Liputan6.com, Jakarta - Dewan Film Nasional telah menetapkan 30 Maret sebagai Hari Film Nasional. Hari ini sengaja dipilih karena di tanggal tersebut merupakan hari pertama pengambilan gambar film Darah dan Doa, karya Usmar Ismail yang ditahbiskan sebagai film nasional pertama.
Para sineas Tanah Air kini telah menujukkan taringnya dengan banyaknya film yang berbobot. Banyak tokoh Indonesia yang menjadi inspirasi dan diangkat ke layar lebar.
Berikut 6 tokoh sejarah yang menjadi inspirasi para sineas:
1. Soekarno
Jangan sekali-sekali melupakan sejarah bangsa kita. Hal inilah yang membuat Hanung Bramantyo membuat film bagaimana kisah hidup dan perjuangan Sang Proklamator untuk memerdekakan bangsa Indonesia.
Dulu, Sukarno diberinama Kusno oleh orangtuanya. Namun, karena sakit-sakitan namanya diganti jadi Sukarno. Harapannya, dia akan menjadi ksatria seperti Adipati Karno.
Harapan bapaknya terpenuhi. Umur 24 tahun Sukarno berhasil mengguncang podium dan berteriak: Kita Harus Merdeka Sekarang!
Akibatnya dia harus dipenjara. Dituduh menghasut dan memberontak seperti Komunis. Tapi keberanian Sukarno tidak pernah padam. Dia makin menggugat. Pledoinya yg sangat terkenal Indonesia Menggugat menghantarkan dia dibuang ke Ende, lalu Bengkulu.
Perjuangannya tak petrnah padam hingga dia berhasil memproklamirkan kemerdekaan RI.
Setelah kemerdekaan, Sukarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta sebagai perdana menteri RIS.
2. Cut Nyak Dien
Cut Nyak Dien adalah seorang wanita Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan penjajahan Belanda.
Cut Nyak Dien lahir pada tahun 1848 di Aceh Besar di wilayah VI Mukimm, ia terlahir dari kalangan keluarga bangsawan. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang, yang juga mempunyai keturunan dari Datuk Makhudum Sati.
Dia menikah dengan Teuku Umar pada 1880. Mereka dikaruniai anak laki-laki yang diberi nama Cut Gambang. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda.
Hingga akhirnya dia ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di rumah sakit. Namun, dia kemudian dibuang ke ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.
Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dien meninggal karena usianya yang sudah tua.
3. Ahmad Dahlan
Kisah hidup tokoh Muhammadiyah ini juga pernah difilmkan. Nama kecil KH Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Ia termasuk keturunan kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.
Dia aktif menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi wiraswasta yang cukup menggejala di masyarakat.
Sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Atas jasa-jasa KH Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden No 657 tahun 1961.
4. Hasyim Asyari
Hasyim Asyari adalah pendiri Nahdlatul Ulama yang juga pernah difilmkan. Di kalangan Nahdliyin dan ulama pesantren ia dijuluki dengan sebutan Hadratus Syeikh yang berarti maha guru.
Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 10 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Ashari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang.
Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kiai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang.
Sejak usia 15 tahun, ia berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekah, Hasyim Asyari mendirikan Pesantren Tebu Ireng, yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20.
Pada tahun 1926, Hasyim Asyari menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama.
5. Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto
Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari ayah bernama RM Tjokroamiseno, salah seorang pejabat pemerintahan pada saat itu. Kakeknya, RM Adipati Tjokronegoro, pernah juga menjabat sebagai Bupati Ponorogo.
Tjokroaminoto adalah salah satu pelopor pergerakan di Indonesia dan sebagai guru para pemimpin-pemimpin besar di Indonesia. Berangkat dari pemikirannya, melahirkan berbagai macam ideologi bangsa Indonesia.
Pada saat itu, rumahnya sempat dijadikan tempat kos para pemimpin besar untuk menimbah ilmu padanya, yaitu Semaoen, Alimin, Muso, Sukarno, Kartosuwiryo, bahkan Tan Malaka. Tjokroaminoto adalah orang yang pertama kali menolak untuk tunduk pada Belanda.
Setelah ia meninggal lahirlah warna-warni pergerakan Indonesia yang dibangun oleh murid-muridnya yakni kaum sosialis komunis yang dianut oleh Semaoen, Muso, dan Alimin. Soekarno yang nasionalis dan Kartosuwiryo yang Islami.
Salah satu trilogi darinya yang termasyhur adalah setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan.
6. Kartini
Raden Adjeng Kartini adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Ia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara segera setelah Kartini lahir.
Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya.
Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar.
Berkat kegigihannya, dia kemudian mendirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya.
No comments:
Post a Comment