itiak alias kalau orang Jawa bilang, Gule Bebek.

Pilihannya bisa dimakan di sini, bisa juga disantap di rumah dengan membeli makanan tersebut dalam kondisi beku. Harga saat ini (2009), 1 potong dada atau paha Itiak Rp 17.500,- atau 1 ekor yang berisi 2 potong dada, 2 potong ayam, ati ampela, leher yang dibanderol dengan harga Rp 80.000,-. Cincang daging sapinya juga disediakan dalam kondisi beku seharga RP 30.000,- satu porsi.


gulai itiak lado mudo: 


Hehehe, saya terkadang membandingkan dengan Bebek Goreng Pak Slamet di Solo yang dijual dengan harga hanya Rp 40.000 – 50.000 per ekornya dan kurang dari sepuluh ribu per potong. Ah, tapi pulang dari Bukittinggi hanya membawa keripik balado dan sanjai tanpa membawa Gulai Itiak? Nggak sayang istri namanya 


Jejak Bung HattaRumah berdinding kayu dan rotan itu berdiri kokoh. Bercat putih dan biru, dan tampak paling terawat dibandingkan keadaan sekitarnya. Tapi letaknya yang berada di tengah-tengah keriuhan Pasar Banto, seakan menenggelamkan keagungan sejarah yang dikandungnya. Kalau tidak ada papan petunjuk di depan, niscaya yang bukan warga Bukittinggi akan tidak mengenalinya.

Di sinilah berdiri rumah kelahiran Bung Hatta, seorang tokoh proklamator, bapak koperasi, pahlawan besar yang dimiliki Indonesia. Letaknya di sisi kiri Jalan Soekarno Hatta, Bukittinggi. Untuk menuju ke sana kita harus sedikit bersusah payah melewati kemacetan di Pasar Banto. Sebenarnya bangunan rumah ini sudah tidak asli lagi. Bangunan asli dan lama sudah digusur karena proyek pelebaran jalan, tapi untungnya pemerintah masih memiliki naluri untuk menyelamatkan peninggalan sejarah bangunan ini. Rumah ini dibangun kembali dengan merekonstruksi berdasarkan dokumentasi yang ada, dengan bentuk, bahan pembangun, dan warna yang disesuaikan seperti aslinya. Dan untungnya sebagian besar perabotan di dalamnya masih asli peninggalan keluarga Bung Hatta dahulu.


tampak samping: 


Hm, tidak sia-sia kegigihan saya bersikeras untuk menyempatkan diri datang ke tempat ini. Rumah ini masih terawat dengan baik dan bisa memuaskan rasa kekaguman saya kepada Bung Hatta. Di sinilah beliau dilahirkan, dibesarkan, menuntut ilmu, dan dididik dengan ajaran agama yang kental oleh kedua orang tuanya. Sesuai adat Minang, Hatta remaja sudah harus tinggal mandiri di kamar yang terpisah dengan rumah induk dan menginap di surau atau langgar atau masjid kecil berjarak beberapa kilometer dari rumah ini untuk menuntut ilmu agama dan adat. Didikan ini membawa kesederhanan dan sikap jujur pada diri Bung Hatta. Saya jadi teringat dengan kisah Bung Hatta dan sepatu Bally-nya. Sepatu mahal Bally yang tidak mampu dibeli seorang wakil presiden karena menjaga teguh kejujurannya. Sehingga sampai beliau wafat sepatu itu tidak kunjung terbeli dan hanya meninggalkan potongan iklan di koran mengenai sepatu Bally ini.

***

Rumah kelahiran Bung Hatta berlantai dua dengan 2 kamar di lantai bawah dan 2 kamar di lantai atas. Ditambah kamar bujang di depan dan di belakang rumah. Di rumah ini dulunya selain Hatta kecil juga tinggal orang tua Hatta dan kedua pamannya. Sekarang rumah ini dijaga dengan telaten oleh seorang pegawai pemerintahan honorer, bernama Ibu Dessi.

Masuk ke dalam ruangan rumah terdapat seperangkat meja dan kursi tamu yang masih asli. Di sekeliling dinding penuh dengan foto-foto jadoel dan terpasang silsilah keluarga Bung Hatta dari pihak ayah dan pihak ibu. Dan di kiri dan kanan ruang tamu terdapat dua kamar yang di dalamnya juga terdapat ranjang dan lemari kaca. Masih asli juga. Tapi kasur di atas ranjang sudah diganti dengan yang baru.


ruang tamu: 


Di teras depan dan di belakang rumah terdapat kamar. Kamar bujang namanya. Di sinilah Hatta remaja dulu tidur. Tapi saya kurang yakin apa perbedaan kamar yang depan dengan yang belakang. Yang jelas, di kamar belakang, di sini Hatta pernah tinggal. Masih terdapat ranjang, lemari, meja, serta sepeda onthel yang dulu digunakan Bung Hatta. Ah, kamar yang sama yang digunakan Hatta remaja. Kamar di mana Hatta pernah tidur, membaca lusinan buku, belajar, dan bermimpi mengenai bangsa besar bernama Indonesia…


kamar Bung Hatta: 


Di bagian belakang rumah ini terdapat deretan dua lumbung padi, kamar mandi, dapur, dan garasi untuk bendi keluarga Hatta. Di seberangnya terdapat kandang kuda sebanyak 4 ruang. Ada yang unik di kamar mandi yang terdapat di rumah ini. Air di dalam bak mandi bersumber dari rangkaian talang air di atap rumah, sehingga air hujan dapat langsung mengalir ke dalam bak di dalam kamar mandi.


