Sore itu di Pasadena, matahari masih menjulang tinggi. Hari yang begitu cerah menjadi semakin sempurna ketika salah satu stadion termegah di Amerika Serikat, Rose Bowl, mengadakan pertandingan Piala Dunia antara Amerika Serikat (AS) melawan Kolombia.
Saat itu keduanya tergabung dalam Grup A dan pertandingan tersebut merupakan pertandingan kedua babak penyisihan grup. Sebelum saling bertemu, AS menahan imbang Swiss 1-1 di Pontiac. Sementara Kolombia yang merupakan salah satu tim yang diunggulkan, tumbang di tangan Rumania 1-3.
Kegelisahan pun melanda skuad Kolombia termasuk sang entrenador Fransisco Maturana dan gelandang Gabriel Jaime Gomez, namun berbeda dengan bek Andres Escobar Saldarriaga tetap tenang menjelang laga kedua Kolombia di Piala Dunia 1994 Amerika Serikat (AS). Pemain kelahiran Medellin, 13 Maret 1967, itu tak ingin tekanan publik negerinya merusak konsentrasi untuk bermain sebaik mungkin.
Kedewasaan sikap Escobar, anak emas klub Atletico Nacional (Medellin), membuat dirinya kerap menjadi teladan di dalam maupun luar lapangan. Publik menjulukinya “El Caballero del Futbol” atau “Pria Sejati dalam Sepakbola”.
Keinginan untuk terus berada dalam turnamen itulah yang membuat para pemain Kolombia bersemangat. Selain memiliki catatan baik selama kualifikasi, mereka semangat karena lawan yang bakal dihadapi secara kualitas masih kalah baik. “Saya sudah siap main bagus,” kata Faustino Asprilla, penyerang Kolombia yang saat itu bermain untuk klub Parma, dalam dokumenter besutan jurnalis Richard Sanders, Escobar’s Own Goal.
Namun, petaka menghampiri Kolombia di menit ke-35. Escobar salah mengantisipasi umpan silang pemain sayap AS John Harkes. Upayanya menghalau bola justru mengarahkan bola ke gawang sendiri yang dijaga kiper Oscar Cordoba. Kolombia akhirnya kalah 1-2. Meski menang 2-0 atas Swiss di pertandingan berikutnya, Kolombia gagal melaju ke fase knock-out.
Kegagalan Kolombia dinilai ganjil. Terutama, karena sebelumnya di babak kualifikasi Kolombia tampil luar biasa. Publik negeri itu, utamanya media-media dalam negeri, melayangkan beragam kritik pedas yang lantas memicu banyak ancaman penculikan dan pembunuhan terhadap entrenador Francisco Maturana dan pemain Gabriel Jaime Gomez.
Sementara, Escobar sekembalinya ke kota asalnya di Medellin, terakhir kali terlihat di dekat sebuah klub malam El Indio oleh sejumlah saksi mata pada dini hari 2 Juli 1994. Escobar yang berada di dalam mobilnya, disebutkan didekati dan kemudian terlibat percekcokan dengan tiga orang tak dikenal. Seketika, meletuslah 12 kali tembakan.
Disebutkan seorang saksi, salah satu penembaknya sebelumnya mengatakan, ‘Terima kasih untuk gol bunuh dirinya’. Kemudian mereka melepas tembakan 12 kali dan meneriakkan ‘gol’ saat menembak Escobar. Trio pelaku kemudian kabur dengan dua mobil.
Escobar meninggal di tempat dengan keadaan tubuh yang berdarah-darah di dalam mobil. Kepolisian Medellin menduga kuat bahwa pembunuhan Escobar ada kaitannya dengan perjudian dalam sepakbola. Entah diduga bahwa Escobar dan kawan-kawannya disuap untuk kalah dari AS dan Rumania, atau karena memang para penjudi dari kelompok Kartel Medellin tak terima mereka kalah banyak akibat kekalahan Kolombia dari AS gara-gara gol bunuh diri Escobar.
Dalam penjelasan yang paling dipercaya, Kartel Narkoba Medellin bertaruh uang yang sangat besar dan kalah dalam taruhan itu karena Kolombia gagal maju dari fase grup. Kartel itu mengambinghitamkan Escobar
Tidak hanya publik Kolombia yang geger. John Harkes, pemain AS yang secara tidak langsung menyebabkan gol bunuh diri Escobar, turut terpukul kala mendengar kabar duka itu. “Saya seperti mati rasa mendengar berita itu. Di Kolombia dia pemain yang dihormati, dikenal sebagai pria sejati. Kami olahragawan dan semestinya tidak begini kejadiannya,” ujarnya
Pun begitu dengan pihak FIFA, yang diwakili Sekjen Sepp Blatter. “Ini hari paling menyedihkan dalam sepakbola menurut saya, baik dalam Piala Dunia maupun dalam kompetisi apapun,” ucap Blatter, dikutip koran Orlando Sentinel, 3 Juli 1994.
Tidak butuh waktu lama buat kepolisian menangkap pelakunya. Seorang tersangka, Humberto Castro Munoz dalam interogasi polisi, tak membantah bahwa dia membunuh Escobar. Castro dikenal sebagai sopir seorang gembong kartel Santiago Gallon Henao yang diduga, kehilangan banyak uang akibat kalah taruhan.
Namun Castro dan kedua tersangka penembak Escobar lainnya, Hernan Dario Velez Correa dan Luz Mila Correa, menyanggah bahwa pembunuhan itu sudah direncanakan dan ada hubungannya dengan kartel narkoba. Castro sebagai tersangka utama, dijatuhi hukuman 43 tahun penjara. Akan tetapi karena kelakuan baik, pada 2015 ketiganya bebas bersyarat.
Kenangan akan Escobar tetap abadi di setiap jiwa rakyat Kolombia. Sekitar 120 ribu orang mendatangi pemakamannya. Setiap tahun di hari kematiannya, publik Kolombia mengenangnya dengan membawa serta foto-fotonya ke berbagai pertandingan. Memorinya juga diabadikan dalam sebuah patung yang disingkap pada 2 Juli 2002 di kota kelahirannya yang dibuat seniman Alejandro Hernandez.
Dalam sebuah kesempatan pada Piala Dunia 2014 di Brasil, FIFA mengundang para kerabat Escobar untuk mengenangnya dalam laga pembuka Brasil vs Kroasia di Rio de Janeiro, 2 Juli 2014 yang kebetulan juga menghadirkan gol bunuh diri bek Brasil, Marcelo.
Tragedi Escobar sangat memilukan. Dia menjadi korban kekejaman para kartel narkoba dan juga perjudian. Hingga sekarang pun, kisah Escobar terus diingat sebagai salah satu kisah paling tragis dalam sejarah sepakbola.
Referensi :
-Historia.id
-Okezone.com
-Vice
No comments:
Post a Comment