ANDA tahu Siong Vo? Generasi sekarang memang awam dengan nama tersebut. Tapi jika Anda gemar bermain sepakbola dan besar di era 1960 hingga 1980-an, Anda tentu sudah tidak asing lagi dengan apparel olahraga made in Indonesia tersebut.
Ya, Siong Vo merupakan sepatu bola produksi dalam Negeri. Kini Siong Vo tinggal nama.Merek sepatu tersebut kini sudah tidak diproduksi lagi.Maklum, Siong Vo kalah bersaing dengan appareal global seperti Adidas, Nike, dan Puma yang membanjiri pasar Indonesia. Padahal, di masa keemasannya, sepatu ini dipakai oleh pemain tenar Tanah Air seperti Ramang, Renni Salaki, dan Surya Lesmana.
Okezone yang coba menelusuri kisah sepatu ini menyambangi sebuah toko bernama Siong Vo di bilangan Galur, Senen, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu. Dari situ, Okezone tahu bagaimana cerita nasib sepatu legendaris tersebut.
Pemiliknya adalah Alex. Pria 65 tahun yang masih gila sepakbola. Di usianya yang sudah kepala enam, Alex masih rajin mengolah si kulit bundar di lapangan Union Make Strength (UMS) Petak Sinkian, Glodok, Jakarta Barat, bersama teman-teman seperjuangannya.
Di lapangan peninggalan zaman Belanda yang berdiri pada 1905 ini, Okezone tidak perlu lama untuk bisa bertemu dengan pemilik toko Siong Vo tersebut. “Saya mau main bola nih, tapi kalau mau tanya-tanya, ya sudah kita duduk dulu,” jawab Alex saat disapa. Dia pun mengurungkan niatnya turun ke lapangan, padahal sudah lengkap mengenakan atribut, dan baru saja selesai pemanasan.
Alex menceritakan, Siong Vo merupakan nama pemain sepakbola kelahiran lapangan UMS yang tidak lain kakeknya sendiri. Dia sendiri merupakan generasi ketiga penerus pengelola toko sepatu itu. Penjualan sepatu ini awalnya hanya dari mulut ke mulut hingga akhirnya bisa menembus jajaran elite pemain PSSI.
“Kekuatannya tanpa tanding, sampai bosan makainya. Bahannya orisinal dan bukan dari kulit imitasi. Bisa bertahan hingga empat sampai lima tahun,” kata Alex mengenang daya tahan sepatu tersebut.
Bagian menariknya, sepatu tersebut dibuat bukan berdasarkan ukuran layaknya sepatu saat ini, melainkan dibuatkan pola sesuai kaki si pemain. “Jadi, sepatu tidak kesempitan atau kelebaran. Pas dengan kaki pemain, gimana mau nendang kalo tidak pas,” sambung Alex yang telah mengenakan seragam lengkap untuk turun lapangan.
Dari segi produksinya, pada zaman itu, bisa menghasilkan sepuluh pasang sepatu merupakan pencapaian yang sangat bagus buat apparel olahraga lokal, mengingat masa itu di mana orang belum begitu banyak bermain bola lengkap dengan atribut.
“Dulu sepakbola populer ya populer, tapi yang jual sepatu-sepatu sepakbola hanya Siong Vo, tidak banyak seperti sekarang,” terangnya. “Hanya segelintir orang yang memakai Siong Vo karena yang beli juga pemain bola kelas atas, bukan yang baru belajar,” sambungnya.
Dengan mata menerawang, Alex mengisahkan, saat dia masih kecil, sekitar tahun 1950-an, 30 pemain PSSI datang ke toko Siong Vo. Tujuannya satu, mengukur kaki dan kemudian dibuatkan pola. Agar nantinya, sepatu tersebut pas dikenakan.
Sampai di sini cerita mengalir, tapi raut muka pria yang pernah memperkuat Persija di dekade 1960-an itu berubah bila mengenang masa-masa kelam Siong Vo. Dia mengisahkan, sejak kerusuhan pada 1998 silam, toko tempat penyimpanan sepatu habis dibakar massa.
“Sejak itu kita sudah tidak produksi lagi, semuanya habis dan berhenti total. Sempat bikin lagi tapi udah gak lawan lagi dengan merek luar. Bersih, habis dijarah dan dibakar. Dulu, orang tahunya Siong Vo di Gang Kenanga. Bukan di Galur,” pungkasnya.
Menurut pengakuan beberapa pemain yang sempat menjadi saksi ‘ketangguhan’ Siong Vo, seperti Renni Salaki dan Surya Lesmana, mereka mengakui bahwa sepatu tersebut memiliki kelebihan luar biasa, sebelum era Adidas dkk membanjiri pasar Indonesia.
Surya Lesmana, mantan pemain timnas 1960-an pun mengakui, di era itu apparel lain seperti Adidas belum tenar seperti sekarang, dia pun masih mengandalkan Siong Vo sebagai perlengkapan tanding utama.
“Eranya beda dengan Adidas. Siong Vo ringan dan lentur Jadi, you punya sepatu pas dengan kaki. Saya selalu membawa sepatu ini saat bermain ke Eropa,” kisah pemain yang pernah berkiprah di klub Hong Kong, Mac Kinan pada 1974 itu, juga ditemui di Lapangan UMS.
“Untuk ukuran zaman dulu, Siong Vo enak dipakai. Dulu, pemain timnas Birma (sekarang Myanmar) saja mencari Siong Vo saat ke sini (bermain di Indonesia),” kenang Renni yang duduk di samping Surya Lesmana menimpali.
okezone.com
No comments:
Post a Comment