Lumbung padi: 

Di belakang rumah juga terdapat pintu masuk menuju area makan dan menuju lantai atas. Di lantai atas terdapat ruang besar semacam ruang keluarga. Saya berandai-andai kalau di jaman Hatta kecil sudah ada TV, pastinya di sini ada seperangkat alat hiburan termasuk TV sehingga menjadi tempat favorit keluarga untuk berkumpul. Jika berada di sini pandangan terasa lega, memandang ke arah depan akan bertemu area halaman depan dengan pepohonan di depan rumah. Sedangkan pandangan ke belakang akan bertemu halaman belakang rumah yang menyerupai innercourt di rumah jaman modern.

Menurut Ibu Dessi, di sini Hatta remaja sering melakukan pembicaraan serius dengan orangtuanya. Tidak boleh di ruangan lain, hanya di sini.


ruang keluarga: 


Di samping kiri dan kanan ruang ini terdapat dua kamar. Satu kamar di samping kiri inilah di mana Hatta dilahirkan. Saya bergidik ketika mencoba membayangkan bahwa 107 tahun yang lalu seorang anak dilahirkan di kamar ini, dan kemudian akan menjadi orang besar yang mengubah jalan sejarah bangsa ini…


kamar kelahiran Bung Hatta: 


***

Menelusuri setiap sudut rumah ini, perasaan syukur terucap dari dalam hati. Syukurlah walaupun rumah asli sempat tergusur, tapi dapat dibangun kembali sesuai aslinya. Dan syukurlah rumah ini masih terawat dengan baik. Nilai historis yang dikandungnya akan tetap abadi sepanjang perjalanan bangsa ini.

Dan untungnya perawatan rumah ini berada di tangan yang cukup tepat. Ibu Dessi, walaupun sempat mengeluh karena tidak kunjung diangkat sebagai PNS setelah pengabdiannya selama bertahun-tahun, tetap merasa rumah ini sebagai rumahnya, yang harus dirawat dengan sepenuh hati. Ia hanya berharap dapat segera diangkat menjadi PNS seperti rekan-rekannya yang lain di tahun 2008 lalu.


Bu Dessi: 


Ah, semoga saja keinginan sederhana itu dapat segera terwujud.

Kembali Menuju PadangMengenai penginapan di Bukittinggi, banyak pilihan hotel yang bisa dipilih. Paling tidak ada 3 hotel terbaik yang bisa jadi referensi kalau anda berkunjung ke sana. Pertama adalah Hotel Royal Denai, dengan rate yang paling murah, kemudian Hotel Pusako dengan interior hotel yang cukup indah, dan yang terbaik adalah Hotel The Hillsyang dulunya merupakan jaringan dalam Novotel Hotel. The Hills terletak di pusat kota, dan di sekitar Jam Gadang. Selain lokasinya sangat strategis, bangunan hotel didesain sangat menarik ditambah dengan posisi lokasinya yang seperti berada di atas bukit. Sehingga dari jalan raya melihat ke arah hotel seperti menyaksikan kastil yang berdiri di tengah kota.

Masuk ke dalam lobi The Hills, nampak ruangan luas yang berlangit-langit tinggi langsung ke atap hotel yang berlantai 4 ini. Air mancur di tengah ruangan terus mengalir menggemakan gemericik air menemani beberapa orang yang sedang mengakses wifi di ruangan tersebut. Di sisi kiri ada ruangan restoran yang langsung menghadap ke taman hijau luas di samping hotel. Interior hotel yang apik ini dipercantik dengan latar belakang pegunungan dan pebukitan di jendela belakang hotel. Saya sama sekali bukan marketing The Hills, tapi saya rekomendasikan hotel ini!


The Hills: 

Dari lokasi hotel ini dapat berjalan kaki menuju Pasar Atas dan Pasar Bawah yang menjual berbagai macam makanan khas Bukittinggi. Beberapa souvenir kecil seperti miniatur jam gadang atau rumah gonjong khas Minangkabau juga dijajakan di sini. Ada juga kopi ‘Bukit Api’, yang menurut seorang teman yang menghabiskan masa kecil di Bukittinggi, memiliki rasa yang berbeda dibandingkan kopi merek lain. Mm, tapi berhubung saya tidak terlalu menggemari kopi hitam, saya cukup susah untuk merasakan perbedaannya.

