بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Menggapai Puncak Sang Dewi Anjani, Rinjani
Go Green

Clock Link

Thursday, September 27, 2012

Menggapai Puncak Sang Dewi Anjani, Rinjani



Barisan awan putih terlihat sangat dekat dari bumi lombok ini. Hembusan angin dan terik mentari menemani setiap langkah saya melangkah di salah satu tanah terindah bumi pertiwi.

Dengan angkuhnya terlihat ia berdiri memandangi para pendaki yang akan menjamahnya. Untuk menuju ke puncak 3726 meter diatas permukaan laut, ini bukanlah pendakian yang mudah bagi pemula.

peta rinjani. Jalur naik warna merah via sembalun. Jalur biru turun via Senaru. Total jarak tempuh sekitar 40 km: 


Rinjani memiliki nilai spiritiual bagi orang Hindu Bali dan suku sasak. Bagi orang bali, Rinjani adalah satu dari tiga gunung yang disucikan karena dianggap tempat tinggal para dewa. Bromo, Agung, dan Rinjani adalah

Saat mendekati pulau Lombok, saya sudah terpesona dengan eksotismenya. An unspoiled Bali, kata sebagian orang. Beruntung saya mendapat penyebrangan ferry pagi hari, sehingga bisa melihat matahari terbit di atas kapal. Saya juga sempat melewati tiga buah pulau Gili yang terkenal itu dari atas kapal. Disini, pesona keindahan lombok sudah mulai terasa.

Sesampainya di Lombok, dan setelah melengkapi logistik di pasar Aikmel, saya menuju Desa Sembalun menggunakan truk pasir. Desa Sembalun merupakan salah satu jalur masuk ke Taman Nasional Gunung Rinjani. Saat perjalanan ke Sembalun, kami sempat berhenti di Bukit Tiga dara untuk menikmati matahari terbenam.



Bukit Tiga Dara, Desa Sembalun

Saya beristirahat semalam untuk melakukan aklimatisasi, ini penting karena tubuh kita harus menyesuaikan dulu dengan oksigen yang tipis di ketinggian. Baru keesokan pagi saya berangkat dari basecamp desa sembalun ini. 

Angin padang yang bertiup membuat ilalang-ilalang melambai bagai jutaan rajutan yang begitu indah. Ada eksotisme yang tidak terbantahkan disana.



Lembah sekitar kaki Rinjani

Saya beruntung kabut mulai turun dan sedikit mengurangi sengatan matahari. Selama perjalanan, saya sering berpapasan dengan pendaki asing. Tidak heran, gunung Rinjani memang salah satu daya tarik wisata yang terkenal di mancanegara.
 


Savana Jalur Sembalun

Saya sempat berbincang dengan salah satu bule dan dia berkata, "Indonesia was really beautiful..," saya hanya tersenyum dan berkata, "Indeed..,"

Rinjani bagaikan dunia lain, ucap kawan saya. Bagaimana tidak, sejak awal pendakian kami sudah disuguhi padang savana yang eksotis, hutan tropis yang mempesona, serta perbukitan yang luar biasa indah.

Ini baru awal, tetapi sudah sangat indah.

Dari basecamp Sembalun ke pos satu dihiasi padang savana seperti bukit teletubbies, saya sedikit memotong jalan lewat hutan atas saran penduduk sekitar karena bisa menghemat dua jam. Sekitar pukul sebelas siang saya sampai di pos satu. Tetapi yang namanya savana, jarang sekali terdapat pohon, maka saya pun tidak berlama-lama di pos ini karena sengatan matahari, tidak heran banyak yang menyebut Rinjani ‘gunung pantai’.



Ditemani Kabut

Sesaat sebelum matahari terbenam, saya sampai di pos tiga. Di tempat ini saya mendirikan tenda dan beristirahat untuk mempersiapkan pendakian keesokan harinya.

Namanya terdengar mengerikan. Bukit penyiksaan, adalah nama tempat yang kami lewati pada pendakian hari kedua. Perbukitan terjal ini memang membuat kami tersiksa karena tanjakan yang seakan tak pernah habis.

Disini kami sering menemukan puncak semu, dari kejauhan seperti puncak bukit tetapi sebenarnya bukit-bukit berikutnya masih tertutup kabut.



Bukit penyesalan

Jalur alternatif adalah Bukit penyesalan, tanjakannya relatif lebih landai tapi jarak tempuh lebih lama. Tapi di sepanjang perjalanan hari itu, pemandangan sangat surreal. Sensasinya mirip berjalan di dunia khayal film science fiction.

