بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Mudik 638 Tewas, Tanggung Jawab Siapa?
Go Green

Clock Link

Friday, August 24, 2012

Mudik 638 Tewas, Tanggung Jawab Siapa?



Mudik yang menjadi budaya lebaran satu-satunya di dunia yang hanya terjadi di Indonesia, lebih khususnya lagi Pulau Jawa. Ternyata menyisakan pekerjaan rumah yang cukup banyak. Dengan tewasnya ratusan jiwa dan ribuan lainnya luka-luka, ini bukan masalah kecil.

Diberitakan bahwa pemudik sepeda motor mendominasi angka kecelakaan maupun jumlah korban, dengan 3881 unit sepeda motor terlibat kecelakaan. Dominasi korban jiwa pengendara roda dua juga paling banyak jika dibandingkan dengan kendaraan jenis lain. Dalam dunia transportasi, sepeda motor menempati posisi terendah dalam angka aman kendaraan dengan angka resiko yang tertinggi.

Di negara maju tidak diciptakan sepeda motor seperti yang beredar di Indonesia. Bahkan di negeri asalnya pabrikan motor yang beredar di Indonesia, tidak satupun unit roda dua yg beredar "merakyat" di Indonesia akan ditemukan disana.

Di negara seperti belanda, sepeda motor yang beroperasi diawasi dengan aturan-aturan yang sangat ketat, terutama pembatasan kecepatan pada sepeda motor jenis kecil untuk tidak bisa berakselerasi dengan kecepatan melebihi batas maksimal yang sudah ditentukan. 

Jumlah tewas dengan 638 jiwa itu tidak sedikit, jika sebuah teror bom di afganistan sana hanya mampu menewaskan puluhan jiwa, saya analogikan tewasnya 638 jiwa di jalan raya adalah seperti dibombardir rudal-rudal. Didominasi oleh pengendara sepeda motor yang secara kelas ekonomi pasti dibawah pemudik yang menggunakan roda lebih dari dua, saudara-saudara kita yang tewas di jalan adalah orang-orang kecil.

Mereka mudik menggunakan motor adalah suatu pilihan yang sebetulnya adalah karena keadaan dan tidak bisa memilih karena tidak diberikan kesempatan untuk memilih atau memang tidak ada pilihan lain. Mudik yang sejatinya adalah budaya justru berujung pada bahaya. Coba anda tanyakan ke pemudik motor, apa alasan mereka menggunakan motor? Alasan utama adalah murah. Kalau begitu masalahnya adalah tidak adakah yang menjamin tersedianya transportasi yang murah?

Transportasi massal andalan di Pulau Jawa adalah kereta api, PT KAI selalu memberlakukan Tuslah atau kenaikan tarif angkutan untuk setiap kali masa lebaran, saya tidak tau apa motif dibalik penaikan tarif angkutan, untuk meraup untungkah? Namun sejatinya dengan tarif biasa pun PT KAI harusnya sudah untung karena dengan peningkatan jumlah penumpang pada titik maksimal kapasitas armadanya otomatis akan menaikkan income itu sendiri. Sampai hari ini saya TIDAK mengerti untuk apa PT KAI selalu menaikkan tarif angkutan setiap kali menjelang lebaran. Akhirnya saya harus berspekulasi dengan pemikiran konyol saya, saya gambarkan PT KAI sebagai pedagang, prinsip aji mumpung, meraup untung, sama seperti pedagang minuman dipinggir jalan saat mudik, bahkan secara prinsip ekonomi untuk meraih keuntungan PT KAI telah melakukan tindakan yang tepat. Soal tarif yang naik inilah yang membuat banyak pemudik beralih menggunakan kendaraan roda dua yang lebih murah. Tapi saya masih punya satu pertanyaan dalam hati, bukankah PT KAI ini BUMN?

Logis, sebuah perusahaan harus untung untuk menjamin beroperasinya usaha itu, pertanyaan besarnya adalah apakah BUMN seperti PT KAI hanya melakukan optimalisasi pendapatan perusahaan hanya pada waktu mudik untuk mendongkrak pemasukan mereka? Tentunya kan tidak. Dengan maksimalnya jumlah penumpang saja angkutan manapun sudah diuntungkan. Yang tidak boleh dilupakan adalah status KAI sebagai BUMN yang seharusnya lebih mengutamakan pelayanan publik dan aspek-aspek publik lain dibandingkan dengan hanya pemasukan semata.

Tidak hanya soal tarif yang perlu disoroti dalam mudik tahun ini, PT. KAI tahun ini mengeluarkan beberapa armada angkutan lebaran diantaranya adalah penambahan armada kereta kelas ekonomi namun ber-AC tentunya harga tiket kereta ekonomi AC jauh lebih mahal dibandingkan kelas ekonomi biasa. Bahkan harganya sama dengan kelas bisnis di hari normal. PT. KAI juga melakukan pembatasan tiket berdiri, bahkan konon katanya sudah tidak ada yang berdiri semua tiket dengan tempat duduk, dengan pemberlakuan "Boarding Pass" seperti di bandara juga dipercaya mengurangi percaloan tiket kereta, terobosan yang baik. Apakah kebijakan ini efektif? Armada kereta yang tarifnya tidak murah dan "Boarding Pass"? PT KAI mungkin lupa masalah utama yang membelenggunya adalah penumpang kelas ekonomi yang kelas ekonominya dibawah, Kereta eksekutif tidak pernah mengalami over capacity. Begitupun kelas bisnis, yang bermasalah dalam angkutan perkereta apian Indonesia adalah angkutan untuk kelas bawah. Sehingga penumpang yang biasanya berdiri di gerbong-gerbong kereta ekonomi, sekarang pindah ke moda transportasi lain, larilah mereka ke sepeda motor. 1 Motor, Bapak, Ibu, Anak satu atau dua.