***

Pada akhirnya tiba saatnya untuk meninggalkan kota Bukittinggi dan menuju kembali ke Padang dan Bandara Minangkabau.

Kembali ke Padang ada alternatif jalan yang bisa dipilih :

1. Melalui Batusangkar. Sekitar satu jam perjalanan dari Bukittinggi melalui jalan alternatif. Di kota ini terdapatIstana Pagaruyung yang begitu megah dan besar. Di belakang kompleks istana ini tergambar pegunungan hijau yang menghampar dari kiri ke kanan, menjadi bumbu keindahan yang sempurna. Tapi sayangnya istana ini sempat terbakar habis, dan sekarang (tahun 2009) sedang dalam proses pembangunan kembali.

Kalau dulunya mungkin rangka atap istana ini menggunakan kayu, sekarang sudah menggunakan rangka atap baja ringan. Tidak kalah dengan rumah-rumah modern sekarang ini!

Istana Pagaruyung: 

2. Ke Padang dapat melalui tepian Danau Singkarak. Sekitar 2 jam dari Bukittinggi, pemandangan indah danau terbesar di Sumatera Barat ini mulai dapat dinikmati. Seperti juga menuju Danau Maninjau melalui Kelok 44, perjalanan ke Danau Singkarak juga melewati sepotong jalan di atas bukit dengan pemandangan luar biasa berupa hamparan Danau Singkarak di bawah. Mengambil salah satu titik perhentian di sini akan menampilkan Danau Singkarak yang luas itu secara utuh, dan menyaksikan bagaimana airnya yang berkilauan memantulkan cahaya matahari. Ah, cantik nian…

Sampai di bawah bertemu dengan jalan raya di tepian danau, saya sempat berhenti sebentar di Tanjung Mutiara. Ini adalah salah satu tepi danau yang agaknya sering menjadi tempat pemberhentian menikmati danau dari dekat. Dinaungi jejeran pohon kelapa yang rindang dan terdapat beberapa gazebo di sana. Sayangnya saya tidak sempat menemukan tempat masuk yang resmi ke danau yang resmi seperti gerbang ke Danau Maninjau yang lalu.


Tanjung Mutiara: 


***

Beranjak dari area Danau Singkarak perjalanan dilanjutkan ke Padang melalui kota Padang Panjang. Walaupun kota kecil, tapi di sini ada tiga lokasi menarik yang pantang untuk dilewatkan.

Pertama adalah Mifan Water Park. Walaupun fasilitasnya kalah jauh dengan tempat rekreasi serupa di Jakarta, tapi dengan anugerah pemandangan di latar belakang kompleks yang indah, menjadi daya tarik sendiri untuk sekedar melepas lelah.


Mifan Water Park: 


Tak jauh di area ini terdapat lokasi kedua, Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau. Di sini bisa disaksikan satu rumah adat Gonjong khas Minangkabau yang memiliki detail fisik yang njelimet. Di dalamnya juga terdapat beberapa informasi mengenai budaya Minangkabau yang dijaga oleh beberapa pegawai pemerintahan.

Sangat disarankan untuk berpose dan mengambil foto di depan rumah adat ini! Hihihi…


rumah adat Gonjong: 


Dan yang ketiga yang tidak boleh dilewatkan adalah ‘Sate Padang Mak Syukur’, tepat di kanan jalan raya Padang Panjang 


Sate Padang Mak Syukur: 


Promosi dari banyak pihak untuk mencicipi sate di sini membuat saya harus mampir ke tempat ini. Ruangan di dalam rumah makan ini cukup luas dan dapat menampung lebih dari 10 meja besar. Berbeda dengan rumah makan sate padang biasanya yang mencampur sate dan lontong, plus kuah tepung berasnya yang kental, ke dalam satu piring, di sini lontong dan sate dipisah. Lontong plus kuah disajikan per porsi sedangkan sate terpisah dalam piring tersendiri.

Jadi potongan daging sapi ini cukup pede untuk muncul sendiri tanpa kuah khas yang menyertainya, dengan bakaran yang ringan tanpa membuat gosong. Potongan dagingnya besar dan lunak, tidak melawan sama sekali saat dikunyah. Memakan sate ini tanpa dibaluri kuah inilah yang bagi saya menjadi letak keunggulan Sate Mak Syukur, karena terkadang kuah kental ini jadi mengaburkan rasa daging sapi yang lezat. Hmmm…


Seperti layaknya rumah makan Padang, di sinipun pembayarannya menggunakan sistem : ‘bayar apa yang dimakan’. Jadinya total tusuk sate yang kita makanlah yang kita bayar, bukan berapa porsi sate yang kita pesan. Cocoklah…

No comments:

Post a Comment