Sesampainya di pos plawangan sembalun, awan sudah berada sejajar dengan kaki kami. Disini hawanya memang lain, sudah terasa benar-benar di alam liar, alam para petualang.





Plawangan Sembalun

Bahkan saat angin berhembus pun terdengar jelas suaranya. Ahhh, rasanya saya ingin sekali melompat dan menari-nari di atas awan itu.

Plawangan sembalun adalah pos terakhir sebelum puncak, dengan ketinggian sekitar 2700 mdpl. Puncak Rinjani berada di ketinggian 3726 mdpl. Berarti masih ada sekitar satu km vertikal, saya jadi malas membayangkannya.

Tetapi, saya akan tetap melakukan summit attack pas jam 12 malam tepat. Sisa-sisa tenaga saya kumpulkan demi puncak rinjani. Daypack, headlamp, makanan kecil, P3K, air serta doa yang saya bawa. Target saya tepat saat subuh saya sudah di puncak dan mengambil foto sunrise dari sana.



Jalur Menuju Puncak

Jalur menuju puncak adalah pasir, mirip seperti di semeru. Jalur ini sangat mengerikan, kiri-kanan langsung jurang menganga lebar. Saya sangat setuju summit attack dimulai malam hari sehingga mental kita tidak jatuh duluan melihat jalurnya.

“Seorang pendaki sejatinya tidak sedang menaklukan pucuk-pucuk tertinggi yang menusuk ke langit, melainkan ia sedang menaklukan pucuk-pucuk tertinggi dirinya sendiri sebagai manusia” 


Hampir puncak

Sebenarnya, saat tanjakan pasir terakhir saya sudah tidak kuat sama sekali. Ingin sekali turun kebawah. Tetapi saya selalu disemangati oleh pendaki lain, yang bahkan saya tidak kenal. Teriakan-teriakan penyemangat mereka memberi kekuatan kepada saya. Bintang-bintang yang bertaburan di atas juga ikut menyemangati. Bayang-bayang orang yang saya sayangi juga tiba-tiba muncul memberikan kekuatannya.

Break the limit. Itu kata-kata yang selalu ada di pikiran saya. Rinjani mengajarkan saya untuk selalu tidak menyerah dalam keadaan apapun. Langkah demi langkah saya jalani, walaupun terkadang kaki terjebak di pasir, yang hanya perlu saya lakukan hanyalah melangkah dan terus berdoa.

Dan… sayapun berada di Puncak Rinjani.



Puncak Rinjani

Ingin menangis rasaya tapi malu hehe. Dari puncak 3726 meter di atas permukaan laut, saya bisa melihat semua sisi pulau lombok, bahkan pulau bali dan sumba!

Di kejauhan terlihat Gunung Agung di Bali berdiri dengan angkuhnya. Melihat kaldera rinjani dengan garis enam kilometer, saya merasa bagikan buih di lautan.



Jalur menuju segara anak

Setelah bersalaman dengan setiap orang di Puncak dan sedikit berfoto, saya harus segera turun karena puncak akan panas sekali dan persediaan air pun tinggal sedikit. Saat melihat jalur turun, saya sedikit merinding. Tetapi jika kita telah menemukan iramanya, kita bisa seperti bermain “ski pasir”, asalkan hati-hati jangan sampai terperosok ke jurang.


Danau Segara Anak, Surganya Rinjani

“Setelah ini kita akan kesana,” kata rekan saya sambil menunjuk ke arah bawah. Dari atas sana terlihat danau segara anak membentang sejauh enam kilometer. Ditambah gunung barujari yang berbentuk kerucut khas gunung zaman purba, keindahan danau segara anak tidak terelakan. Saya segera beranjak dari puncak dan tidak sabar untuk menikmati segara anak dari dekat.



Danau Segara Anak

Untuk mencapai segara anak dari Plawangan sembalun, saya diminta untuk menuruni lembah-lembah curam yang didominasi bebatuan dan pasir. Licin, beberapa kali saya terpeleset. Badan sudah terasa lelah sehabis singgah di puncak Rinjani 3726mdpl, sekarang saya harus turun hingga dibawah 2000mdpl. Tetapi rasa lelah tersebut terbayar ketika saya melihat sebuah telaga raksasa di kejauhan.

“Seperti di film Jurrasic park,” saya bergumam. Kaki ini pun makin terpacu. Benar kata orang, pemandangan di pegunungan bisa mengalahkan rasa lelah!