Bagaimana dengan angkutan darat yang lain? Bus. Tarif bus yang lebih dominan dioperasikan oleh pihak swasta jauh lebih sulit untuk dikendalikan dibandingkan dengan operator pemerintah itu sendiri seperti DAMRI. Namun apakah DAMRI menyediakan armada yang memadai dengan tarif yang murah juga? Saya rasa tidak, sama saja dengan PO-PO bus swasta lainnya. Dalam hal ini Dinas Perhubungan seharusnya memiliki aturan khusus tentang angkutan lebaran, pembatasan tarif wajar atau jika memungkinkan tarif dibawah harga normal, kasusnya sama dengan PT KAI, tarif tidak naik pun armada itu akan penuh pada titik maksimal yang otomatis untung.

Dinas Perhubungan nyata-nyatanya tidak pernah mampu mengontrol masalah yang satu ini. Ketika tidak ada pilihan yang memadai bagi kalangan-kalangan bawah ini, karena silaturrahmi menjadi budaya bangsa ini pada setiap kali lebaran, apapun dilakukan pemudik, keterbatasan biaya motorlah jadi salah satu alternatif. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab atas tewasnya 638 jiwa dan ribuan korban lainnya luka-luka? Dinas Perhubungan hanya bisa menghimbau, Kepolisian hanya bisa menghimbau. "Hati-Hati, Utamakan Keselamatan Keluarga Menunggu Di Rumah". Bukankah kepolisian dan dinas perhubungan setiap tahunnya mendata berapa jumlah kendaraan yang melintas, jenis kendaraannya apa, jumlah kecelakaan, jumlah korban jiwa, jumlah penumpang. Lalu untuk apa semua data-data itu dikumpulkan? Jangan-jangan hanya untuk laporan media saja.

Data jumlah kendaraan, peningkatan setiap tahunnya akan digunakan untuk mengukur kapasitas jalan raya, yang akan dikerjakan oleh kementerian pekerjaan umum, dalam kenyataannya peningkatan kapasitas jalan raya ini sulit dilakukan, selain masalah pembebasan tanah, dengan bertambahnya luasan jalan raya akan memerlukan perawatan yang lebih dan akan memakan anggaran belanja. Dinas Perhubungan pun tidak punya solusi untuk masalah ini, dan kementerian PU hanya akan merawat jalan-jalannya yang sudah ada. Seharusnya di jawa sudah dilaksanakan peningkatan jalan raya, namun jika data yang digunakan adalah hanya berdasarkan angkutan mudik rasanya terlalu naif, yang hanya dilewati satu tahun 1 kali bolak balik tetapi memerlukan anggaran perawatan yang lebih. Mengapa sampai dinas perhubungan tidak punya solusi untuk masalah ini? Tentunya ini jadi pertanyaan besar. Mereka diisi oleh ahli-ahli transportasi, tau seharusnya bagaimana sistem transportasi yang baik. Tidakkah kita semua sadar bahwa dari tahun ke tahun jumlah kendaraan semakin meningkat? Namun peningkatan kendaraan itu lebih didominasi oleh roda dua, apakah itu merupakan indikasi bahwa kesejahteraan tercipta karena orang bisa beli sepeda motor? Bukankah sepeda motor yang banyak beredar di Indonesia ini tidak satupun bejalan di jalan-jalan raya negeri asalnya? Kok kita mau diberikan mesin yang belanda saja mantan penjajah negeri ini membatasi kemampuannya demi alasan keamanan. Ada apa dengan pemerintah kita sehingga melakukan PEMBIARAN atas tewasnya 638 jiwa sia-sia di jalan raya?

Bagi saya ini adalah kasus pembiaran, pemerintah tidak melakukan langkah yang tepat untuk melindungi rakyatnya, pemerintah tidak melakukan pembatasan tarif atas tarif-tarif angkutan umum yang beroperasi baik udara, darat maupun laut. Bukankah mudah bagi pemerintah jika tegas memberlakukan pembatasan tarif, siapapun yang melanggar bisa dicabut ijin operasinya? Kenapa Dinas Perindustrian dan Perdagangan masih memberikan ijin pada usaha kendaraan bermotor yang tidak aman? Apakah faktor aman bukan menjadi parameter dalam meloloskan suatu kendaraan bisa diperjual belikan di Indonesia. Ahli transportasi manapun di dunia akan mengatakan bahwa sepeda motor adalah moda yang paling tidak aman. Masih ingat dengan Marco Simoncelli? Sopan Sofian? Motornya bagus. bajunya lengkap, bahkan yang disebutkan di awal adalah seorang pembalap, tewas diatas aspal dengan menggunakan motor. Apalagi para pemudik kita yang motornya harga paling mahal mungkin rata-rata dibawah 20 juta, bajunya tidak aman (ingat baju hanya melindungi dari goresan, demikian juga helm), bawaanya banyak, bawa anak bawa istri. Dibiarkan oleh pemerintahnya disuruh mati diatas aspal.

Semoga di tahun 2013 tidak ada lagi yang tewas dalam mudik, yang berwenang pun segera mencarikan solusi dari data-data yang mereka miliki yang dikumpulkan setiap tahun seharusnya sudah bisa dilakukan untuk analisa masalah dan mencarikan solusi.

R.I.P All Pemudik 2012 yang tewas dalam perjalanan menuju kebaikan

No comments:

Post a Comment