REPUBLIKA.CO.ID, KENDARI -- Komisioner KPAI Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak Jasra Putra meminta pengedar pil PCC, atau paracetamol, caffeine, corisoprodol, di Kota Kendari dihukum maksimal. Penyalahgunaan obat tersebut diduga kuat menjadi pemicu terjadinya kelainan kejiwaan yang terjadi pada puluhan remaja di Kota Kendari sejak Selasa (12/9) malam hingga Kamis (14/9).
"BNN, Kepolisian, BPOM dan Kemenkes harus melakukan penyelidikan terhadap peredaran obat ini, termasuk melakukan penegakan hukum semaksimal mungkin. Sehingga tidak ada lagi kejadian seperti ini lagi," kata Jasra dalam rilis yang diterima Republika, Kamis (14/9) malam.
Jasra merasa prihatin dan sangat menyesalkan kejadian konsumsi penyalahgunaan pil PCC. Penyalahgunaan obat itu telah mengakibatkan 64 remaja, satu orang di antaranya meninggal, di Kendari, Sulawei Tenggara, menjadi korban.
Jasra mengatakan jumlah korban itu bertambah dari sebelumnya 42 orang. "Data informasi sementara didapatkan rata-rata usia remaja sekolah SD, SMP, SMA dan orang dewasa," ujar dia.
Menurut Jasra, Pemerintah Kota Kendari menetapkan penyalahgunaan pil PCC sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB). Dia pun mengatakan rumah sakit harus melakukan penanganan korban dengan sebaik-baiknya, sehingga hak-hak kesehatan korban anak tidak ada yang terabaikan.
KPAI juga mengimbau media massa untuk tidak mengunggah wajah korban, baik dalam bentuk foto maupun video, karena bisa memperburuk situasi perkembangan anak di masa datang.
Hingga Kamis malam, Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara (Sultra) menangkap delapan pengedar obat terlarang jenis PCC yang banyak beredar dan dikonsumsi warga di daerah itu. Dua dari delapan orang tersangka merupakan oknum apoteker dan asisten apoteker salah satu apotek di Kendari. Kepolisian menyataakn semua tersangka berjenis kelamin perempuan.
Jasra mengatakan tersangka bisa dijerat Pasal 76J ayat 2 dan Pasal 89 Undang-Undang 35 tahun 2014. Tersangka dapat diancam pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama 10 tahun, kemudian denda paling sedikit Rp 20 juta dan denda paling banyak Rp 200 juta.
"Saya berharap pemerintah, orang tua dan masyarakat, agar melakukan pengawasan dan memastikan anak tidak menjadi korban serupa, termasuk melakukan kerjasama pencegahan dini, dengan cara memperhatikan makanan yang dikonsumsi oleh anak," ujar dia.
No comments:
Post a Comment