بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِالرَّحْمَنِ اارَّحِيم Rochmany's Blog: Perayaan Hidup Kedua di Tana Toraja
Go Green

Clock Link

Sunday, May 27, 2012

Perayaan Hidup Kedua di Tana Toraja



Ini adalah kisah perjalanan saya menelusuri sejarah dan adat istiadat masyarakat Toraja yang unik dan bersahaja. Tentang bagaimana asal usul orang Toraja, bagaimana mereka menyikapi hidup, sampai apa arti kematian untuk mereka. Saya belajar banyak dari kesederhanaan dan penghargaan mereka atas hidup dan mati.

Sejak kapan mereka mengistimewakan yang mati? Mengapa sebegitu spesial-nya kematian itu? Bagaimana kisah sejarah hidup seseorang menentukan cara dia dikebumikan? Atau lebih tepatnya, 'ditinggikan'. 

Tiba-tiba ada suara ribut-ribut di halaman upacara. Orang-orang berteriak sampai memekikkan telinga. Saya tersentak lalu beranjak mencari tahu apa yang terjadi.
Saya semakin terkejut melihat seekor babi berlari tak tentu arah. Ternyata, babi yang akan dikorbankan terlepas dari ikatan di sebatang bambu. Dengan badan berdarah-darah, babi itu mencoba melepaskan diri dari kerumunan orang-orang.

Orang-orang di sekitar panik menyelamatkan diri naik ke rumah-rumah seketika itu juga. Untung saja tak berapa lama, situasi dapat dinetralisir. Babi mampu kembali ditangkap dan diikat. Itulah akhir perjuangan heroik dari seekor babi yang akan dikorbankan sebagai bagian dari ritual upacara pemakaman di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

--

Saya sampai di terminal bis Lita di kota Makassar malam itu untuk melanjutkan perjalanan ke Tana Toraja. Sempat takjub melihat wujud bis yang terlampau eksklusif. Serius. Saya sudah siap menumpang bis apa saja tapi ketika kemudian bis yang tersedia terlampau nyaman, saya merasakan rentetan keberuntungan dimulai. Harganya pun cukup murah, 110 ribu untuk 8 jam overnight trip ke Toraja. Kursinya nyaman, jarak antar kursi cukup luas. Bahkan ada wi-fi!
Moda transportasi yang patut diadaptasi untuk bis antar provinsi di Jawa.

Perjalanan 8 jam pun jadi tak terasa. Yang saya tahu, tiba-tiba bis sudah berhenti pagi itu. Jam masih menunjukkan jam 5 pagi.
Bis berhenti sebentar di depan sebuah gang. Saya masih tertidur pulas saat sang kernek membangunkan. Dari awal, saya memang meminta sopir untuk menurunkan saya di penginapan murah yang juga menyediakan penyewaan motor.

Kernek bis mengantarkan saya ke Hotel Bison. Hotel sederhana di dekat Jalan Raya Rantepao. Hanya 20 meter dari jalan raya, masuk lewat gang kecil. Meski cukup sederhana, hotel ini nyaman sekali dengan konsep bangunan rumahan. Harga per malam juga sangat terjangkau, 150 ribu, ditambah mereka menyediakan motor untuk disewa seharga 65 ribu per hari minus bahan bakar.

Saya tak punya kemewahan akan waktu hari itu. Mesti memanfaatkan setiap menitnya untuk sebanyak-banyaknya menjelajahi kota penuh kultur unik nan bersahaja ini. Sekitar jam 7 pagi, saya pergi ke lobi untuk mencari-cari informasi. Tak banyak juga informasi yang bisa penjaga hotel ini berikan. Untung saja saya bertemu John Rante, seorang guide yang rumahnya berdekatan dengan hotel.

