TRIBUNNEWS.COM - Salah satu alasan yang sering dikemukakan penentang LGBT adalah LGBT tidak dibenarkan secara biologi dan merupakan penyakit. Namun, apa pendapat biologi dan kedokteran mengenai isu ini?
Hadir dalam pemaparan survei Saiful Mujani Research & Consulting ( SMRC) di Jakarta (25/1/2018), Dr Roslan Yusni Hasan atau Ryu Hasan selaku pakar neurologi mengatakan, dalam menjawab pertanyaan tersebut Anda harus membedakan biologi dari kedokteran terlebih dahulu.
Menurut Ryu, sebagai pengetahuan ilmiah, biologi bebas nilai atau moral sehingga tidak ada yang baik atau jelek. “Nilai itu pada suatu tempat dan saat bisa berbeda dengan tempat dan saat yang lain,” ujarnya.
Dia melanjutkan, jadi dalam biologi, istilah tidak normal itu enggak ada. Sekarang kalau ditanya, secara biologi rambut keriting dan rambut lurus, mana yang normal?
Dua-duanya varian. Mata sipit atau belok? Kulit hitam, kulit putih, kulit merah? Semua itu adalah varian.
Varian ini rupanya juga terjadi pada jenis kelamin dalam penafsiran biologi. “Kita itu selalu menganggap bahwa yang namanya jenis kelamin hanya dua, kalau tidak laki-laki ya perempuan. Ini pengetahuan zaman berapa?” ujar Ryu.
Sebab, dalam biologi tidak semua perempuan memiliki kromosom XY dan tidak semua laki-laki memiliki kromosom XX. Lalu, ada juga perempuan yang tidak memiliki uterus dan ovarium, dan laki-laki yang penisnya kecil sehingga menyerupai klitoris.
Jenis-jenis yang tidak teridentifikasi secara pasti ini, kata Ryu, disebut sebagai interseks dan kini telah dikelompokkan hingga mencapai 43 jenis.
“Kalau orientasi seksual ini diarahkan ke jenis kelamin, berarti orientasi seksual tidak dua. Interseks saja ada 43,” kata Ryu.
Melihat fakta tersebut, bisa disimpulkan bahwa identitas jender, jenis kelamin, dan orientasi seksual itu adalah tiga hal yang terpisah.
Orientasi seksual dan perilaku manusia lainnya, kata Ryu, tidak dipengaruhi oleh jenis kelaminnya, melainkan dibentuk oleh sirkuit otak, neurotransmitter, dan hormon.
Sementara itu, kedokteran yang bertujuan untuk kesejahteraan manusia individual dan bukan biologi mengakui apa yang normal dan tidak normal. “Tapi yang membuat tidak normal itu adalah nilai atau gagasan di mana orang itu gampang sakit atau gampang mati,” ujarnya.
Dia melanjutkan, kalau ditanya apakah LGBT menurut kedokteran itu sakit atau tidak, LGB-nya tidak, tetapi T-nya yang sakit.
Soalnya, lesbian, gay, dan biseksual adalah orientasi seksual; sementara transjender adalah orang yang tidak nyaman dengan identitas seksualnya.
Oleh karena itu, yang membuat LGB bisa disebut sakit dalam kedokteran adalah ketika orang tersebut merasa tidak nyaman atau terganggu dengan orientasi seksualnya sehingga yang dihilangkan adalah rasa tidak nyaman tersebut, bukan orientasi seksualnya.
Hal ini telah dituangkan dalam buku panduan diagnosis dan statistik psikiatri (DSM) yang menyatakan bahwa orientasi seksual bukan penyakit sejak tahun 1973.
Di Indonesia, Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ) yang merupakan campuran dari DSM-IV dan International Classification of Diseases (ICD) telah ditetapkan oleh Depkes.
Sejak revisi kedua, PPDGJ telah mengeluarkan orientasi seksual dari kelompok penyakit. “Bahkan, ditegaskan dalam PPDGJ-III bahwa orientasi seksual jangan sekali-kali dipandang sebagai penyakit. Jadi, memang sebetulnya orientasi seksualnya itu tidak masalah, yang masalah adalah aktivitasnya,” kata Ryu.
No comments:
Post a Comment