Sunset Segara Anak

Setelah menuruni punggungan yang cukup panjang, saya disambut oleh suara desiran air segara anak yang tenang. Angin berhembus dari lembah-lembah yang mengitari danau, seakan melindungi danau ini dari dunia luar. 

Tidak mudah untuk mencapai danau, dan tidak ada jalur datar langsung untuk kesini. Mau tidak mau kita harus mendaki puncak plawangan, kemudian baru bisa turun ke danau ini. Perjuangan yang tidak sia-sia karena dibayar dengan penatapan seperti ini.

“Silakan diambil dek nanasnya,” seorang porter menawari saya sepotong nanas saat saya duduk keletihan sesampainya di pinggir danau. Mungkin melihat wajah saya yang sudah lesu terduduk bersandar di tas carrier, bapak porter tersebut menjadi iba. Dengan senang hati dan penuh haru saya menerima kebaikan hati sang porter.



Memancing di Rinjani

Sambil duduk memakan nanas saya melihat beberapa orang sedang bahagia karena mendapat ikan besar sekali, sementara di kejauhan gunung barujari berdiri dengan angkuhnya. “Ahh, negeri ini memang sangat indah,” saya bergumam.

“Kalau capek coba berendam di air panas, dijamin langsung seger!” sahut teman saya. Setelah mendirikan tenda sayapun bergegas ke arah selatan danau. Hanya sekitar seratus meter dari camp saya menemukan hot spring alami Rinjani.

Beberapa orang terlihat sedang menikmati kehangatan di kolam alami ini. Lucunya, beberapa monyet liar mengawasi kita dari atas, mereka menunggu hingga kita lengah dan mencuri makanan! Saya mendengar ada beberapa yang kehilangan cokelat ataupun telurnya. Sungguh monyet yang cerdik.

Satu lagi ‘bonus’ dari Segara anak adalah Goa susu. Dinamakan demikian karena bagian dalam goa ini berwarna putih susu. Stalagnit di atap gua menetekan air panas sehingga uap-uap panas keluar dari mulut Gua. Sauna alami yang mempesona. Air panas dan gua susu menjadikan tidur saya sangat nyenyak pada malam harinya.

Momen-momen terindah di Segara anak adalah saat matahari terbenam. Seperti lukisan, semburat oranye membentuk garis melintang pada dinding-dinding lembah sekitar danau. Sebagian terkena cahaya keemasan, sebagian tetap gelap. Permainan cahaya yang benar-benar membekas di hati.


Segara anak memang surga-nya Rinjani. Tiada kata yang bisa terucap, kamera saya pun tidak mampu melukiskan keindahan ini. Terima kasih Rinjani, terima kasih atas semua keindahan dan keajaibanmu, terima kasih telah memberikan keyakinan bahwa mimpi-mimpi itu memang dapat kita raih jika kita tidak tidak pernah menyerah.

Saya terpejam, menarik nafas dan memindahkan keindahan ini ke dalam hati. Sementara kabut mulai turun rendah. Semakin rendah.

***

Cerita dari Porter Rinjani


Ia dikenal dengan kekuatan, kesigapan, dan keramahannya di seantero dunia pendaki.

Tak seperti pendaki kebanyakan, ia tidak menggunakan tas carrier besar. Meski begitu, beban yang dibawa hampir tiga kali lipat pendaki normal.

Di usianya yang tak lagi muda, matanya masih sigap dari kejauhan mengawasi kelengkapan pendaki yang ia jaga.

Urat urat muncul di kakinya yang berotot, kulitnya legam terbakar matahari, kekuatannya dan kecepatannya yang luar biasa membuat malu pendaki pendaki muda yang terlalu bangga akan persinggahannya di tanah dewi anjani – termasuk saya sendiri.


Dengan segala perlengkapan berat dan logistik, ia selalu berlari di depan. Bukan karena ia tidak cukup sabar menunggu klien-nya yang berjalan lambat, tetapi ia ingin memastikan saat pendaki yang ia jaga sampai di pos pendakian, tenda sudah berdiri beserta makanan dan minuman hangat sudah siap tersaji.

Beralas sandal jepit, dengan gagahnya ia melaju bak tank perang. Hanya sebuah sarung yang melindunginya dari dinginnya cuaca pegunungan. Tak ayal, tenda yang ia gunakan hanyalah sebuah ‘bivak’ dengan terpal dan bambu.


Luar biasa, dengan segala beban itu ia tetap tersenyum. Menyapa setiap pendaki yang ia temui. Merekalah yang membuat keindahan Rinjani menjadi lebih berwarna.

No comments:

Post a Comment