Saya berbincang banyak sampai sepakat untuk menyewa jasa Pak John sebagai guide seharian itu. Setelah tawar menawar, harganya pun cukup murah 150 ribu sudah termasuk bensin motornya. Sebenarnya tarif normalnya 250 ribu belum termasuk ongkos bensin. Namun, karena memang bukan musim liburan, saya bisa mendapat tarif terbaik.


hotel pison: 


Destinasi pertama yang saya kunjungi adalah pesta pemakaman di Kecamatan Kete Kesu. Pestanya berlangsung cukup sederhana dibanding trademark upacara pemakaman yang sering diberitakan memakan biaya sampai ratusan juta bahkan miliaran. Keluarga yang berkabung kebetulan hanya keluarga petani.

Akan tetapi, mereka tetap harus mengorbankan tiga ekor tedong (kerbau) dan tiga ekor bai (babi) sebagai teman menuju dunia yang lain bagi yang sudah wafat. Meski 'cuma' sedikit hewan yang dikurbankan, tetap saja biayanya sampai puluhan juta jika menghitung satu kerbau biasa dijual 15-30 juta dan satu babi 1-3 juta. Belum ditambah biaya-biaya lainnya.

Saya mencoba menelisik masuk ke dalam. Memberi salam pada keluarga yang berkabung kemudian menuju dapur yang sepertinya sedang ramai. Terdengar sampai luar suaranya, suara ibu-ibu mengoceh dan goresan panci. Benar saja, mereka sedang rumpi rupanya. Saya sempat mengabadikan aktifitas unik mereka, sambil menguyah sesuatu, entah apa, meminum kopi hitam Toraja, dan menanak nasi satu gentong.

Mereka memandang saya asing. Wajar tentu saja. Akan tetapi, mereka ternyata ramah sekali. Tak lama, saya ditawari kopi. Secangkir kopi dan tak lupa kue-kue khas Toraja yang terbuat dari beras merah. Saya lupa namanya. Yang jelas, rasanya legit dan renyah, tak kalah dengan kue-kue dari toko.

Pak John lalu menceritakan banyak hal tentang ritual pemakaman itu. Masyarakat Toraja menganggap ada dua kehidupan yang mesti dijalani. Sebelum dan setelah mati. Ketika mati, mereka harus diperlakukan istimewa demi kebahagiaan hidup setelahnya. Puya, nama 'dunia' setelah kematian untuk masyarakat Toraja. Hewan-hewan yang dikurbankan menjadi teman bagi yang wafat di Puya. Sebuah prosesi untuk meninggikan yang tiada. 


Pemotongan Hewan Kurban: 



Seorang Anak Bermain Kaki Kerbau: 



Suasana di Belakang Rumah: 



Akhir Kisah Babi yang Berontak: 



Pembakaran Babi: 


Kemudian, saya mampir ke Kuburan Batu yang terletak di Desa Lemo, Kecamatan Sanggalange. Mengapa dinamakan kuburan batu? Sesederhana karena memang mayatnya dikuburkan di tebing-tebing batu. Selain dikuburkan di sana, dibuat juga replika manusia dari kayu lengkap dengan baju adatnya.

Beberapa kuburan di sana terlihat masih baru. Ada juga pahatan-pahatan yang baru dibuat sebagai persiapan sebagai tempat persemayaman terakhir orang-orang yang meninggal.
"Walau terlihat kecil, sebenarnya lubang di dalamnya besar sekali. Bisa menampung beberapa mayat," jelas Pak John sambil menunjuk sebuah kuburan di ujung tebing.

Setiap sisi tebing di bukit itu dipenuhi kuburan dengan replika manusia. Saya sempat mengitari tebing ke sisi-sisi yang berbeda dan selalu mendapati kuburan-kuburan batu yang lain. Menurut Pak John, semakin ke belakang dan tersembunyi, berarti kasta atau tingkatan orang tersebut lebih rendah.

