Jakarta - 7-Eleven atau beken disingkat Sevel harus melewati situasi yang cukup buruk dalam dua tahun terakhir. Sempat melejit karena konsep toko sekaligus tempat bersantai pada 2010 lalu, kemudian perlahan ditinggal konsumen.
Sejak tahun lalu, puluhan gerai Sevel yang tersebar di wilayah Jabodetabek mulai berguguran. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Mandey, mengatakan meredupnya bisnis Sevel ini tak terkait dengan faktor daya beli masyarakat. Meski pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat, daya beli masyarakat tidak melemah.
Namun, ada faktor di luar ekonomi yang berdampak pada perilaku konsumen, tidak bisa ditangkap oleh perhitungan statistik. Misalnya kegaduhan politik, paket deregulasi yang belum dirasakan masyarakat, dan sebagainya.
Menurut Roy, hal-hal ini ternyata membuat masyarakat mengurangi belanjanya. Inilah yang membuat penjualan di gerai-gerai ritel turun, termasuk Sevel.
"Daya beli masyarakat sebenarnya tidak turun. Kita tidak turun gaji. UMP (Upah Minimum Provinsi) naik minimal sebesar inflasi plus pertumbuhan ekonomi, jadi kira-kira 8 persen. Tapi yang terjadi adalah sentimen masyarakat yang mengubah perilaku konsumsi, kebiasaan membeli, behavior berbelanja, akhirnya mengurangi atau menunda pembelanjaan," kata Roy saat ditemui di Gedung BPS, Jakarta, Kamis (26/4/2017).
"Secara makro ekonomi kita bagus. Rasio gini turun, kemiskinan turun, ease of doing business makin mudah, inflasi terjaga, apa yang terjadi? Mikronya yang jelek, ada faktor intangible, tidak bisa diukur dengan statistik. Faktor intangible itu yang disebut sentimen. Misalnya sentimen terhadap kegaduhan politik. Itu membuat masyarakat memilih untuk lebih baik menabung, mengalihkan uang yang biasanya dikonsumsi dengan aset seperti emas," jelas Roy.
Penurunan angka penjualan tidak hanya dialami oleh Sevel saja. Secara umum, kata Roy, bisnis ritel memang sedang mengalami masa sulit. Pada 4 bulan pertama 2017, penjualan ritel menurun sampai 15 persen dibanding periode yang sama di 2016.
Para pelaku bisnis ritel telah melakukan berbagai upaya untuk memulihkan penjualan. Mulai dari pemberian diskon, promosi, efisiensi, peluncuran produk-produk baru, menyasar segmen pasar baru, dan sebagainya.
"Sudah hampir semua peretail mempromosikan di media-media, harga turun Rp 5.000, produk turun sekian rupiah. Ini upaya para peretail, margin berkurang, memberi diskon tambahan. Itu menandakan retail memang sedang sakit," tukas Roy.
Sevel sendiri sudah melakukan langkah-langkah itu. Ketika keuangan tak juga membaik, akhirnya Sevel terpaksa melepas kepemilikannya kepada pihak lain, yakni Charoen Pokphand.
"Ketika under perform, semua hal bisa terjadi. Perlu efisiensi, kreativitas, produk baru, segmen baru, dan hal-hal yang berkaitan dengan produktivitas. Kemudian juga aliansi strategis sampai kerja sama dengan peritel lain, investor lain, sampai dengan akuisisi," tutupnya. (mca/hns)
No comments:
Post a Comment