Di sekitar kompleks kuburan batu, banyak warga sekitar yang menjual kerajinan khas Toraja. Selain bentuknya yang khas, harganya juga tak terlalu mahal. Kain cantik buatan tangan sepanjang 2 meter misalnya hanya dihargai 60-80 ribu. Patung-patung khas atoraja dengan bentuk pasangan orang tua diharga 25-60ribu tergantung ukuran. 


Kuburan Batu: 



Pemandangan Alam Toraja dari Atas Bukit: 



Pahatan-Pahatan di Tebing : 



Kerajinan Unik Toraja: 




Pak John mengantar saya ke tempat pemakaman bayi atau Baby's grave di Kampung Kambira, Kecamatan Sanggala. Tempat pemakaman bayi hanya berupa pohon besar diselimuti sabut-sabut hitam sebagai penutup lubang tempat bayi-bayi dimakamkan. Pohon ini diperuntukkan bagi bayi yang meninggal di dalam kandungan atau berusia di bawah 6 bulan.

Dari sana, kami beranjak ke pasar tradisional di Kampung Tokesan. Di sini, seperti banyak pasar tradisional lain, ramai penjual menjajakan berbagai macam dagangan, mulai dari kebutuhan sehari-hari, sampai daging babi juga ada. Pasarnya mulai dari pagi hingga siang menjelang sore.

Saya kembali terkagum-kagum saat sampai di Kampung Bonoran di Kecamatan Kete Kesu, lokasi rumah-rumah adat Tongkonan. Ada dua belas rumah khas Toraja berjejer rapi di kedua sisi. Atap Rumah adat Tongkonan sekilas mirip tanduk kerbau.
"Bukan tanduk kerbau. Itu perahu," kata Pak John mengoreksi. Menurut sejarah, nenek moyang orang Toraja dulu memang pelaut. Ketika sampai di daratan, mereka membuat rumah dengan memanfaatkan perahu-perahu mereka.

Di depan setiap rumah adat, hampir pasti selalu dipajang jejeran tanduk-tanduk kerbau yang telah dikurbankan. Lengkap dengan patung kepala kerbau dari kayu.
Dari salah satu rumah yang saya masuki, kondisi dalam rumah tersebut pun terlampau sederhana, hanya terdiri dari 3 ruangan. Kamar, ruang keluarga, dan ruang makan. Dapur, ruang makan, dan bahkan WC digabung menjadi satu di tengah. Agak risih ya. 


Kuburan Bayi: 



Rumah Adat Tongkonan: 



Kerbau yang Konon Berharga Ratusan Juta: 



Seorang Pengrajin Memulai Goresan Magis: 



Kerajinan Unik: 



Lanskap Khas Tana Toraja: 



Saya sangat penasaran ketika Pak John akan mengajak saya ke kuburan yang disimpan di goa. Dalam hati, “Di tebing, di gunung, di pohon, sekarang di gua?” Memang Toraja kaya akan budaya menghormati yang tiada. Sampai-sampai mereka rela bertaruh nyawa untuk memakamkan orang-orang yang mereka cintai di tempat yang mereka anggap terbaik.

Lokasi kuburan goa ini ada di daerah Londa, sebelah selatan Rantepao. Untuk melihat ke dalam goa, kita mesti menyewa lampu petromax seharga 25 ribu. Masuk ke goa ini mesti ekstra hati-hati, jalanan agak terjal, sempit, dan licin. Salah-salah bisa terpeleset.

Masih ada mayat yang baru dikubur dua tahun lalu. Peti matinya masih utuh. Berbeda dengan banyak peti mati lainnya yang sudah rapuh dan berlubang sehingga tulang-belulang pun sampai terjulur keluar. Sesaji juga banyak sekali diberikan oleh warga yang berziarah. Rokok, bunga, air minum, atau buah-buahan. Semuanya diberikan sebagai bekal yang sudah wafat di alam sana. Walaupun yang terjadi sesajinya kian hari kian menumpuk, tak ada satu pun yang berani mengambil atau sekedar membersihkan. Alasannya klise, atau tidak, karena takut dihantui sepanjang hidup.

Naik beberapa anak tangga di sisi bukit dekat goa, Pak John menunjukkan ada kuburan tertinggi yang terletak hampir di puncak tebing terjal. Sudutnya hampir tegak lurus. Tak terbayang bagaimana orang-orang bisa sampai ke sana hanya untuk menguburkan mayat. Ceroboh sedikit malah bisa ikut menjadi mayat. Tapi itulah, kata Pak John, sebuah dedikasi akan sebuah ritual. "Mereka yang berangkat ke atas memang harus ahli. Ke atas hanya dengan berbekal bambu sebagai penyangga."
Luar biasa.

Semakin tinggi jabatan seseorang, maka semakin mewah pula jenazahnya mesti dilengkapi. Seringkali dengan kain-kain mahal dan perhiasan. Oleh karena itu, biasanya jenazah orang-orang seperti itu diletakkan di tebing paling atas agar sulit dicapai orang lain. 


Menunjukkan Jalan di Goa Londa: 



Sesajen untuk Yang Tiada: 



Jenazah Anyar: 



Onggokan Peti Mati Tersalib: 


Tiga Peti Mati: 



Kuburan Tertinggi di Tebing Puncak: 



Bagi masyarakat Toraja, kematian bukanlah sebuah akhir. Justru, mati adalah gerbang menuju Puya, dunia yang baru. Dunia di mana arwah-arwah kembali menjalani hidup yang lain bersama dengan para hewan yang dikurbankan. Sungguh sebuah penghargaan yang tinggi pada kematian dan hidup setelah mati.

Bagi mereka, mati adalah hidup yang kedua kali.

--

Itulah sekelumit kisah perjalanan saya di Toraja. Memang cuma sehari, tapi saya tak bisa melupakan setiap menit penelusuran budaya unik di sana. Masih banyak yang belum saya saksikan, salah satunya adalah mitos mayat berjalan sendiri. Suatu hari saya pasti akan kembali untuk mencari tahu lebih banyak, dan menelusuri lebih dalam tentang kehidupan masyarakat Toraja yang bersahaja.

Seorang jurnalis dan penulis, Patricia Schultz, memasukkan Toraja dalam bukunya, “1000 Places to See Before You Die”. Well, kini saya tahu benar mengapa dia berpendapat demikian.
Dalam hati, saya mengangguk seraya setuju



BUDGET!

Pesawat Jakarta - Makassar PP : 950.000 (Rata-rata 400-500rb sekali jalan)
Bus Eksklusif Makassar - Toraja PP : 220.000 (Harga bervariasi 100-120rb sekali jalan. Semua Bus sangat nyaman karena rata-rata sudah Air Suspension)
Sewa motor : 65.000 (Minus bensin)
Penginapan : 150.000 (Double Bed, bisa ber-4)
Sewa Guide : 150.000 (Harga normal 200-250 ribu)
Masuk ke Lokasi Wisata : 5.000-10.000
Sewa Petromak di Goa Londa : 25.000


---- 



TIPS!

1. Menghormati setiap tempat yang dikunjungi. Tidak berbicara sembarangan atau bercanda yang berlebihan.
2. Sesekali menepilah di tepian jalan Rantepao untuk menikmati sejenak panorama indah alam Toraja.
3. Jangan membuang sampah sembarangan atau mencorat-coret. Ini memang pesan BIASA, tapi banyak sekali orang-orang yang tidak bertanggungjawab melakukan ini.
4. Jika ingin membeli kerajinan berupa patung atau hiasan dinding, pengrajin di Desa Lemo dekat Kuburan Batu bisa menjadi pilihan. Murah dan banyak pilihan barangnya. 


KONTAK!

PAK JOHN RANTE (Super Recommended)
0852 4247 1340

HOTEL BISON (Recommended)
Jln. Pongtiku II/8 Rantepao
0423-21344

No comments:

Post a Comment